Minggu, 30 November 2025

Mengenal Karakter Umum Penganut Salafi

1. Punya semangat beragama dan militansi yang tinggi dalam mengaji, mengamalkan dan membela fahamnya. Sisi positif dari kehadiran teman-teman salafi adalah mereka begitu giat mendatangi salat berjamaah di masjid-masjid dan mushalla dan rutin mendatangi kajian-kajian keislaman tentunya yang sefaham dengan mereka.

2. Suka membahas dan mengungkit khilafiyah furu’iyyah yang tidak terlalu prinsip yang ada di tengah masyarakat serta memberikan vonis yang ‘keras’ bagi yang dinilainya tidak benar.

3. Hanya mau ngaji dengan ustadz dari kelompoknya sendiri. Ustadz di luar kelompoknya seringkali dilabeli ustadz syubhat dan semestinya dijauhi dan ditinggalkan. Mereka mengeluarkan daftar ustadz yang layak didatangi dan tidak perlu didatangi. 

4. Sering memposisikan diri sebagai ‘polisi kebenaran’ bagi jamaah lain. Jika mereka ikut kajian di Muhammadiyah, giliran ada sesi tanya jawab, yang terjadi bukan mereka bertanya tapi malah sering ‘mengoreksi’ dan menentang apa yang menurutnya tidak sepaham. Dengan PD-nya ia ‘menyalahkan’ paham lain yang berbeda dengan kelompoknya. Termasuk yang menjadi sasaran kritiknya adalah putusan maupun fatwa tarjih.

5. Sering menganggap kebenaran fikih itu tunggal, yang benar hanya satu yang lain salah. Sayangnya, orang lain selalu diposisikan ‘salah’ dan hanya kelompoknya saja yang benar.

6. Sikap kaku dan hitam putih dalam menilai suatu perbuatan. Ilmu fikih dikira ilmu eksak yang hanya mengenal benar dan salah, kurang terbiasa dengan ungkapan kuat dan kurang kuat dalam menilai sebuah pendapat. Sikap kaku ini juga akan berimbas pada sikap kurang toleran dan mudah menghakimi kelompok lain.

7. Mudah memvonis dan melabeli kelompok lain sebagai ahli bid’ah, ahli hawa nafsu, syirik, murtad dan bahkan kafir kepada golongan lain yang tidak sepaham.

8. Cenderung harfiah atau letterlijk dalam memahami nash, tidak menta’lil nash, sehingga dijuluki zhahiri baru oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi atau digelari ihya`u zhahiri oleh Qumaidi.

9. Gampang mentahdzir dan suka memboikot atau mendiamkan tokoh dari kelompok lain yang dianggap pembuat bid’ah.
10. Kebiasaan mentahdzir ini juga bisa terjadi dengan ustadz sesama salafi yang berbeda sedikit saja dengan ustadz kelompok lain walau sama-sama salafi.

11. Suka menyoal dan mengungkit perkara khilafiyah yang kecil dan tidak prinsip menjadi seolah-olah perkara besar yang menentukan surga dan neraka seseorang.

12. Mudah menentang dan menolak budaya atau kebiasaan dengan dalih tidak ada di zaman Nabi SAW dan sahabat atau tasyabbuh dengan non muslim.

13. Gampang menjatuhkan vonis haram atau bid’ah terhadap sebuah kejadian, namun juga sering tidak memberikan solusi sehingga hanya membikin masyarakat gaduh dan bingung saja tanpa solusi. Misalnya memvonis bank syariah masih belum bebas riba tapi solusi konkrit buat umat juga tidak jelas.

14. Kurang tepo sliro dan adab dalam menyampaikan dakwah sehingga sering membuat ‘abang kuping’ terutama kelompok lain yang tidak sepaham. Mereka punya prinsip sampaikan kebenaran walau terasa pahit. Namun jika sering ketemu pahit mestinya juga perlu dievaluasi gaya dan cara dakwahnya.

15. Dalam mempraktekkan muamalah seperti dalam berpakaian, berumah tangga, berpenampilan sehari-hari terkesan Arab sentris dan kurang apresiatif dengan budaya lokal atau setempat.

16. Sering menolak produk budaya dan peradaban modern hanya karena diukur dengan masa salaf yang belum atau tidak ada seperti menolak pemilu, demokrasi, bank, go pay dan lain-lain. Namun anehnya, terhadap produk teknologi modern mereka begitu akrab dan sangat familier.

17. Suka menggunakan kunyah dengan menambahkan nama “Abu” di depan namanya. Sementara untuk nama masjid sering menggunakan nama sahabat, demikian juga nama ma’had atau pondok pesantrennya.

Minggu, 16 Maret 2025

MELETAKAN AL QURAN DI LANTAI.

Syaikh Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi dalam Kitab Tuhfatul Habib menyatakan:
وَ يَحْرُمُ وَضْعُ الْمُصْحَفِ عَلَى اْلأَرْضِ بَلْ لاَ بُدَّ مِنْ رَفْعِهِ عُرْفاً وَلَوْ قَلِيْلاً
“Haram hukumnya meletakkan mushaf di lantai, akan tetapi Mushaf tersebut harus diangkat, meskipun hanya sedikit”
RASULULLAH ﷺ tidak pernah meletakkan lembaran-lembaran Mushaf di lantai, bahkan ketika sejumlah Yahudi memberikan kepada beliau Kitab Taurat, Rasulullah ﷺ meletakkan Taurat tersebut di atas bantal.
أَتَى نَفْرٌ مِنْ يَهُودَ فَدَعُوا رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلّم إلَى الْقُفِّ، فأتَاهُمْ في بَيْتِ المِدْرَاسِ، فقالُوا: يَا أبَا الْقَاسِمِ إنَّ رَجُلاً مِنَّا زَنَى بامْرَأَةٍ فاحْكُمْ بَيْنَهُمْ، فَوَضَعُوا لِرَسُولِ الله صلى الله عليه وسلّم وِسَادَةً فَجَلَسَ عَلَيْهَا ثُمَّ قالَ: ائْتُونِي بالتَّوْرَاةِ، فأُتِيَ بِهَا، فَنَزَعَ الْوِسَادَةَ مِنْ تَحْتِهِ وَوَضَعَ التَّوْرَاةَ عَلَيْهَا وقالَ: آمَنْتُ بِكَ وَبِمَنْ أنْزَلَكَ…..
"Beberapa orang yahudi datang dan mengundang Rasulullah saw untuk hadir ke Quff (tempat dekat Madinah), lalu beliau mendatangi mereka di tempat yang biasa mereka gunakan untuk mengaji. Mereka berkata, “Wahai Abul Qasim, seorang laki-laki di antara kami berzina dengan seorang wanita, maka tetapkanlah hukum bagi mereka.” Mereka lantas memberi bantal Rasulullah ﷺ untuk digunakan duduk, Beliau pun duduk. Kemudian beliau minta diambilkan Taurat, naskah Taurat itu lalu diberikan kepada beliau. Beliau menarik bantal yang didudukinya dan meletakkan Taurat tersebut di atasnya seraya bersabda: “Aku beriman kepadamu dan kepada Dzat Yang menurunkanmu” (Sunan Abu Dawud, no.4443)
.
Hadits di atas secara jelas memperlihatkan bagaimana RASULULLAH ﷺ memperlakukan kitab Taurat yang telah dirubah-rubah oleh orang Yahudi tersebut di atas bantal, tentunya Al-Quran lebih utama untuk diperlakukan seperti itu.
Wallohu A'lam