BISMILLAHIROHMANIRROHIM …
Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan ajaran islam kepada para sahabat dahulu dalam sebuah paket yang lengkap. Beliau tidak memilah-milahnya dengan mengatakan ini adalah ilmu akidah, ini ilmu fiqh dan ilmu tasawuf. Karena itu kita tidak akan pernah menemukan kata tasawuf dalam ajaran beliau.
Paket lengkap yang diajarkan Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam melingkupi tuntunan yang sifatnya lahiriah seperti shalat, puasa, zakat, sedekah, haji dan lain sebagainya serta tuntunan yang sifatnya bathiniah seperti ikhlas, sabar, syukur, tawakal dan sebagainya.
Buat kita sebenarnya yang lebih penting bagaimana dapat menjalankan kedua tuntunan ini dalam kehidupan kita. Misalkan kalau saya menggambarkan ajaran Islam itu seperti bunga mawar, dimana bunganya yang indah, dan ada wanginya. Maka tuntunan lahiriah ibarat bunganya, sedangkan tuntunan bathiniah ibarat wanginya.
Karena tuntunan yang bathiniah tidak terlihat mata, maka seringkali hal ini diabaikan oleh kita. Kita lebih cenderung mempelajari hal-hal lahiriah, mendiskusikan, bahkan mempersoalkannya. Namun kita cenderung mengabaikan hal-hal bathiniah karena hal tersebut tempatnya di hati, tidak terlihat oleh mata kita.
Ilmu tasawuf sesungguhnya diperkenalkan oleh ulama-ulama terdahulu untuk mengingatkan umat pada saat itu, dan kita umat berikutnya tentang adanya sebuah komponen yang sering diabaikan yaitu tuntunan-tuntunan yang bathiniah tersebut. Maka dari itu janganlah mempersoalkan apakah tasawuf ada atau tidak ada pada zaman Rosulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, mungkin yang lebih penting adalah mempersoalkan apakah kita memperhatikan tuntunan bathiniah sebagaimana perhatian kita terhadap tuntunan yang lahiriah ?
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“KETAHUILAH BAHWA DALAM DIRI MANUSIA ADA SEGUMPAL DARAH; YANG APABILA IA BAIK MAKA BAIK PULA SELURUH DIRINYA, DAN APABILA IA BURUK, MAKA BURUK PULA SELURUH DIRINYA. KETAHUILAH BAHWA SEGUMPAL DARAH ITU ADALAH HATI”. (HR. Bukhori Dari Nu’man bin Basyir rodhiyallohu ‘anhu)
Dari Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“SESUNGGUHNYA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA ITU TIDAK MELIHAT KALIAN DARI RUPA DAN HARTA-HARTA KALIAN, NAMUN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MELIHAT KALIAN DARI HATI-HATI DAN AMAL-AMAL KALIAN.” (HR. Muslim)
Fiqih dan tasawuf pada hakekatnya adalah ilmu lahir dan ilmu batin. Keduanya saling melengkapi, dan tidak bisa dipisahkan. Ilmu Fiqih itu menfokuskan diri bagaimana Islam diterapkan secara lahiriah, bisa dikatakan semacam juklak atau petunjuk pelaksanaan bagaimana umat Islam menjalankan sholat, puasa, zakat, haji, mengubur jenazah, menikah, menghitung waris dan lain-lain.
Sedangkan Ilmu Tasawuf lebih menfokuskan praktek Islam secara batiniah, yaitu bagaimana mendekatkan diri kepada Allah secara ikhlas tanpa pretensi apapun kecuali kecintaan kepada sang Pencipta. Dan juga bagaimana kita bisa merdeka dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, kikir, dan ghibah. Karena semua penyakit itu akan berpotensi menjadi penghalang atau hijab antara manusia dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka dari itu Imam Maliki / Malik bin Anas (Ulama besar pendiri mazhab Maliki), mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut :
“MAN TASAWWAFA WA LAM YATAFAQO FAQOD TAZANDAQO, WA MAN TAFAQOHA WA LAM YATASAWAF FAQOD TAFASAQ, WA MAN TASAWAFFA WA TARAQOHA FAQOD TAHAQOQ”.
Yang artinya : “BARANGSIAPA MEMPELAJARI / MENGAMALKAN TASAWUF TANPA FIQIH MAKA DIA TELAH ZINDIK, DAN BARANGSIAPA MEMPELAJARI FIQIH TANPA TASAWUF DIA TERSESAT, DAN SIAPA YANG MEMPELARI TASAWUF DENGAN DISERTAI FIQIH DIA MERAIH KEBENARAN DAN REALITAS DALAM ISLAM.”
(’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
PENJELASAN :
“SIAPA YANG BERTASAWUF TANPA BERFIQIH, IA ZINDIQ”, YAKNI, ORANG YANG MELARUTKAN DIRINYA DALAM KESUFIAN SAJA TANPA MEMAHAMI SYARI’AT, DAN MENGGALI SYARI’AT ( FIQIH ), DIGOLONGKAN SEBAGAI ZINDIQ, SEBAGAIMANA KAUM YANG BERKHALWAT TANPA DIISI DENGAN IBADAH. MAKA APA ISI KHALWATNYA, KECUALI BERDIAM DIRI SAJA.
Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yang berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqh itu ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan / membahas / memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada Al-Qur’an, Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Sedangkan ilmu tasawuf itu adlh ilmu yg mengajarkan bagaimana kita bisa merdeka dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, kikir, dan ghibah. Karena semua penyakit itu akan berpotensi menjadi penghalang atau hijab antara manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ketika pulang dari peperangan yang dahsyat, yakni perang Badar, tiba tiba Nabi Muhammad Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi mengatakan sesuatu yang luar biasa aneh ditelinga para sahabatnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam mengatakan bahwa kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil dan menuju ke peperangan yang sangat besar. Karena kedengaran aneh dan mengagetkan, para sahabatpun kemudian bertanya, adakah peperangan lain yang sedang menunggu kita yang lebih besar dari peperangan yang baru saja kita lalui wahai Nabi ?
Ya, jawab Nabi dengan tenang, YAITU PERANG MELAWAN HAWA NAFSU.
Sekelumit cerita Nabi bersama para sahabatnya yang baru saja melakoni peperangan Badar yang sangat dahsyat tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa hawa nafsu itu sesungguhnya merupakan musuh nomor wahid bagi kita semua. Bagaimana tidak, cukup banyak contoh nyata bagaimana seorang raja, presiden, dan para pemimpin tertinggi menjadi terperosok bukan dikarenakan kelemahan pasukan yang dimiliki, tetapi lebih disebabkan karena umbaran hawa nafsu. Sedangkan letak hawa nafsu adanya dlm diri kita, dan Ilmu Tasawuf mengajarkan utk lebih menfokuskan praktek Islam secara bathiniah, krn nafsu adanya dlm diri kita.
Tapi disisi lain kita wajib mempelajari Ilmu Fiqih yg menfokuskan diri bagaimana Islam diterapkan secara lahiriah. Keduanya tdk dpt dipisahkan. Tidak ada yang baru sebenarnya dalam prinsip-prinsip yang dipelajari dalam tasawuf, karena sesungguhnya, di zaman nabi pun tasawuf , fiqih, tauhid diajarkan dan dipraktekkan secara serempak, cuma klasifikasi ilmu-ilmu Islam tersebut barulah ada setelah jauh Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam wafat.
Tasawwuf sebenarnya sudah muncul sejak zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan shahabat. Ciri utamanya adalah berlomba-lomba mencapai derajat ihsan. Hanya saja, pada waktu itu, istilah tasawuf sebagaimana yang kita kenal sekarang ini belum muncul. Makanya tidak heran jika para ulama madzhab pun ternyata semuanya bertarekat dan mempunyai guru tasawuf ( mursyid ) yang jelas silsilahnya.
* IMAM ABU HANIFAH ( HANAFI )
(Nu’man bin Tsabit – Ulama besar pendiri madzhab Hanafi)
Imam Ahlur Ra’yi. Karena penggunaan rasio yang bebas dalam Madzhabnya. Hadits yang digunakan diseleksi dengan ketat.
Nama lengkap beliau adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi, lahir di Kufah, Iraq pada 80 H (699 M), meninggal di Baghdad pada 148 H (767 M), merupakan pendiri Madzhab Hanafi.
Beliau adalah murid dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Ja’far as-Shodiq rodhiyallohu ‘anhu .
Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as-Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata, “JIKA TIDAK KARENA DUA TAHUN, AKU TELAH CELAKA. KARENA DUA TAHUN SAYA BERSAMA SAYYIDINA IMAM JA’FAR AS SHODIQ, MAKA SAYA MENDAPATKAN ILMU SPIRITUAL YANG MEMBUAT SAYA LEBIH MENGETAHUI JALAN YANG BENAR”..
Diriwayatkan oleh seorang Faqih Hanafi al-Hashkafi, menegaskan, bahwa Abu Ali ad-Daqqoq rodhiyallohu ‘anhu, berkata, “AKU MENGAMBIL THORIQOH SUFI INI DARI ABUL QASIM AN-NASHR ABADZY, DAN ABUL QOSIM MENGAMBIL DARI ASY-SYIBLY, DAN ASY-SYIBLY MENGAMBIL DARI SARY AS-SAQOTHY, BELIAU MENGAMBIL DARI MA’RUF AL-KARKHY, DAN BELIAU MENGAMBIL DARI DAWUD ATH-THO’Y, DAN DAWUD MENGAMBIL DARI ABU HANIFAH RODHIYALLOHU ‘ANHU”.
Abu Hanifah dikenal sebagai Fuquha ulung, ( Ahli Fiqih ) ternyata tetap memadukan antara syariah dan haqiqah.
Dan Abu Hanifah terkenal zuhud, waro’ dan ahlu dzikir yang begitu dalam, ahli kasyf, dan sangat dekat dengan Allah Ta’ala, berkah Tasawuf yang diamalkannya.
Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok yaitu:
Al Kitab, As-Sunnah, Perkataan Para Sahabat, Al Qiyas, Al Istihsan, Ijma’ dan Uruf.
Imam Abu Hanifah adalah seorang Tabiin. Pernah bertemu dengan Anas bin Malik dan meriwayatkan hadis darinya. Beliau disebut sebagai tokoh pertama yang menuliskan kitab fiqih.
Diantara gurunya adalah Hammad bin Abu Sulaiman, Atho bin Abi Robah, dan Nafi’ maula Ibnu Umar.
Dan diantara muridnya adalah Abu Yusuf bin Ibrohim Al Anshori, Zufar bin Hujail bin Qois al Kufi, Muhammad bin Hasan bin farqod as Syaibani, Hasan bin Ziyad, dan lain-lain.
* IMAM MALIKI
(Malik bin Anas – Ulama besar pendiri madzhab Maliki)
Lengkapnya Mālik ibn Anas bin Malik bin ‘Āmr al-Asbahi atau Malik bin Anas. Lahir di Madinah pada tahun 93 H (714 M). Dan wafat pada tahun 179 H ( 800M).
Beliau adalah pakar dibidang fiqih dan ilmu hadits, merupakan pendiri madzhab Maliki. Fiqih yang beliau kembangkan bersandar pada penggunaan hadis dan kebiasaan penduduk madinah.
Kitab yang disusun oleh beliau adalah Al Muwaththo’. Memuat seratus ribu ( 100.000) hadits. Yang paling terkenal adalah yang diriwayatkan dari Yahya bin Yahyah al Laitsi al Andalusi al Mashmudi.
Diantara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az Zuhri, Amir bin Abdulloh bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dll.
Diantara murid beliau adalah Ibnul Mubarok, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu Qosim, Al Qo’nabi, Abdulloh bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al Andalusi, Yahya Bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Zubairi, dan lain-lain.
Beliau juga murid Imam Jafar as Shodiq rodhiyallohu ‘anhu, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut :
“MAN TASAWWAFA WA LAM YATAFAQO FAQOD TAZANDAQO, WA MAN TAFAQOHA WA LAM YATASAWAF FAQOD TAFASAQ, WA MAN TASAWAFFA WA TARAQOHA FAQOD TAHAQOQ”.
Yang artinya : “BARANGSIAPA MEMPELAJARI / MENGAMALKAN TASAWUF TANPA FIQIH MAKA DIA TELAH ZINDIK, DAN BARANGSIAPA MEMPELAJARI FIQIH TANPA TASAWUF DIA TERSESAT, DAN SIAPA YANG MEMPELARI TASAWUF DENGAN DISERTAI FIQIH DIA MERAIH KEBENARAN DAN REALITAS DALAM ISLAM.”
(’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
* IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H)
Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, lahir di Gaza, Palestina, 150 H (767 M) dan wafat di Mesir pada 204 H ( 819 M ). Beliau adalah pendiri Madzhab Syafi’i yang moderat. Beliau adalah peletak dasar ilmu Ushul Fiqh.
Madzhab Syafi’i memiliki dua (2) dasar yaitu, Qodim dan Jadid. Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum adalah : Al Kitab, Sunnah Mutawatiroh, Al Ijma’, Khobar Ahad, Al Qiyas, Al Istishob.
Beliau adalah salah seorang murid dari Imam Malik di Madinah dan murid dari Muslim bin kholid az Zanji di Makkah. Dan juga sempat menimba ilmu di Iraq dari murid Imam Abu Hanifah. Diantara kitab yang beliau tulis adalah Ar Risalah, Al Hujjah, dan Al Umm.
Diantara para muridnya adalah Ahmad Bin Alhajjaj Al Marwazy, Ahmad Bin Kholid AlKhilal Al Baghdady, Ahmad Bin Sa’id Bin Basyir Al hamdzani, Ahmad Bin Sinan Al Qoththon, Ahmad Bin sholihAl Mishry abu Ja’far Aththobary, Ahmad Bin Asshobah Bin Abi Suraij Arroozy, Ahmad Bin Abdulloh Al Makky Al Muqry, dan lain-lain.
Ulama besar pendiri madzhab Syafi’i berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khofa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, juz 1, hal. 341)
Adapun maksud perkataan Imam Syafi’i rohimahulloh yg berkata : “SEANDAINYA SEORANG MENJADI SUFI (BERTASAWWUF) DI PAGI HARI, NISCAYA SEBELUM DATANG WAKTU DZHUHUR, ENGKAU TIDAK DAPATI DIRINYA, KECUALI MENJADI ORANG BODOH”.
(al-Manaqib lil Baihaqi 2/207)
Perkataan Al Imam Asy-Syafi’i Rohimahullohu tersebut bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.
Beliau juga menyatakan,”AKU TIDAK MENGETAHUI SEORANG SUFI YANG BERAKAL, KECUALI IA SEORANG MUSLIM YANG KHOWWAS”.
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tasawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.
Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,”DAN SESUNGGUHNYA YANG DITUJU DENGAN PERKATAAN ITU ADALAH SIAPA YANG MASUK KEPADA AJARAN SUFI NAMUN MENCUKUPKAN DIRI DENGAN SEBUTAN DARIPADA KANDUNGANNYA, DAN TULISAN DARIPADA HAKIKATNYA, DAN IA MENINGGALKAN USAHA DAN MEMBEBANKAN KESUSAHANNYA KEPADA KAUM MUSLIM, IA TIDAK PERDULI TERHADAP MEREKA SERTA TIDAK MENGINDAHKAN HAK-HAK MEREKA, DAN TIDAK MENYIBUKKAN DIRI DENGAN ILMU DAN IBADAH, SEBAGAIMANA BELIAU SIFATKAN DI KESEMPATAN LAIN.”
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208).
Dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.
Imam As Syafi’i juga menyatakan,”SEORANG SUFI TIDAK MENJADI SUFI HINGGA ADA PADA DIRINYA 4 PERKARA, MALAS, SUKA MAKAN, SUKA TIDUR DAN BERLEBIH-LEBIHAN.”
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,,”SESUNGGUHNYA YANG BELIAU INGIN CELA ADALAH SIAPA DARI MEREKA YANG MEMILIKI SIFAT INI. ADAPUN SIAPA YANG BERSIH KESUFIANNYA DENGAN BENAR-BENAR TAWAKKAL KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA, DAN MENGGUNAKAN ADAB SYARI’AH DALAM MUAMALAHNYA KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA DALAM BERIBADAH SERTA MUAMALAH MEREKA DENGAN MANUSIA DALAM PERGAULAN, MAKA TELAH DIKISAHKAN DARI BELIAU (IMAM AS SYAFI’I) BAHWA BELIAU BERGAUL DENGAN MEREKA DAN MENGAMBIL (ILMU) DARI MEREKA.”
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,”AKU TELAH BERSAHABAT DENGAN PARA SUFI SELAMA SEPULUH TAHUN, AKU TIDAK MEMPEROLEH DARI MEREKA KECUALI DUA HURUF INI,”WAKTU ADALAH PEDANG” DAN “TERMASUK KEMAKSUMAN, ENGKAU TIDAK MAMPU” (MAKNANYA, SESUNGGUHNYA MANUSIA LEBIH CENDERUNG BERBUAT DOSA, NAMUN ALLAH MENGHALANGI, MAKA MANUSIA TIDAK MAMPU MELAKUKANNYA, HINGGA TERHINDAR DARI MAKSIAT).
Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena perilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka.
(Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)
BEGITULAH PENJELASAN TENTANG UCAPAN IMAM SYAFI’I YG SERING DI POTONG DAN DI SALAH GUNAKAN OLEH MEREKA YG MENYUDUTKAN SUFI.
* IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H)
Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H.
Beliau adalah pendiri Madzhab Hambali. Mengumpulkan sebanyak 40.000 hadis dalam kitab musnadnya. Dasar-dasar fatwa beliau terdapat dalam kitabnya I’laamul Muwaaqi’in.
Adapun dasar-dasar madzhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah : Nash Al Qur-an atau nash hadits, Fatwa sebagian Sahabat, Pendapat sebagian Sahabat, Hadits Mursal atau Hadits Dhoif, Qiyas.
Diantara para gurunya adalah Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qosim bin Dinar as Sulami, Imam Syafi’i, dan lain-lain.
Diantara murid beliau adalah Imam Bukhori, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain.
Ulama besar pendiri madzhab Hanbali berkata, “ANAKKU, KAMU HARUS DUDUK BERSAMA ORANG-ORANG SUFI, KARENA MEREKA ADALAH MATA AIR ILMU DAN MEREKA SELALU MENGINGAT ALLAH DALAM HATI MEREKA. MEREKA ADALAH ORANG-ORANG ZUHUD YANG MEMILIKI KEKUATAN SPIRITUAL YANG TERTINGGI. AKU TIDAK MELIHAT ORANG YANG LEBIH BAIK DARI MEREKA”.
(Ghiza al Albab, juz 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
———————————————————
DEMIKIAN SEDIKIT TULISAN TENTANG CATATAN BAHWA TERNYATA PARA ULAMA PANUTAN KITA PUN SELAIN SEORANG AHLI FIQIH JG BELAJAR TASAWUF DAN MENEKANKAN BETAPA PENTINGNYA BELAJAR TASAWUF SEHINGGA IBADAH YANG DIJALANKAN OLEH UMAT ISLAM TIDAK KERING DARI RUH YANG MENGHIDUPKAN IBADAH.
SEHINGGA PADA PRAKTEKNYA IBADAH TIDAK BERHENTI PADA GERAKAN BADAN, TAPI BERLANJUT DENGAN GERAK BATHIN YANG SELALU INGAT KEPADA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA KAPAN DAN DI MANA PUN.
BARANGKALI KRISIS DAN DEKADENSI MORAL YANG MELANDA BANGSA KITA, SALAH SATUNYA KARENA NILAI-NILAI AJARAN DALAM TASAWUF TIDAK DIPRAKTEKKAN GUNA MENYEIMBANGKAN ILMU SYARIAT YANG SUDAH DIAMALKAN.
MAKANYA SERING KITA MENDENGAR UCAPAN, BANYAK YANG SUDAH SHOLAT DAN PUASA, TAPI MASIH MAU NYURI ATAU KORUPSI, MASIH MAU NILEP DAN MARKUP ANGGARAN YANG DIAMANAHKAN.
SAATNYA PARA ULAMA MEMPERHATIKAN PRAKTEK KEAGAMAAN YANG TERINTEGRASI ANTARA PRAKTEK SYARI’AH DAN BATINIAH, SEHINGGA ISLAM BISA DIPELAJARI SECARA MENYELURUH DAN TIDAK PARSIAL.
JIKA PARA ULAMA MADZHAB PUN MENGAKUI DAN MEMPELAJARI TASAWUF, AKANKAH PARA PENGKRITIK TASAWUF YANG MENGHAKIMI DENGAN KESESATAN DAN BID’AH, AKAN MENGATAKAN BAHWA KE EMPAT ULAMA MADZHAB TERSEBUT SESAT?
Misalkan jika ada orang yg berkata bahwa, saya telah 3 tahun belajar tasawuf, tapi Alhamdulillah sekarang saya telah bertaubat dari ajaran tersebut, karena ajaran tersebut adalah ajaran sesat menurutnya.
Seperti saya tulis diatas bahwa ilmu tasawuf itu adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana kita bisa merdeka dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, kikir, dan ghibah. Karena semua penyakit itu akan berpotensi menjadi penghalang atau hijab antara manusia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Jika halnya demikian yg sebenarnya diajarkan dalam ilmu tasawuf, jadi orang yg berkata seperti diatas tersebut bertaubat dengan hal yang bagaimana lagi ?
Bukankah yang sebenarnya ilmu tasawuf itu adalah ilmu yang mengajarkan bagaimana kita bisa merdeka dari penyakit-penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, kikir, dan ghibah ?
DALAM HAL APAPUN SUDAH PASTI ADA SAJA YANG SESAT, TAPI BUKAN BERARTI SEMUANYA HARUS DISESATKAN KARENA HANYA SEGELINTIR ORANG / KELOMPOK.
Kalau menurut saya pribadi, jika seorang manusia / kelompok masih bertuhankannya Allah, Nabinya adalah Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, Kitabnya kitab Al-Qur’an dan sholatnya masih menghadap kiblat, maka janganlah gampang utk mencap sesat / kafir.
Sebab Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
Dari Abu Dzar Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wa sallam bersabda,”TIDAKLAH SESEORANG MENUDUH ORANG LAIN DENGAN KATA FASIQ, DAN MENUDUHNYA DENGAN KATA KAFIR, KECUALI TUDUHAN ITU AKAN KEMBALI KEPADA SI PENUDUH JIKA ORANG YANG TERTUDUH TIDAK SEPERTI YANG DITUDUHKAN”.
[HR Bukhori]
“BARANGSIAPA YANG BERKATA KEPADA SAUDARANYA, “HAI ORANG KAFIR,” MAKA KATA ITU AKAN MENIMPA SALAH SATUNYA. JIKA BENAR APA YANG DIUCAPKAN (BERARTI ORANG YANG DITUDUH MENJADI KAFIR); JIKA TIDAK, MAKA TUDUHAN ITU AKAN MENIMPA ORANG YANG MENUDUH”.
[HR Muslim].
“DAN BARANGSIAPA YANG MEMANGGIL SESEORANG DENGAN PANGGILAN “KAFIR” ATAU “MUSUH ALLAH” PADAHAL DIA TIDAK KAFIR, MAKA TUDUHAN ITU AKAN KEMBALI KEPADA PENUDUH”.
[HR Muslim].
Sebagai penutup, saya akan menuliskan Firman Allah dalam Al-Quran dan dalam hadits Qudsi.
Allah berfirman :
Artinya : “INGATLAH, SESUNGGUHNYA WALI WALI ALLAH ITU, TIDAK ADA KEKHAWATIRAN TERHADAP MEREKA DAN TIDAK (PULA) MEREKA BERSEDIH HATI (YAITU) ORANG-ORANG YANG BERIMAN DAN MEREKA SELALU BERTAQWA. BAGI MEREKA BERITA GEMBIRA DIDALAM KEHIDUPAN DIDUNIA DAN AKHIRAT, TIDAK ADA PERUBAHAN BAGI KALIMAT KALIMAT ATAU JANJI-JANJI ALLAH, YANG DEMIKIAN ITU ADALAH KEMENANGAN YANG BESAR.”
( QS. Yunus : 62 – 64 ).
Dalam sebuah hadis shohih Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“SESUNGGUHNYA DIANTARA HAMBA ALLAH ADA SEKELOMPOK MANUSIA YANG BUKAN NABI DAN BUKAN SYUHADA’. MEREKA DIKELILINGI OLEH PARA NABI DAN SYUHADA’ DI HARI KIAMAT KARENA KEDUDUKANNAY DISISI ALLAH.” PARA SAHABAT BERTANYA:” WAHAI RASULULLAH, KABARKAN KAMI SIAPA MEREKA?” RASULULLAH MENJAWAB: “MEREKA ADALAH KAUM YANG SALING MENCINTAI DENGAN RUH ALLAH (ULAMA MENAFSIRI: AL-QURAN) TANPA HUBUNGAN KELUARGA ANTARA MEREKA DAN TANPA UANG YANG DIBERIKAN PADA MEREKA. DEMI ALLAH, SUNGGUH WAJAH MEREKA ADALAH CAHAYA DAN MEREKA DIATAS CAHAYA. MEREKA TIDAK TAKUT SAAT MANUSIA KETAKUTAN. MEREKA TIDAK SUSAH SAAT SEMUA MANUSIA DITERPA KESUSAHAN.
” Lalu Rosululloh membaca: “INGATLAH, SESUNGGUHNYA WALI-WALI ALLAH ITU, TIDAK ADA KEKHAWATIRAN TERHADAP MEREKA DAN TIDAK (PULA) MEREKA BERSEDIH HATI”.
(HR Abu Dawud No 3527 dari Umar bin Khotthob).
Dlm sebuah hadits Qudsi, Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘Anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA BERFIRMAN, ‘AKU SESUAI DENGAN PRASANGKA HAMBA-KU KEPADA DIRI-KU. AKU BERSAMANYA SETIAP KALI IA MENGINGAT-KU. JIKA IA MENGINGAT-KU KETIKA IA SENDIRIAN MAKA AKU AKAN MENGINGATNYA DALAM KESENDIRIAN-KU. JIKA IA MENGINGAT-KU DALAM SEBUAH KELOMPOK, NISCAYA AKU MENGINGATNYA DALAM SUATU KAUM YANG LEBIH BAIK DARI PADA MEREKA. JIKA IA MENDEKATI-KU DALAM JARAK SEJENGKAL MAKA AKU MENDEKATINYA DALAM JARAK SATU HASTA. JIKA IA MENDEKAT KEPADA-KU DALAM JARAK SATU HASTA, AKU AKAN MENDEKAT KEPADANYA DALAM JARAK SATU DEPA. APABILA IA DATANG KEPADA-KU DENGAN BERJALAN, AKU AKAN DATANG KEPADANYA DENGAN BERLARI-LARI KECIL”.
(Riwayat Bukhori dan Muslim).
Dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘Anhu ia berkata, Rosûlulloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
”SESUNGGUHNYA ALLÂH AZZA WA JALLA BERFIRMAN: “BARANGSIAPA MEMUSUHI WALI-KU, SUNGGUH AKU MENGUMUMKAN PERANG KEPADANYA. TIDAKLAH HAMBA-KU MENDEKAT KEPADA-KU DENGAN SESUATU YANG LEBIH AKU CINTAI DARIPADA HAL-HAL YANG AKU WAJIBKAN KEPADANYA. HAMBA-KU TIDAK HENTI-HENTINYA MENDEKAT KEPADA-KU DENGAN IBADAH-IBADAH SUNNAH HINGGA AKU MENCINTAINYA. JIKA AKU TELAH MENCINTAINYA, AKU MENJADI PENDENGARANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK MENDENGAR, MENJADI PENGLIHATANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK MELIHAT, MENJADI TANGANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK BERBUAT, DAN MENJADI KAKINYA YANG IA GUNAKAN UNTUK BERJALAN. JIKA IA MEMINTA KEPADA-KU, AKU PASTI MEMBERINYA. DAN JIKA IA MEMINTA PERLINDUNGAN KEPADAKU, AKU PASTI MELINDUNGINYA”.
Kelengkapan hadits ini adalah:
“AKU TIDAK PERNAH RAGU-RAGU TERHADAP SESUATU YANG AKU KERJAKAN SEPERTI KERAGU-RAGUAN-KU TENTANG PENCABUTAN NYAWA ORANG MUKMIN. IA BENCI KEMATIAN DAN AKU TIDAK SUKA MENYUSAHKANNYA”.
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shohih. Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, no. 6502; Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ , I/34, no. 1; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubro, III/346; X/219 dan al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah, no. 1248, dan lainnya.
Firman Allâh Azza wa Jalla (dalam hadits qudsi di atas), yang artinya, “JIKA AKU TELAH MENCINTAINYA, AKU MENJADI PENDENGARANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK MENDENGAR, MENJADI PENGLIHATANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK MELIHAT, MENJADI TANGANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK BERBUAT, DAN MENJADI KAKINYA YANG IA GUNAKAN UNTUK BERJALAN.”
Maksudnya, barangsiapa bersungguh-sungguh dalam mendekat kepada Allâh Azza wa Jalla dengan ibadah-ibadah wajib lalu ibadah-ibadah sunnah, maka Allâh akan mendekatkannya kepada-Nya dan menaikkan derajatnya dari tingkatan iman ke tingkatan ihsân.
Karenanya, ia menjadi hamba yang beribadah kepada Allâh dengan merasa selalu diawasi Allâh sehingga hatinya penuh dengan ma’rifat (pengenalan) kepada Allâh, cinta kepada-Nya, takut kepada-Nya, malu kepada-Nya, mengagungkan-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan rindu kepada-Nya.
Ketika hati dipenuhi dengan pengagungan kepada Allâh, maka yang lainnya akan lenyap dari hati tersebut serta ia tidak lagi punya keinginan kecuali yang diinginkan Robb-nya. Saat itulah, seorang hamba tidak bicara kecuali dengan dzikir kepada Allâh dan tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya.
Jika ia bicara, ia bicara dengan Allâh. Jika ia mendengar, ia mendengar dengan-Nya. Jika ia melihat, ia melihat dengan-Nya. Jika ia berbuat, ia berbuat dengan-Nya.
Itulah yang dimaksud dengan firman Allâh Ta’ala, ” JIKA AKU TELAH MENCINTAINYA, AKU MENJADI PENDENGARANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK MENDENGAR, MENJADI PENGLIHATANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK MELIHAT, MENJADI TANGANNYA YANG IA GUNAKAN UNTUK BERBUAT, DAN MENJADI KAKINYA YANG IA GUNAKAN UNTUK BERJALAN”.
BARANGSIAPA MENAFSIRKAN DAN MENGISYARATKAN HADITS DI ATAS DENGAN HULUL ( MENITISNYA ALLÂH KEPADA MAKHLUK ) ATAU ITTIHAD ( MANUNGGALING KAWULA GUSTI ) ATAU AJARAN LAIN MAKA IA TELAH SESAT DAN MENYESATKAN DAN IA TELAH MENGISYARATKAN KEPADA KEKAFIRAN.
Dan ini termasuk salah satu rahasia tauhid, karena kalimat “LAA ILAAHA ILLALLAAH” maknanya seseorang hamba tidak menuhankan selain Allâh dalam cinta, harapan, takut dan taat.
Jika hati sudah penuh dengan tauhid yang sempurna, maka tidak ada lagi kecintaan untuk mencintai apa yang tidak dicintai Allâh atau kebencian untuk membenci apa yang tidak dibenci Allâh.
Barangsiapa hatinya seperti ini, maka organ tubuhnya tidak akan bergerak kecuali dalam ketaatan kepada Allâh dan ia tidak mempunyai keinginan kecuali di jalan Allâh dan pada sesuatu bisa mendatangkan ridho-Nya.
( Diringkas dari Jâmi’ul ’Ulûm wal Hikam (II/345-348) ).
JADI SANGATLAH WAJAR APABILA ADA SEORANG HAMBA YANG DALAM IBADAHNYA SUDAH MENCAPAI TINGKAT LAHIR DAN BATHIN MENJADI LUAR BIASA, KARENA MEMANG ALLAH MAHA LUAR BIASA DAN MAHA KUASA ATAS SEGALA SESUATU.
Semoga kita semua senantiasa mendapatkan Taufiq dan Hidayah-Nya..
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalamu ‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar