Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah ra bahwasannya Rasul saw menyampaikan pesan dalam khutbanya (sebagian diantaranya adalah) :
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ
Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (baru), dan “KULLU” perkara yang diada-adakan (baru) adalah bid’ah, dan “KULLU” bid’ah adalah kesesatan”
[HR. An Nasa’i]
Catatan Alvers
Hadits ini menjadi “rukun” pembuka khutbah atau ceramah dari kalangan yang mendakwahkan dirinya sebagai gerakan puritanisme.
Hadits ini menjadi pokok pertentangan antara yang pro dan kontra dengan mereka. Fokus persoalannya terletak pada lafadz “KULLU”.
Kebanyakan orang memaknai lafadz "KULLU" dengan arti semua atau setiap ataupun "tanpa kecuali" padahal jika kita teliti dalam bahasa arab bahwa makna dari lafadz "Kullu" adalah tidak selalu dimaknai "semua" akan tetapi ada sebagian lafadz "Kullu" bermakna "Sebagian", seperti pada firman Allah yang berbunyi :
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ
Dan kami menjadikan dari air; “KULLA” makhluk hidup
[QS Al-Anbiya : 30]
Lafadz “KULLA” disini haruslah diterjemahkan dengan arti : SEBAGIAN sehingga ayat itu berarti: Kami ciptakan dari air sperma; SEBAGIAN makhluk hidup, karena pada kenyataannya tidak semua makhluk yang diciptakan Allah berasal dari air.
Coba perhatikan firman Allah yang menceritakan tentang penciptaan Iblis dan adam yang berbunyi:
خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
"Engkau (Allah) telah menciptakan aku (iblis) dari api sedangkan engkau menciptakannya (adam) dari tanah liat".
[QS Al-A’raf : 12]
Dengan demikian, ternyata lafadz KULLU tidak dapat diterjemahkan secara mutlak dengan arti : setiap / semua, sebagaimana umumnya jika merujuk ke dalam kamus bahasa Arab umum, karena hal itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Maka dari itu tidak semua bid’ah itu sesat.
Imam Syafi’i dalam kitab Fathul Bari menyebutkan:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela.
Namun orang yang anti bid’ah hasanah, mereka bertanya:
“kalau memang ada sesuatu yang dinilai baik pada zaman sekarang niscaya kebaikan itu telah dilakukan oleh para salaf”.
Sebagaimana slogan yang sering mereka kemukakan:
لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه
jika suatu perbuatan itu dinilai baik maka sudah pastilah mereka (salaf) mendahului kita dalam melakukannya
[Tafsir Ibn Kathir, IV, 190]
Kiranya statement ini juga dibantah oleh imam Syafi’i yang dinukil dalam kitab dalam Husnu at-Tafahhum, beliau berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف
Setiap perkara yang memiliki landasan dari syari’atnya, maka bukanlah bid’ah walaupun tidak dilakukan oleh ulama salaf.
Dalam prakteknya, para sahabat banyak melakukan sesuatu kebaikan yang tidak pernah dilakukan sama sekali oleh Rasul saw. Jikalau ada seseorang yang patut mengerjakan semua kebaikan dan tidak menyisakannya sedikitpun dari kebaikan maka itu adalah Rasul saw.
Namun kenyataan berkata lain, Ketika Umar bin Khaththab memberi isyarat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf karena banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah maka Abu Bakar berkata:
كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟
“ Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul saw?
[HR Bukhari]
Generasi berikunya juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Imam Malik, beliau melakukan qunut witir, dan beliau pun mengatakan bahwa itu tidak pernah dilakukan sahabat akan tetapi itu baik
[al-Hawadits wal Bida’].
Imam Syafi’i melafazkan Niat sholat padahal Nabi dan sahabat tidak pernah melakukannya
[Al-Mu’jam].
Urwah bin Zubair ketika hendak makan memabaca doa yang tidak diajarkan oleh Nabi saw dan para sahabatnya
[Al-Mushannaf].
Kondisi ini mengukuhkan statemen di atas bahwa tidak selamanya kebaikan itu harus dilakukan oleh pendahulu kita yang dikemukakan imam syafi’i di atas dalam prakteknya “disetujui” oleh syeikh Ibn Baz, sehingga ulama kenamaan arab saudi ini berfatwa dalam situsnya tentang bolehnya membaca doa khatam al-Quran di dalam sholat dan tidak termasuk bid’ah meskipun tidak ada contoh dari Rasul maupun dari para sahabat yang merupakan acuan ibadah.
Selanjutnya ia beragumen karena tidak ada seorang pun dari ulama salaf yang mengingkari doa khatam al-Quran di dalam sholat, dan tidak ada seorang pun yang mengikarinya jika dilakukan di luar sholat.
Selanjutnya ia mengakhiri fatwanya dengan tantangan bagi orang yang melarangnya, ia berkata :
فمن قال: إنه منكر فعليه بالدليل
maka barangsiapa yang mengingkarinya (bolehnya membaca doa khatam quran dalam sholat), wajib ia mengemukakan dalilnya
“Wallahu A’lam.
Semoga uraian singkat ini menjadikan orang sadar bahwa tidak semua bid’ah itu jelek sehingga tidak mudah membid’ahkan perbuatan baik yang dikerjakan orang lain.