Salah satu ulama rujukan kelompok Wahabi - Salafi kontemporer, Prof. DR. Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan (anggota kehormatan dari Komite Tetap untuk Penelitian dan Fatwa Islam di Arab Saudi sejak 15 Rajab 1412 H, salah seorang murid utama Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan salah satu guru dari Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi Al-Makassari, pendiri dan mudir pondok pesantren As-Sunnah Makassar), memberikan keterangan tentang madzhab, yg berlawanan dgn ustadz² Wahabi salafi di Indonesia yg alergi dan anti madzhab. Ketika beliau ditanya tentang hukum bermadzhab dgn salah satu dari empat imam madzhab : Imam Abu Hanifah (wafat 767 M di Baghdad Irak), Imam Malik (wafat 796 M di Jannatul Baqi' Madinah), Imam Syafi’i (wafat 820 M di Fustat Mesir) dan Imam Ahmad bin Hambal (wafat 855 M di Baghdad Irak) rahimahumullah, maka beliau menegaskan bahwa mereka adalah imam sunnah wajib yg diikuti. Keempat imam mazhab kita, adalah ulama mujtahid, bagi mereka pahala ijtihad.
Dalam kitab beliau, Al-Ijabat Al-Muhimmah Fii Al-Masyakil Al-Mudlahimah (الإجابات المهمَّة في المشاكل المدلهمَّة), menjelaskan bahwa ORANG AWAM atau PENUNTUT ILMU PEMULA BOLEH BERTAQLID, dan kalau sudah punya ilmu yg mapan, tapi belum mencapai derajat mujtahid, maka BOLEHLAH IA MENYANDARKAN DIRINYA PADA SUATU MADZHAB, tapi kalau menemukan pendapat di luar mazhabnya yg lebih rajih, maka itu yg harus ia pilih. Selain itu, beliau mengatakan bahwa ORANG YG TIDAK MAU BERMADZHAB ADALAH SESAT !!
Syaikh Shalih Fauzan adalah salah satu ulama paling besar dalam kelompok “Wahabi” dan ternyata TIDAK MELARANG TAQLID BAGI ORANG AWAM, APALAGI SAMPAI MENGHARAMKAN BERMADZHAB. Justru, apabila melihat syarat² ijtihad, akan tampak bahwa bukan sekedar AlQu’ran dan Hadits saja (sebagaimana banyak yg menduga), melainkan juga banyak hal lagi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan :
التمذهب بمذهب واحد من المذاهب الأربعة مذاهب أهل السنة الأربعة المعروفة التي بقيت وحفظت وحررت بين المسلمين، والانتساب إلى مذهب منها، لا مانع منه، فيقال: فلان شافعي، وفلان حنبلي، وفلان حنفي، وفلان مالكي. ولا زال هذا اللقب موجودًا من قديم بين العلماء، حتى كبار العلماء، يقال: فلان حنبلي، يقال مثلًا: ابن تيمية الحنبلي، ابن القيم الحنبلي، وما أشبه ذلك، ولا حرج في ذلك
“Bermadzhab dgn salah satu madzhab yg empat, yaitu empat madzhab Ahlu Sunnah yg telah dikenal, yg tetap eksis, terjaga, dan ditahriri (diperiksa) diantara umat muslim, menisbatkan diri kepada salah satu darinya, tidak ada halangan (BOLEH). Maka dinyatakan : Fulan Syafi’i, fulan Hanbali, fulan Hanafi, dan fulan Maliki. Gelar ini terus menerus di kalangan para ulama sejak zaman dulu, sampaipun kepada para ulama kibar. Dinyatakan pula : fulan Hanbali. Misal dinyatakan : Ibnu Taimiyyah Hanbali, Ibnul Qayyim Hanbali, dan yg semisal hal itu. Tidak ada kesempitan dalam hal ini.” (Kitab Majmu’ Fatawa : 2/701).
Dalam salah satu ceramahnya, Syaikh Shalih Al-Fauzan menasihatkan untuk mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yaitu Hanafi, atau Maliki, atau Syafi’i atau Hanbali. Walau beliau seorang Hanbali, tapi beliau MENASIHATKAN UMAT MUSLIM UNTUK MENGIKUTI MADZHAB MAYORITAS DI NEGERINYA MASING². Dalam arti, tidak mengajak untuk mengikuti madzhab Hanbali yg beliau ikuti. Kalau di Indonesia, madzhab mayoritas penduduknya adalah Madzhab Syafi’i.
Syaikh Shalih Al-Fauzan juga berkata : “Apabila penduduk suatu negeri di atas madzhab yg shahih, yaitu salah satu madzhab dari madzhab Ahlus Sunnah, maka janganlah dia memisahkan diri darinya. Di atas madzhab yg shahih, dari madzhab Ahlus Sunnah, seperti Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Hanabillah, dan Malikiyyah. Madzhab-madzhab ini, Alhamdulillah madzhab sunniyyah dan (direkomendasikan) untuk dipelajari. Maka janganlah seorang keluar dari (madzhab) mereka, janganlah memisahkan diri dari mereka, dan jangan membuat kekacauan kepada mereka.” (Kitab Majmu’ Fatawa).
Dr Jonathan Brown (seorang mualaf yg kini telah menjadi pakar hadits dan peradaban Islam di Georgetown University) menulis sbg berikut :
“All the above proto-Salafi and Salafi scholars have consistently maintained that the masses of the Muslims are unqualified to approach the scriptural sources of Islam in any authoritative way. Moreover, like their mainstream Sunni opponents, Salafis have affirmed that ‘the layperson has no legal school’. His school is whatever a qualified local scholar says it is.”
Melihat penjelasan di atas, telah jelas bahwa posisi salafi wahabi menurut para ulamanya, tidak boleh melarang untuk bermadzhab dan mengikuti salah satunya. Apabila ada yg mengatakan bahwa salafi/wahabi MELARANG BERMADZHAB, maka itu adalah suatu KEKELIRUAN.
Tapi, yg mengatakan “haram bermadzhab” dan “awam boleh ijtihad” bukan hanya para pengkritik salafi / wahabi, melainkan sebagian jama'ah atau ustadz² salafi/wahabi sendiri, dan faktanya mereka memang anti madzhab.
Wahabiyah khususnya di Indonesia, sering kita dengar, mereka mudah sekali mencela empat madzhab atau ulama pengikut madzhab yg telah disepakati oleh mayoritas umat Islam di dunia khususnya di Indonesia, mereka mengatakan bahwa para pengikut madzhab telah memecah belah umat dan bahwa taqlid pada salah satu madzhab, adalah inti kesyirikan. Orang yg mengikuti satu madzhab saja dalam satu masalah, maka ia adalah seorang yg fanatik buta, dan orang yg taklid buta, telah keluar dari agamanya, karena ia mengikuti hawa nafsunya, dan menjadi bagian dari hizbusy syaithan (golongan syaithan) dan budak hawa nafsu, sehingga hilang cahaya keimanan dalam hatinya (Lihat Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi, Hal Al-Muslim Mulzamun bit tiba’i Madzhaibn Mu’ayyanin, halaman 38 dan 76).
Adapun larangan mereka dalam bermadzhab bisa dilihat dalam Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi AlhMakky, Hal al Muslim Mulzamun bit Tiba’i Madzhaib Mu’ayyanin ta’liq Salim al Hilali (halaman 6), dia menyebutkan bahwa orang yg bermadzhab harus disuruh bertaubat, kalau tidak mau bertaubat maka dibunuh, dan halaman 11, dia mengatakan : "Apabila ditelusuri dgn seksama tentang permasalahan madzhab, maka sesungguhnya madzhab tsb berkembang dan menyebar karena bantuan musuh Islam.
Syaikh Al-Qanuji salah seorang ulama Wahabi mengatakan : “Taqlid terhadap madzhab² adalah syirik.” (Lihat Muhammad Shidiq Hasan Al-Qanuji, Kitab al Din al Khalish, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah, Juz. 1 halaman 140). Jadi menurutnya, seluruh umat Islam pada masa sekarang kufur, karena mereka penganut madzhab yg empat, menurut orang² Wahabi mereka adalah orang² yg kafir.
Akhirnya, muncul beberapa pertanyaan : "Kenapa sebagian penuntut ilmu yg berkiblat ke Syaikh Ibnu Taimiyyah dan muridnya (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah), serta para ulama Saudi tidak bermadzhab ? atau seandainya bermadzhab, kenapa bermadzhab tarjih ? Dimana madzhab tarjih ini keluar dari madzhab fiqh yg empat, yg oleh Syaikh Shalih Fauzan pun tidak pernah merekomendasikannya ?
Sebagai bahan renungan, monggo para pengikut Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat 1273 M di Damaskus Suriah) beliau berkata :
أن من التزم مذهبا معيَّنا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه، ولا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك، ومن غير عذر شرعي يبيح له ما فعله، فإنه يكون متبعا لهواه، وعاملا بغير اجتهاد ولا تقليد، فاعلا للمحرم بغير عذر شرعي، فهذا منكر.
“Barangsiapa yg melazimi madzhab tertentu, kemudian mengambil pendapat lainnya, bukan karena taqlid kepada ulama lain yg memfatwakannya, dan bukan pula karena pendalilan dgn dalil yg membuat dia mengambil pendapat lain tsb, dan tanpa ‘udzur syar’i yg membolehkan dia untuk melakukan hal tsb, maka dia telah mengikuti hawa nafsunya dan mengamalkan suatu pendapat tanpa ijtihad dan juga tanpa taqlid, dan dia telah melakukan suatu perbuatan yg haram tanpa adanya ‘udzur syar’i, maka ini adalah kemungkaran.”
Kemudian beliau berkata :
وأما إذا تبيَّن له ما يوجب رجحان قول على قول، إما بالأدلة المفصَّلة إن كان يعرفها ويفهمها، وإما بأن يرى أحد رجلين أعلم بتلك المسألة من الآخر، وهو أتقى لله فيما يقوله، فيرجع عن قول إلى قول لمثل هذا، فهذا يجوز، بل يجب! وقد نص الإمام أحمد على ذلك.
“Adapun jika tampak jelas baginya, bahwa pendapat lain itu lebih kuat, baik dgn pendalilan yg terperinci, jika dia mengetahui dan memahami pendalilan tsb, atau karena dia melihat ulama lain yg memilih pendapat itu lebih berilmu dalam masalah tsb daripada selainnya, dan ulama tsb lebih bertakwa kepada Allah mengenai apa yg beliau ucapkan, sehingga dia memilih pendapat lain tsb karena sebab seperti ini, maka ini boleh, bahkan wajib ! Dan Imam Ahmad telah menyatakan hal ini.”
Dari kalangan Syafi’iyyah telah duluan mengingatkan, salah satunya adalah ulama kibar syafi'iyyah, Al-Imam Al-Allamah Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi'i atau Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 22 Desember 1277 M di Nawa, Suriah), di mana beliau berkata :
والذي يقتضيه الدليل أنه لا يلزمه التمذهب بمذهب، بل يستفتي من شاء أو من اتفق، لكن من غير تلقط الرخص، ولعل من منعه لم يثق بعدم تلقطه.
“Adapun yg ditunjukkan oleh dalil adalah bahwa tidak wajib bagi seseorang untuk melazimi madzhab tertentu. Akan tetapi, dia boleh untuk meminta fatwa kepada ulama mujtahid siapa pun yg dia kehendaki atau yg dia temui, akan tetapi tidak boleh mencari² keringanan. Para ulama yg melarang hal ini, bisa jadi tidak yakin akan tidak adanya perbuatan mencari² keringanan ini.”
Perhatikan, bahwa tidak boleh bagi kita untuk su’udhon kepada para ulama yg memilih pendapat pertama, sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi rahimahullah di atas. Yang dimaksud dgn perbuatan mencari² keringanan ini adalah ketika seseorang memilih pendapat lain karena sekadar mengikuti hawa nafsunya, bukan karena pendalilan dari pendapat tsb dia nilai lebih kuat (jika dia sudah mengerti berbagai ilmu alat seperti ushul fikih, sehingga bisa memahami mana pendalilan yg lebih kuat), dan bukan pula karena dia mengikuti ulama mujtahid yg dia nilai lebih berilmu dan lebih bertakwa.
Selalu mencari² pendapat yg paling ringan atau menuruti hawa nafsu atau menggunakan dalil² yg hanya sesuai dgn kepentingannya, itu haram, dan perbuatan ini telah banyak dicela oleh para ulama sejak dulu. Tidak boleh bagi kita untuk melakukan FATWA SHOPPING, di mana kita memilih² fatwa para ulama yg paling sesuai selera kita, sebagaimana ketika kita sedang berbelanja. Dan tidak boleh juga bagi kita untuk memilih fatwa seperti kita sedang makan prasmanan, yaitu berbagai makanan sudah tersedia di meja dan kita tinggal pilih² mana makanan yg sesuai seleranya. Perbuatan ini disebutkan sebagai kemungkaran oleh Syaikh Ibn Taimiyyah rahimahullah, sebagaimana yg telah kami nukilkan perkataan beliau di atas.
Orang muslim awam, khususnya yg baru hijrah, dianjurkan untuk belajar fiqih, secara terstruktur dan terkurikulum, sehingga dia ingin naik tingkat dan naik kelas dalam ilmu fikihnya, maka sangat direkomendasikan baginya untuk belajar fikih dhn menggunakan kurikulum madzhab. Dia mulai proses belajarnya dari matan yg ringkas untuk penuntut ilmu tingkat pemula, kemudian beranjak ke matan yg lebih tebal untuk penuntut ilmu tingkat menengah, sebelum kemudian dia bisa mencerna matan yg lebih tebal lagi untuk penuntut ilmu tingkat lanjutan.
Jika mereka mempelajari fikih menggunakan metode ini, maka itu akan memudahkannya untuk menaiki tangga² ilmu dalam syariat Islam, sebab dia akan menjadi kokoh dgn satu sudut pandang pendalilan terlebih dahulu, sebelum dia masuk ke ranah khilaf yg ada di kalangan para ulama. Ingat, masalah fikih itu banyak sekali, dan metode pendalilan yg digunakan oleh para ulama pun tidak bisa dipahami dgn cepat — kecuali oleh orang yg dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Dalam mempelajari fikih, dgn menggunakan satu sudut pandang madzhab yg sedang dia pelajari tsb, akan membuat seorang penuntut ilmu memiliki malakah fiqhiyyah atau kompetensi fikih yg kokoh, sebelum kemudian dia menceburkan dirinya ke dalam lautan khilaf yg ada di kalangan para fuqaha’ dan Muhadditsin. Jika tidak ingin tenggelam dan tersesat dalam lautan yg luas dan dalam ini, maka perkuatlah kemampuannya terlebih dahulu, dgn cara belajar fikih secara terstruktur dan terkurikulum menggunakan kurikulum madzhab, tanpa disertai fanatik buta tentunya. Seperti kurikulum pesantren ahli Sunnah Wal Jama'ah, yg ada di Nusantara.
Tradisi mempelajari fiqih dgn metode madzhab, terkhusus madzhab Imam Syafi’i, mulai “digandrungi” oleh umat muslim di Indonesia. Maksudnya, mulai digandrungi oleh kelompok atau komunitas yg dulunya anti madzhab atau minimal tidak bermazhab (metode tarjih).
Kondisi yg menggembirakan ini tak lain dan tak bukan – setelah kehendak Allah -, adalah tersebab gencarnya para pendakwah yg tidak pernah lelah dan jemu serta sabar mengedukasi umat akan urgensi bermadzhab dgn salah satu madzhab yg empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam mempelajari fiqih secara khusus dan agama secara umum. Baik upaya tsb disampaikan secara lisan (ceramah) ataupun tulisan, baik langsung atau via dunia maya/medsos (youtube, facebook, instagram, dll).
Ini menjadi pembelajaran bagi kita sekalian (yg belum lama sadar akan pentingnya bermadzhab), bahwa untuk urusan agama dan bagaimana memahaminya dgn baik dan benar, hendaknya kita merujuk kepada para ulama pendahulu kita.
Kita kembali kepada jalannya AS-SAWAD AL-A’DHAM (golongan yg besar), yaitu para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Jangan menyempal dari jalan mereka. Jangan suka membuat metode sendiri. Jangan mudah tergiur oleh slogan² yg sepintas keren dan bombatis, yg hakikatnya adalah kosong melompong dan rapuh.
Kewajiban mengikuti As-Sawadul A'dhom tsb, telah diperintahkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sebagaimana riwayat dari Anas bin Malik radhiallahu anhu (612 M, Madinah - 709 M, Basra, Irak), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أُمَّتِي لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَالَةٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ اخْتِلَافًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat di atas kesesatan. Maka apabila kalian melihat perselisihan, wajib atas kalian mengikuti golongan yg paling banyak (mayoritas, yaitu Ahlus Sunah wal Jama’ah).” (HR. Imam Ibnu Majah rahimahullah nomor 3950).
Kita pengikut Ahlussunnah Wal Jama'ah dan khususnya Nahdatul ulama, harus terus istiqomah berjuang, yakin dan optimis, lima sampai sepuluh tahun ke depan, akan menjadi masa² cerah kebangkitan umat muslim di Indonesia untuk kembali ke jalan para ulama Nusantara pendahulu mereka, seperti : Syekh KH. Mahfudz At-Tarmasi, Syekh KH. Muhammad Khalil Al-Bangkalani, Syekh KH. Hasyim Asy‘ari, Syekh Musnid dunya Yasin Al-Fandani, Syekh KH. Ahmad Khathib Al-Minangkabawi, Syekh KH. Muhammad Nawawi Al-Bantani, Syekh KH. Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syekh KH. Ihsan Jampes Al-Kadiri, Syekh KH. Muhammad Faqih Maskumambang rahimahumullahdan lain². Di mana keilmuan mereka semuanya, bersanad kokoh sampai kepada para ulama salafus solih dan bermuara kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat !!
Written from various sources : www.nu.or.id https://fajrimuhammadin.staff.ugm.ac.id https://sunnahmadinah.wordpress.com www.generasisalaf.wordpress.com www.islampos.com https://muslim.or.id and other sources by Al-Faqir Ahmad @Zaini Alawi Khodim @Jama'ah Sarinyala Kabupaten Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar