Jumat, 05 Juli 2019

Sudah Ada Quran Sunnah, Kenapa Masih Beda Pendapat?


by : Ahmad Sarwat, Lc.,MA

Banyak orang tanya ke saya kayak gitu. Sudah ada Al-Quran yang kebenarannya mutlak, kok masih saja berbeda pendapat?

Sudah ada hadits yang dipastikan mutlak benarnya, kenapa masih saja berbeda pendapat?

Kenapa 4 mazhab itu masih saja mengajak orang berbeda pendapat dan mengajak kepada perpecahan? Tidak kah mereka takut dosa karena memecah-belah umat Islam dan mengkotak-kotakkannya?

Saya raga garuk-garuk kepala yang 100% tidak gatal. Agak susah juga menjawabnya ya.

Jadi dalam pandangannya, dia pikir bahwa beda pendapat itu haram dan berdosa, sehingga paling benci kalau dengar adanya ikhtilaf atau perbedaan pendapat ulama.

Teman saya yang lain dan sudah jadi ustadz malah lebih ekstrim lagi. Menurut beliau, umat Islam itu wajib bersatu. Kalau tidak bersatu, maka semuanya jadi ikut berdosa besar.

Ternyata ketika saya tanyakan lebih dalam, bersatu dalam hal apa? Menurutnya bersatu itu harus dalam semuanya. Mulai dengan satu aqidahnya, tidak boleh ada perbedaan pandangan dan metode dalam beraqidah.

Kemudian juga harus bersatu dalam ibadah. Maksudnya semua tata cara ibadah itu harus seragam, kompak, tidak boleh ada yang beda-beda satu dengan yang lain. Kan nabinya cuma satu, masak ibadahnya beda-beda?

Selama aqidah dan ibadah belum bersatu (baca: seragam), maka jangan mimpikan bersatunya umat Islam.

Saya penasaran jadi tanya lagi. Kan dalam Quran dan Sunnah sendiri ada begitu banyak dalil yang mana satu dengan yang lain saling ta'arudh (bertolak-belakang), terus ayat atau hadits yang mana dari Al-Quran yang kita pakai dan yang kita buang? 

Ada sekian banyak ayat dan hadits yang berpotensi melahirkan  perbedaan pendapat, dan ternyata para fuqaha sejak dahulu sudah berbeda pendapat, lalu kita pakai yang mana?

Ditanya begitu, dia rada bengong sebenar sambil mikir kayaknya. Terus tiba-tiba dia berujar,"Ya, pokoknya ikuti ustadz lah".

"Lha terus kalau ustadz-ustadz itu juga pada berbeda pendapat, ustadz yang mana yang kita ikuti?", tanya saya lagi

"Ya, pokoknya ikuti ustadz yang paling sesuai dengan Quran dan Sunnah", jawabnya.

"Ya pasti lah itu. Cuma tolok ukurnya apa? Bagaimana cara mengukur kadar seorang ustadz itu lebih dekat dengan Quran dan Sunnah?", tanya saya lagi.

Dia jawab, kali ini dengan rada puyeng,"Misalnya celananya cingkrang, jidatnya hitam, jenggotnya lebat, pokoknya yang paling dekat dengan sunnah aja".

Oooh, jadi ukurannya ternyata potongan celana, kehitaman dahi, dan panjangnya jenggot. Sederhana sekali cara berpikirnya. Sesimple dan se-praktis itu metodologi istimbath hukumnya. Ya sudah tidak saya teruskan obrolannya.

خاطبوا الناس على قدر عقولهم
Ajak ngomong orang itu harus selevel dengan kemampuan berpikirnya.

Kalau kira-kira nggak sampai, mending jangan diteruskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar