Jumat, 29 Maret 2019

Kenapa Para Sahabat Tidak Meributkan Ayat-Ayat Mutasyabihat?

Banyak yang tergelincir ketika membicarakan ayat-ayat mutasyabihat, karena ketika membicarakan ayat-ayat mutasyabihat, karena apa?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسۡـــــــــمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِـــــــيم
ٍ
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْن
           
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
  
سسوڠڬوهڽ اڤابيلا اكو مناصيحتي كامو، بوكنله برارتي اكوله يڠ ترباءيق دالم كالڠن كامو، بوكن جوڬ يڠ ڤاليڠ صالح دالم كالڠن كامو، كران اكو جوڬ ڤرنه ملمڤاوءي باتس اونتوق ديري سنديري.
سأندايڽ سساورڠ ايت هاڽ داڤت منيمڤأيكن دعوة اڤابيلا دي سمڤورنا، نسچاي تيدق اكن اد ڤندعوه، مك اكن جادي سديكيتله اورڠ يڠ ممبري ڤريڠاتن
Oleh.  
المتواضع الأستاذ محمد نجيب

Karena memang ayat ini diturunkan untuk menguji dan membedakan antara ahlul haq dengan ahlul bathil, antara ahlul makrifat dengan ahlul syahwat. Itulah fungsi alquran sebagai pembeda (al-furqan). Kalau kelezatan duniawiyah yang juga merupakan ayat-ayat Allah telah banyak  menguji ahlu dunya yang nafsunya dipenuhi dengan syahwat, maka ayat-ayat mutasyabihat akan menguji ahlul qur'an yang  hatinya dipenuhi dengan syubhat.

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

"Maka adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan pada kesesatan maka mereka akan mengikuti kemutsyabihatannya (kesamaran) karena mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwilnya." (Ali-Imran:7)

Ayat mutasyabihat adalah lawan daripada ayat muhkamat. Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas makna dan dilalahnya, tidak ada kesamaran sedikitpun bagi tiap-tiap orang yang membacanya. Seperti ayat:

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

"Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Satu tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." (albaqarah: 163)

Adapun ayat mutasyabihat adalah ayat yang samar makna dan dilalahnya bagi kebanyakan orang atau bagi sebagian orang. Seperti:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

"Maka kemanapun kamu menghadap di situlah kamu mendapati wajah Allah"(Al-Baqarah: 115)

Maka ayat muhkamat disebut dengan ummul quran karena berfungsi sebagai induk, yaitu asal dan tempat kembali ketika terjadi kesamaran, juga karena dengan ayat-ayat muhkamat yang jelaslah umat Islam berpijak dan berpedoman untuk membangun dasar-dasar aqidahnya, bukan dengan ayat-ayat mutasyabihat yang samar. Kesamaran itu muncul karena ada sesuatu yang lain yang menyerupai.  Seperti ketika terjadi kesamaran dalam menafsirkan ayat:

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

"Allah berkata: Wahai Iblis apa yang menghalangi kamu untuk sujud kepada apa yang telah aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?"( shad: 71)

Apakah ditafsirkan tangan Allah secara hakiki atau majazi? Kalau kita artikan tangan secara hakiki, maka akan ada kesamaran antara Allah bertangan seperti halnya  makhluk bertangan. Nah orang-orang yang di hatinya ada kecondongan pada kesesatan (gemar mengikuti makna-makna yang rancu) akan memilih untuk mengikuti makna samarnya (tasyabaha) daripada menyerahkan tafsir ayat itu kepada Allah atau menafsirkan dengan tafsiran yang layak bagi Allah, ini hanya bisa dicapai dengan takwil yang shohih. Maka mereka yang mengikuti kesamaran ayat-ayat mutasyabihat inilah yang disebut Allah dengan:.

فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ

"Maka mereka mengikuti kemutasyabihatannya (kesamarannya)" (Ali Imran: 7)

Gak tahu tujuannya apa? Kok gemar sekali terhadap hal-hal yang pelik, sebab terus berkutat pada ketidakjelasan makna di dalam kesamaran dua hal adalah sesuatu hal yang rumit. Tabiat manusia yang sehat tentu akan merasa selesa dan ingin rehat untuk keluar dari kondisi seperti ini. Cobalah anda bayangkan, tenangkah jiwa anda jika anda harus mengartikan ayat tersebut dengan tangan Allah, tetapi di saat yang bersamaan anda takut menyamakannya dengan tangan makhluk hingga kemudian anda memaksakan diri untuk menambahkan kalimat "tidak sama dengan tangan makhluk"?. Sementara di otak anda yang punya tangan itu hanya makhluk.  Jadi anda ingin mengatakan tangan tapi sebenarnya bukan tangan. Suatu hal yang membingungkan. Inilah yang disebut dengan takwil yang khothi' . Takwil yang tidak sesuai dengan kehendak Allah karena takwil yang tidak layak bagi Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah::

ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

"…karena mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwilnya" (Ali Imran: 7)

Yaitu berusaha memalingkan makna dari makna yang dikehendaki Allah kepada makna yang tidak dikehendaki Allah, maksudnya memalingkan makna yang layak bagi Allah kepada makna yang tidak layak bagi Allah. Tentu saja ini akan menimbulkan fitnah besar, yaitu menjebak orang ke dalam penyamaan Allah terhadap makhluk (tasybih).

Orang-orang yang hatinya bersih dari kecondongan terhadap kesesatan tentu akan mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat: Di sinilah saatnya kita menerapkan ayat-ayat muhkamat itu sebagai ummul qur'an. Maka kasus di atas harus kita kembalikan kepada ayat muhkamat berikut:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak  serupa dengan-Nya segala sesuatu dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat" (Asy-Syura: 11)

Mafhum dari ayat Asy-Syura di atas adalah Allah tidak sama dengan apapun dalam bentuk apapun, termasuk Allah tidak bersusun (at-tarkib) atau berbahagi-bahagi atas anggota tubuh (al-juzu') karena ini adalah sifat makhluk. Maka haruslah kita berpindah dari ayat yang mafhumnya mengatakan Allah  bertarkib dan berjuzu' kepada ayat yang mafhumnya mengatakan Allah tidak bertarkib dan berjuzu'. Apakah kita akan meninggalkan ayat Shad di atas? Tentu tidak, jika kita tinggalkan secara total demi untuk menafikan sifat tarkib & juzu' daripada Allah maka kita akan terjatuh ke dalam jurang ta'thilnya orang-orang mu'athilah yang membuang sifat-sifat Allah. Dan sebaliknya jangan pula demi terlalunya untuk mengitsbatkan sifat Allah maka kita terjebak dalam perangkap tasybihnya orang-orang mujassimah. Tapi jalan yang paling baik adalah di tengah-tengah (khoirul umur aushothuha), yaitu kita  tidak menafikan sifat-sifat Allah dan tidak pula mengitsbat secara ghuluw sifat-sifat Allah hingga menyerupakan-Nya kepada makhluk, dengan kata lain kita mengitsbatkan sifat-sifat Allah sebagaimana Allah telah menyifati diri-Nya tetapi dengan catatan: sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan layak bagi Allah, artinya kita menempatkan ayat-ayat sifat sebagaimana mestinya dan layaknya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah manhaj yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, tidak menta'thil sebagaimana kaum mu'athilah dan tidak mentasybih sebagaimana kaum mujassimah.

Untuk menerapkan manhaj ahlus sunnah tersebut, salaf daripada sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in radhiyallahu anhum  mempunyai dua metode dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat:

Pertama, mayoritas salaf lebih memilih untuk menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala , inilah yang disebut dengan tafwidh karena:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ

"Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah" (Ali Imran:7)

Kenapa takwil, bukan makna? Karena maksud takwil di situ adalah makna, yaitu makna yang layak bagi Allah (tentulah ini hanya Allah saja yang tahu).

Kedua, golongan salaf yang lebih memilih untuk menafsirkan . Walaupun Allah saja yang tahu, namun tidak tertutup peluang Allah memberitahukannya kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana di antara mereka ada yang tajam bashirohnya, bersih fitrahnya, cerdas akalnya, baligh lughahnya dan kuat mujahadahnya hingga Allah memberikan mereka kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan pertolongan dan nur makrifat yang dibagikan faham oleh Allah.

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

"Dan tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya" (Ali Imran: 7)

Orang-orang yang rusukh ilmunya mampu tahu akan makna ayat-ayat mutasyabihat karena  Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk memahami makna yang layak bagi Allah, memahami makna yang dikehendaki Allah. Mereka diberi petunjuk oleh Allah untuk mentela'ah takwilnya, bukan mencari makna zhohirnya, sebab Allah tahu jika yang dicari  adalah makna zhohirnya maka akan menyebabkan manusia jatuh kepada perangkap tasybih. Itulah sebabnya kenapa ayat menggunakan lafazh takwil, bukan tafsir, bukan:

وَمَا يَعْلَمُ تَفسيرهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

"Dan tidak ada yang tahu tafsirnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya..."

Sebab tafsir belum tentu takwil tetapi takwil sudah pasti bagian daripada tafsir. Kalau alquran menggunakan lafazh tafsir maka akan terbuka peluang bagi manusia untuk mengartikan ayat-ayat mutasyabihat secara zhohir,  itulah sebabnya kenapa alquran mengkhususkan menggunakan lafazh takwil; untuk menutup peluang kepada manusia daripada mencari arti ayat mustasyabihat  secara zhohir. Maka penggunaan lafazh takwil pada ayat tersebut adalah sudah merupakan isyarat langsung  dari Allah kepada orang-orang yang rusukh ilmunya untuk mencari takwilnya, bukan mencari tafsirnya secara umum yang mencakup makna zhohir. Itulah sebabnya takwil juga merupakan bagian daripada tafsir untuk memilah dan memilih makna yang sebenar daripada lafazh-lafazh yang udzur diartikan secara zhohir. Ini telah maklum dalam ilmu tafsir.

Namun kedua-dua golongan di atas bersepakat untuk mengimani ayat-ayat mutasyabihat, artinya meyakini dan memahami kandungan makna yang ada pada ayat-ayat tersebut sebagaimana yang Allah kehendaki sebagai Pemilik ayat.

يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا

"…mereka berkata kami beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat; semuanya itu adalah dari Tuhan kita" (Ali Imran:7)

"Semuanya itu adalah dari Tuhan kita" adalah ta'bir (ungkapan) bahwa kita memahaminya sebagaimana yang Allah pahami dan kehendaki.  Nah di sinilah repotnya,  bagaimana 'pemahaman' dan kehendak Allah itu? Apakah bisa kita memahami sebagaimana yang dipahami dan diinginkan Allah? Jawabannya tentu saja bisa, sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk membagikan faham kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. Kemudian orang-orang yang sudah dibagikan faham tersebut juga memberitahukannya kepada murid-muridnya dan murid-muridnya ini memberitahukan kepada yang lainnya dan begitu seterusnya. Dan tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang pertama yang diberikan faham tentang tafsir ayat-ayat mutasyabihat dan tidak tertutup kemungkinan Rasulullah juga memberitahukannya kepada para sahabatnya, di antaranya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu. Ibnu Abbas adalah sahabat yang terkenal keahliannya dalam tafsir dan takwil. Ibnu Abbas lah yang telah yang mentakwil ayat Allah:

ويبقى وجه ربك (dan kekallah wajah Tuhanmu: Ar-Rahman:27) kepada ويبقى الله (kekallah Allah)

Wajah Allah ditakwilkan kepada Allah. Inilah takwilan yang benar, yaitu takwilan yang sesuai dan layak bagi Allah. Kalau seandainya wajah di situ kita takwilkan dengan muka Allah, maka ini adalah takwil yang fasid, inilah takwil yang diharamkan itu,, takwil yang tidak layak bagi Allah,  kenapa ada takwil yang layak bagi Allah tapi justru kita berpindah kepada takwil yang tidak layak bagi Allah?! Pentakwilan yang rusak seperti ini disebabkan:

ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

"Mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwil"(Ali Imran: 7)

Cobalah toh jika kita memaksakan diri untuk mengartikannya kepada muka Allah, maka kaki Allah akan hancur, tangan Allah akan hancur, betis Allah akan hancur dan semuanya akan hancur kecuali muka-Nya, karena Allah berfirman:

كل شئ هالك إلا وجهه

"Segala sesuatunya akan hancur kecuali muka Allah" (Al-Qashash:88)

Ibnu Abbas telah menyelamatkan kekeliruan banyak orang daripada aqidah yang sesat dengan pentakwilan beliau yang shohih tersebut. Itulah sebabnya masih pada ayat yang sama kenapa Allah memberikan nilai plus dengan memuji hamba-hamba-Nya yang memiliki kemampuan seperti Ibnu Abbas dengan firman-Nya:

. وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

"Dan tidaklah mengambil pelajaran kecuali para ulul albab"(Ali Imran: 7)

Ulul albab itu adalah orang-orang yang hidup ilmu hatinya. Lalu kenapa sahabat-sahabat yang lainnya tidak terdengar dari mereka telah mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat dan memilih untuk diam, mengimani saja dan hingga kita katakan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah. Apakah mereka tidak tahu maknanya? Eits…tunggu dulu, belum tentu diam, mereka tidak tahu, sebagaimana anda diam belum tentu anda tidak tahu. Ayat-ayat mutasyabihat ini adalah ayat-ayat yang penuh dengan rahasia Allah. Tidak mesti dipahami lewat akal dan diucapkan lewat lisan, namun hanya mampu dipahami lewat hati (al-qulub) dan berpindah dari hati ke hati. Mungkin ini yang menyebabkan mereka diam. Ditambah lagi memang di waktu itu belum ada sebab yang mendorong para sahabat untuk membeberkan makna ayat-ayat mutasyabihat. Toh mereka semua fitrahnya masih salim, lughahnya masih fashih dan akalnya masih baligh. Mereka faham betul setiap ayat yang diucapkan dari lisan Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam yang suci dan menyerap betul ilmu yang dituangkan dari dada beliau yang thohur ke dalam dada-dada mereka yang thohir walaupun tanpa harus diungkapkan dan diobral maknanya lewat lisan..

So mustahillah ada ayat alquran yang tidak  dipahami oleh makhluk-Nya. Sebab alquran adalah kitab yang jelas ayat-ayatnya.

تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ

"Itulah kitab yang jelas ayat-ayatnya" (Al-Qashash: 2)

Jelas bagi orang-orang yang rusukh ilmunya, bagi orang-orang yang diberikan faham, bagi orang-orang yang shofa' qulubnya, yang senantiasa hadhir dalam hadhrah nubuwwah, tiada hijab antara hatinya dengan syuhud robbaniyah hingga waridat-waridat ilahiyah Ta'ala turun ke dalam hatinya, ulumul laduniyah menghiasi nuraninya dan mawahib laduniyah terus tercurah ke dalam ruhiyahnya, itulah di antaranya adalah kewudhuhan makna ayat-ayat muhkamat dan kezhuhuran makna ayat-ayat mutasyabihat yang terkadang tidak tertangkap oleh madarikul 'uqul. Itulah sebabnya Allah menyuruh kita untuk membacanya saja, adapun fahamannya nanti bahagian Allah yang bagi tahu.

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)

" Apabila Kami membacanya maka ikutilah bacaannya. Kemudian bahagian kamilah nanti yang akan berikan penjelasannya." (Al-Qiyamah: 18-19)

Adapun kita yang masih awam ini, jika  hati penuh syubhat dan nafsu penuh dengan syahwat dan khusumat. Jauh dari hadhrah ilahiyah dan nubuwwah, tak pernah mentazkiyah nafsiyah dengan mujahadah qalbiyah, bagaimanalah bisa mendapatkan mawarid-mawarid faham dari Allah dan madad nubuwwah dari Rasulullah shallallahi alaihi wa sallam. Jangankan ayat-ayat mutasyabihat, ayat-ayat yang muhkamat sajapun kita tak akan diberi faham. Sehingga seluruh ayat-ayat Allah tak ada yang kita faham.

MAKALAH AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Al-Qur’an al-karim adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada penutup para nabi, Muhammad ibn Abdullah SAW, baik secara lapaz, makna, maupun gaya bahasa, yang ditulis dalam berbagai mushaf (kitab atau buku lengkap) dan diriwayatkan dirinya secara mutawatir.[1]
        Al-Qur’an merupakan sandaran Islam yang senantiasa dinamis dan mukjizat abadi, yang mampu mengalahkan dan senantiasa mengalahkan kekuatan manusia sepanjang sejarah kehidupan sejarah kehidupan umat manusia. Ia merupakan aturan Islam yang mencakup seluruh aspek dasar kehidupan umat manusia yang sesuai dengan fitrah manusia dan bersumber dari kedalaman hati nurani manusia.
        Al-Qur’an sendiri memiliki kewibawaan yang tak tertandingi jika dibandingkan dengan kewibawaan umat manusia. Ia sama sekali tidak tunduk terhadap kekuatan yang bathil, dan sebaliknya, mampu menjadikan mereka tunduk dan menerima kepemimpinan al-Qur’an yang adil dan bijaksana. Pada akhirnya, dengan mempelajari al-Qur’an, mereka dapat menerima al-Qur’an dengan rasa cinta, kerinduan, dan kesucian.[2] Menurut penulis al-Qur’an kitab suci satu-satunya yang dibaca orang banyak orang, baik yang mengerti  atau yang tidak mengerti akan maknanya, karena dari al-Qur’an terlahir banyak cabang disiplin ilmu yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, maka dengan adanya makalah sederhana ini mudah-mudahan bisa lebih menambah khazanah dan wawasan kita dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Dalam pembuatan makalah ini juga penulis tidak mencantumkan jumlah dan bilangan ayat muhkam serta mutasyabihat menurut pendapat ulama dikarenakan kurangnya referensi yang kami miliki dan juga tidak adanya kesepakatan para ulama dalam menentukan jumlah bilangan ayat muhkam dan mutasyabihat.

A.    Pengertian ayat muhkam dan mutasyabihat
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh).[3]
Sedangkan menurut pengertian terminology, muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti: ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara gamblang, baik melalui takwil (metapora) atau tidak.[4] Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah SWT, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqththa’ah.[5]
Muhkam menurut bahasa mempunyai arti yang banyak, seperti kekukuhan, keserupaan, keseksamaan dan keserupaan. Namun, meskipun demikian dapat dikembalikan kepada satu arti saja, yaitu alman’u  (pencegahan). Adapun mutasyabihat menurut pengertian bahasa biasanya dipergunakan untuk sesuatu yang menunjukan kepada kesamaan di dalam keserupaan dan keraguan yang pada galibnya membawa kepada kesamaran,[6]
Muhkam ayat yang mengandung penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.[7] Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu. Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.[8]
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.[9]
Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi  (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.[10]
Al-Qur’an seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafal al-Qur’an dan keindahan Nazmnya. Sungguh sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya.[11] Dengan pengertian inilah Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayat-Nya (Q.s. Hud: 11:1).
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (Q.s Hud [11]:1)[12]

Adapun tafsiran ayat tersebut adalah: Inilah, suatu kitab yang agung tuntunannya dan yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi oleh Allah SWT, tanpa campur tangan makhluk, kemudian  setelah keistimewaannya yang demikian agung dalam kedudukannya sebagai suatu kitab yang utuh, ia bertambah istimewa lagi karena ayat-ayatnya  di jelaskan secara terperinci juga oleh Allah SWT dan oleh Rasul-Nya yang sejak semula diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu kepadamu, wahai Muhammad, kami menurunkannya demikian itu agar kamu semua, wahai manusia dan jin, tidak menyembuhkan selain Allah.[13]  Setelah menjelaskan keistimewaan al-Qur’an dijelaskannya fungsi Nabi Muhammad, yang menerima dan menyampaikannya, yakni sesungguhnya aku khusus terhadap kamu semua, wahai manusia dan jin, diutus dari-Nya yakni dari Allah SWT, bukan atas kehendakku adalah pemberi peringatan sempurna bagi yang durhaka dan pembawa kabar gembira yang mencapai puncaknya bagi yang taat.[14] Kita juga dapat mengatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah mutasyabihat, jika kehendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan I’jaz dan kesulitan kita memperhatikan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.[15] Dengan pengertian inilah Allah AWT menurunkan al-Qur’an seperti yang ditandaskan dengan firman-Nya, (Q.s. Al-Zumar [23]: 39)
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (Q.s. Az-Zumar [39]: 23).[16]

Di dalam tafsir Al-Maragi diterangkan mengenai ayat di atas” Allah menurunkan perkataan yang terbaik yaitu Al-Qur’an-karim yang sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam kebenarannya dan hikmat, juga sebagaimana bagian-bagian dari air dan udara saling menyerupai sesamanya, juga sebagaimana bagian-bagian dari tumbuh-tumbuhan dan bunga saling menyerupai sesamanya. Bagian-bagian dari al-Qur’an itu di ulang-ulang kisah-kisahnya, berita-beritanya, perintah-perintahnya, larangan-larangannya, janji dan ancamannya.[17] Apabila dibaca ayat-ayat azab dari al-Qur’an, maka kulit menjadi gemetar dan hati menjadi takut. Sedang apabila dibaca rahmat dan janji, maka kulit menjadi lunak sedang hati menjadi tenang; jiwa menjadi tentram. As-Sajad berkata: Apabila ayat-ayat disebutkan, maka gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Dengan kitab itulah Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, memberi taufik dan beriman. Dan barang siapa yang di hinakan oleh Allah SWT sehingga ia tidak beriman kepada al-Qur’an dan tidak membenarkannya, maka tak ada orang yang dapat mengeluarkan dia dari kesesatan dan tak ada yang dapat memberi taufik kepadanya untuk menempuh jalan yang benar. Kemudian Allah SWT menyebutkan alasan dari hal tersebut, yaitu perbedaan orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang sesat.[18]
Dalam bukunya Ahmad Von Denffer mengatakan kata ahkam  (tunggal, hukum) berasal dari kata hakama, yang berarti memutuskan diantara dua masalah. Apabila kata tersebut dalam bentuk jamak, maka artinya adalah penilaian, keputusan, dan lebih praktis lagi adalah mengambil keputusan dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan hukum yang mengatur, dan juga termasuk menentukan kebenaran dan kekeliruan. Inilah yang disebut ahkam umum. Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubiha yang artinya meragukan. Dalam verbal noun berbentuk jamak artinya tidak tentu, atau hal yang meragukan. Dalam pengertian praktis, adalah ayat-ayat al-Qur’an yang artinya tidak jelas, atau belum sepenuhnya.[19]
Muhkam menurut bahasa terambil dari ahkamutud debaaah wa ahkamad, artinya melarang. Hukum yaitu pemisah antara dua hal. Hakim melarang orang dzolim dan memisah dua orang yang bermusuhan. Membedakan yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang dusta. Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabih, yaitu yang satu diserupakan dengan yang satu lagi. Sabhatu artinya tidak berbeda yang satu dan yang satu lagi.[20]
Pendapat Ragihib Isfahani mengatakan bahwa mutasyabih adalah ayat yang sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran dengan yang lain, baik dari sisi lafazh seperti al-yadd, al-‘ayn dan lain-lain.[21] Mutasyabih dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT dan sifat-sifat hari kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita vaktualisasikan karena tidak tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga kita bisa merasakannya.[22]
Pendapat Asham, muhkam adalah ayat yang dalilnya jelas, seperti dalil-dalil tentang keesaan, kekuasaan, dan hikmah sementara mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.[23]
Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih samar-samar.

B.     Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
1.      Madzab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT dari pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an. diantara ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah SWT dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa; ia menjawab:  Istiwa itu maklum, sedangkan caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada mazhab ini pulalah, para imam dan pemuka Hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini.[24]
2.      Mazhab khalaf,  yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada mulanya termasuk mazhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam  Ar- Risalah An-Nizamiyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf sebab mereka yang memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu di ingkari. Jika dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawqquf  (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka mensucikan Allah SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat di pahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.
Ibn Quthaibah (w.276 H ) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang di akui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab yang klasik, syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dari pada syarat kelompok Azh-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.[25]

C.    Hikmah Keberadaaan Ayat Mutasyabih Dalam al- Qur’an
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an dan  ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.[26]
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.[27] Menurut penulis disini keimanan kita di uji apakah kita percaya atau tidak terhadap ayat-ayat mutasyabih, karena ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang memang masih samar-samar sehingga keimanan kita di uji kembali. Jika seluruh ayat al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata” rabbanaa la tuzigh quluubana. [28]Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu laduni. menurut penulis disini Allah memberikan pujian bagi orang yang beriman karena keimanannya dan memberikan petunjuk-Nya. Sementara bagi orang kafir yang suka mengotak-atik ayat-ayat al-Qur’an Allah SWT akan tambah menyesatkan mereka. Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal di samping dalil naqal.
Allah SWT sengaja menjadikan al-qur’an yang muhkam dan mutasyauh sebagai ajang uji coba atas keimanan hamba-hamba-Nya. Orang yang benar keimanannaya sadr bahwa al-qur’an seluruhnya dari sisi Allah SWT dan segala yang datang dari Allah SWT adalah haq dan tidak tercampur dengan kebathilan atau hal yang bertentangan.
3.      Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia melalui  pemahaman  inderawi yang biasa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT  memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan[29]. Menurut penulis adanya muhkam dan mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad SAW, tetapi produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah SWT memberikan penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan Allah SWT di atas tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa memahami secara tekstual tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan mereka.

     KESIMPULAN
               Muhkam menurut terminologi artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna ungkapan lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah.  Sedangkan mutasyabihat adalah ungkapan yang makna lahirnya masih samar. Seperti yang penulis ungkapan pada pengertian muhkam dan mutasyabihat pada pembahasan bab pertama tadi, artinya penulis sepakat bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah sebuah ayat yang maksudnya sudah dapat dipahami tanpa penafsiran lebih detil, sementara yang dimaksud dengan mutasyabihat adalah ayat yang masih samar-samar dan perlu penjelasan lebih detil supaya dalam memahami ayat lebih mudah.
              Adapun pendapat ulama mengenai ayat muhkam tidak ditemukan perbedaan yang sangat mendasar, sementara dalam memahami ayat mutasyabihat para ulama sepakat bahwa dalam memahami ayat tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.
              Diantara hikmah keberadaan ayat muhkam dan mutasyabihat dalam al-Qur’an, adalah:
a.       Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
b.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
c.       Memberikan pemahaman abstrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar