▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Musik dan Sufi Tidak Bisa Disatukan!
[ Hasil Wawancara ini pernah dimuat di Majalah IJTIHAD edisi 39, terbitan OMIM (Organisasi Murid Intra Madrasah) Madrasah Miftahul Ulum Aliyah Pondok Pesantren Sidogiri ].
Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Rais ‘Am Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdhiyyah - Indonesia
Ada sebuah wacana yang beredar di masyarakat, bahwa:
Musik bisa menjadi media wushûl kepada Allah ;
Musik bisa membawa penyimaknya larut dalam keadaan “ekstase” atau “mabuk spiritual”.
Wacana ini kemudian membentuk istilah “musik sufi” atau “tarian sufi”.
Untuk mengorek kebenaran wacana tersebut, sengaja kami sowan kepada seorang ulama kharismatik yang sekaligus mursyid semua thariqah al-mu’tabarah se-Dunia,
Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Pekalongan, Jawa Tengah, pada hari Jum’at 15 Jumadats Tsaniyah yang lalu.
Berikut petikan wawancaranya.
Adakah tarekat yang menjadikan musik sebagai media taqarrub kepada Alloh Subhanahu Wa Ta'alaa ?
Tidak ada.
Semisal tarekat Maulawiyah di Turki? Konon, mempunyai tarian samâ’ (tarian dengan diiringi musik) yang —katanya—sebagai media taqarrub bagi pengikut tarekat tersebut?
Pisahkan dulu…
Bahwa tarekat adalah jalan wushûl (menuju) kepada Alloh Subhanahu Wa Ta'alaa .
Musik bukanlah media (sarana wushûl) bagi tarekat apapun, sekalipun tarekatnya Jalaluddin ar-Rumi.
Akan tetapi (kehadiran musik) adalah pengaruh dari syair- syair yang dialunkan (dalam dzikir); baik yang memuji kepada Alloh, memuji kepada Rosul, dan memuji kepada para aulia’-Nya; baik itu pujian berbentuk pujian murni, atau yang mengandung tawassul.
Di antara yang mengandung tawasul, semisal “Yâ Allâh bihâ Yâ Allâh bihâ, yâ Allâh bi husnil-khâtimah.”
Nah, yang namanya seni dalam dunia Islam, yang berbentuk lagu (seperti qasidah), itu tidak harus dengan musik. Itu pun sudah termasuk seni. Itu (musik) baru pendorong untuk wushûl, bukan sebagai media.
Kalau medianya (tarekat) ya… dzikir.
Jelas itu!
Berarti posisi musik itu tidak lebih sebagai pendorong?
Iya. Sebagai pendorong untuk memancing dzauq (perasaan).
Kecintaan yang terpendam itu bisa dipancing dengan pupuk. Kalau bumi ini subur, lalu sebenarnya bibit yang ada dalam bumi itu kita pancing dengan pupuk. Baru (kemudian) akan tumbuh tumbuhan.
Ketika dikaitkan dengan tarian samâ’ tadi?
Memang, di antara beberapa tokoh dalam memancing dzauq itu mempunyai cara masing-masing. Jangankan Jalaluddin ar-Rumi yang sudah terlalu lama, Anda juga menjumpai kehidupan Kanjeng Sunan Kali Jogo dengan pola seni yang berbeda lagi.
Coba kita belajar memahami Kanjeng Sunan Kali Jogo yang ada Indonesia ini, ketika beliau berperan sebagai seorang dalang; menciptakan lagu dengan gendingnya, mulai janjang kulo, rampung, parijoko, dan lain-lain, sebagaimana wali sembilan.
Adakah hal yang melatarbelakangi penggunaan musik sebagai pendorong menuju taqarrub?
Banyak sekali. Mungkin sekarang sudah jarang, tapi sebagian di Pekalongan masih ada.
Kalau besok mau hari raya, bludeg (beduk yang hanya dipukul mendekati hari raya sebagai tanda, red.) itu sudah berbunyi.
Dungdung ta’… dungdung ta’… (menirukan, red).
Jam sembilan pagi itu sudah dipukul.
Artinya, kita menyongsong hari raya kurang satu hari. Begitu mendengar siaran dari pemerintah, bludeg itu ramai di Masjid. Dungdung ta’… dungdung ta’… (menirukan, red).
Di samping takbiran, menandakan besok akhir puasa. Itu kalau di Pekalongan disebut bludeg.
Nah, getaran apa yang Anda rasakan ketika mendengar bunyi bludeg itu?
Apa karena bludeg-nya, atau karena Hari Raya? Pilih!
Karena Hari Raya!
Karena Hari Raya kan?
Begitu pula Jalaluddin ar-Rumi.
Bukan karena suara dungdung ta’ dungdung ta’-nya. Bludeg itu cuma sebagai pembangkit saja.
Untuk menandakan kita akan menemukan Hari Raya.
Lalu kriteria-kriteria musik dan alat yang digunakan?
Kalau di Timur Tengah, rata- rata pakainya gambus. Ada juga yang pakai mizmâr (seruling).
Tapi yang dimaksud mizmâr di sini tidak seperti mizmâr di India yang di sininya membentuk besar itu; tidak gelembung. (mengatupkan kedua tangan, dan membentuk sebuah bundaran seperti seruling di India, red) Tapi mizmâr di sana yang bermodel begini, (mengangkat jemari tangan kiri tepat di samping kanan mulut, dan jemari tangan kanan sekitar 15 cm di sebelah kanannya lagi, red) atau yang begini (membelokkan jemari tangan kiri ke arah depan, serta memajukan jemari tangan kanannya agak ke depan, red).
Itu yang diperbolehkan.
Sehingga, di Hadramaut, Yaman,itu ada satu Masjid yang di sebelahnya ada orang yang bersama-sama memukul (seruling) Nay.
Yang memukul Nay itu ulama- ulama yang ahli dan mengalunkan dengan gendrangnya.
Ketika orang itu datang dzauq-nya, kegandrungan dengan tariannya itu sebagaimana orang ketika memahami takbiran.
Asyiknya didorong oleh lagu, tapi hati menjadi gandrung kepada Rasulullah Saw. Sehingga melahirkan gerakan yang terkadang memang tidak disadari.
Kayak anak kecil yang melihat kedatangan ibunya, melompat-lompat karena gembira.
Kalau gerakan-gerakan yang seirama sebagaimana tarian samâ’ itu?
Ya, berangkatnya memang seirama. Kalau tidak seirama, akan morat-marit (berantakan).
Seni harus ada koredornya.
Dalam kasus ke-Indonesia-an, apakah sudah sesuai dengan syariat?
Dikatakan sesuai, bisa.
Dikatakan tidak sesuai, (juga) bisa.
Kalau kita perlu pada daerah untuk mengenalkan Islam, seperti Kanjeng Sunan Kali Jogo, dia harus menggunakan alat seni di dalam mengenalkan Islam.
Apabila diperlukan, ya kita pakai. Tapi untuk sementara waktu. Bukan keharusan.
Satu contoh, di jaman sekarang, anak-anak muda itu sulit untuk dikumpulkan.
Lalu kalau sudah kumpul, kita buka kitab, mereka balapan memundurkan diri.
Tapi ketika kita ajak duduk, dengan bermain lagu yang baik, kalau kita bisa memainkan musik sendiri, kan nantinya anak-anakkan betah.
Nah, kalau sudah betah, satu kali dua kali jangan dihantam dahulu dengan pemahaman agama.
Awal-awalnya, bagaimana caranya agar mereka betah dahulu duduk bersama kita. Kalau sudah betah, baru kita masukin (pemahaman agama, red).
Kalau pertama kali mereka belum betah, terus langsung kita masukin, tambah lari.
Itu satu contoh teori. Karena musik itu tidak membentuk kebohongan.
Bagaimana Ulama Fikih menyikapi hal ini?
Ulama fikih apa adanya.
Kita jangan menyalahkan ulama fikih.
Karena ulama fikih itu menyodorkan hukum.
Kalau begini kamu ndak boleh.
Kalau begitu kamu ndak boleh.
Kalau begini kamu boleh.
Kalau begitu kamu boleh.
Yang ada itu.
Dalam satu sisi perbuatan hukum harian:
dalam hukum salat, kalau kamu begini hukumnya batal.
Kalau begini kamu meninggalkan rukun (sunah ab’âdh,red), maka kamu harus sujud sahwi.
Kalau wudhu’ bagaimana?
Setelah membasuh muka,
malah langsung membasuh kaki.
Ya, maka kamu harus mengulang membasuh tangan.
Tidak usah mengulangi niat, dan membasuh muka lagi.
Kita hanya membatalkan yang membasuh kaki, karena telah meninggalkan tartib.
Kan begitu!
Ketika dikaitkan dengan permasalahan musik ini?
Ya, tergantung keluasan ahli hukumnya.
Kalau keluasan ahli hukum bisa membagi;
bagaimana cara berdakwah, dan bagaimana setelah didakwahi, lalu hukum fikih masuk.
Bukan fikih dulu berjalan, baru dakwah.
Satu contoh, orang belum tahu salat, apa kita paksakan mereka harus ikuti salat kita?
Kalau fikih, harus ikut salat. Itu fikih.
Nah, karena dia belum tahu tata cara wudhu’, batalnya wudhu’, kita paksakan. Kita tanya,
“Apakah Anda Islam?”
“Islam.”
“Mengapa Anda tidak salat?”
“Kita ndak ngerti, Bib.”
“Dosa ente!”
Langsung divonis, itu hukum.
Tapi kalau kita tarik ahli Fikih kepada thalabul-‘ilmi farîdhatun ‘alâ kulli muslimin wa muslimatin, oh… mereka belum pernah belajar,
meskipun mereka Islam.
Secara zhâhir, makna syahadat aja dia ndak tahu, kok terus kita dorong untuk salat?
Lalu bagaimana kita didik ahkâmul-wudhû’-nya, syurûthul- wudhû’-nya, arkânul-wudhû’-nya?
Itu belum arkânush- shalâh,furûdhush-shalâh, dan lain sebagainya.
Kalau kita melihat fisik, secara hukum fikih, kalau sudah bâligh-‘âqil ke atas, lalu meninggalkan salat, (hukumnya) dosa.
Itu Fikih.
Satu sisi, kamu harus menghukumi dia dosa dahulu, apakah faktor kebodohannya dulu, baru menghukumi?. Jadi, kalau ahli Fikih yang bijak, mesti kebodohannya dahulu yang kita benahi.
Bukan meninggalkan salatnya yang kita benahi.
Lalu posisi kita dalam tatanan amar ma’rûf dan nahi munkar, mengingat pengunaan musik ini rentan menimbulkan fitnah?
Mudah saja.
Kalau Anda pernah belajar kepada ikan laut, insyâ-Allâh bisa.
Kalau iya, berarti hebat.
Meski airnya asin, tapi dia tidak ikut asin.
Dia bisa bermain dengan seninya gelombang. Dia bisa merasakan buihnya lautan. Dia bisa berliku-liku menari mengikuti gelombang dalam air laut itu sendiri. Tapi saya kagum, ia tidak pernah terpengaruh dengan asinnya. Artinya tidak terkontaminasi dengan asinnya. Buktinya, kita ambil ikan laut, pasti kita butuh garam, kok!
Hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat awam?
Pesan saya cuma satu saja.
Sesuatu kalau masih tanggung, jangan buka suara dulu! Pelajari sedalam-dalamnya.
Agar tidak menimbulkan kericuan, karena tugas seorang berdakwah itu mengajak orang yang bodoh biar pandai, yang tidak mengerti hukum biar mengerti hukum, yang tidak mengerti salat biar mengerti salat, yang tadinya bermaksiat sekaligus tidak mengerti kalau yang dia lakukan itu dosa, supaya dia bisa mengerti dosa.
Kita tarik.
Nah, cara menarik ini perlu teori.
Ada anak kecil kebetulan main pisau.
Pisaunya tajam. Cara mengambilnya itu kalau sistemnya keras,
“Itu bahaya!”,
“Itu haram!” umpamanya.
Lalu berebut dengan anak kecil.
“Mau nangis, silakan!
Yang penting aku sudah menegakkan yang haq.” Tidak tahunya, justru yang terkena pisau itu yang merebut, atau yang direbut.
Tapi bagi yang tahu persis menjalankan hukum, tahu teorinya, caranya bukan seperti itu.
Toh, tujuannya sama-sama ingin menyelamatkan anak itu. Bisa dengan dikasih premen, bisa dengan merayunya dengan cara halus. Yang penting kan bisa menyelamatkan anak itu dari tajamnya pisau tadi. Aman, kan!
《 Dawuh Maulana AlHabib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya 》
Hasil Wawancara ini pernah dimuat di Majalah IJTIHAD edisi 39, terbitan OMIM (Organisasi Murid Intra Madrasah) Madrasah Miftahul Ulum Aliyah Pondok Pesantren Sidogiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar