Mereka๐ wahabi mengkafirkan orang tua nabi bermodal hadits dari riwayat muslim,padahal hadits tersebut tidak ada di sahih bukhari sebab hadits tersebut hadits ahad yang tidak bisa di jadikan dalil dalam urusan aqidah.
Berikut dalil yang mereka bawa untuk mengkafirkan orang tua Nabi๐๐
#Hadis_pertama
Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, di manakah ayahku berada?" Nabi saw menjawab, "Di dalam neraka." Ketika orang itu berpaling untuk pergi, beliau saw memanggilnya. Lalu Nabi saw berkata, "Sesungguhnya ayahku dan ayahmu berada di dalam neraka." [HR Muslim (203)]
#Hadis_kedua
Suatu saat Nabi saw pergi berziarah ke kubur ibunya. Sesampainya di kuburan itu beliau saw menangis sampai membuat orang-orang di sekitarnya ikut menangis. Lalu beliau saw berkata, "Aku telah meminta kepada Allah agar mengizinkanku untuk memohonkan ampun baginya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu aku memohon kepada-Nya agar mengizinkanku untuk menziarahi kuburnya, dan Allah mengizinkan." [HR Muslim (976)]
Dari hadits diatas wahabi yidak mau menakwil sama sekali dan menelan bulat" padahal
Keduanya merupakan hadis ahad (diriwayatkan melalui satu jalur). Dan para ulama hadis (baik klasik maupun modern) menetapkan bahwa hadis ahad tidak bisa digunakan sebagai dalil dalam urusan akidah.
Kedua Hadits pertama yang menjadi dalil para pengkafir diriwayatkan oleh Hamad bin Salamah, dari Tsabit. Sebagian ulama mentsiqahkan Hamad, tapi sebagian lainnya menolaknya. Imam Bukhari tidak mau meriwayatkan hadis darinya lantaran Hamad kerap melakukan kesalahan. Hamad sering meriwayatkan tafsiran hadis dan bukan meriwayatkan lafaz hadisnya.
Abu Hatim dalam kitab "Al-Jarh wa Al-Tadil" menyatakan bahwa daya ingat Hamad memburuk di masa akhir usianya. Az-Zaylai dalam kitab "Nashbu ar-Rayah" menyatakan bahwa daya ingat Hamad memburuk ketika sudah lanjut usia, karena itu sebaiknya tidak berdalil dengan hadisnya yang bertentangan dengan hadis-hadis tsiqah. Bahkan, sebagian ulama menganggap hadis-hadisnya munkar, disebabkan peran putra tirinya yang dinilai suka merekayasa hadis-hadisnya.
Ke-3.Hadis pertama juga diriwayatkan oleh Muammar, dari Tsabit. Namun, di dalamnya tidak menyebut ayah Nabi saw berada di neraka. Hadis itu hanya menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda, "Ketika engkau melewati kuburan orang musyrik, maka kabarkan kepadanya tentang neraka."
Daya ingat Muammar tidak pernah diragukan, demikian pula riwayatnya tidak pernah diingkari. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis darinya. Karena itu, riwayat Muammar jelas lebih kuat.
Ke-4.Terdapat riwayat lain dari jalur Saad bin Abi Waqqash yang senada dengan riwayat Muammar di atas, yaitu tidak menyebut ayah Nabi saw berada di neraka. Riwayat Saad ini dikeluarkan oleh Al-Bazzar, Al-Thabarani, dan Al-Baihaqi. Di riwayat ini Nabi saw hanya berkata, "Ketika engkau melewati kuburan seorang kafir, maka kabarkan kepadanya tentang neraka."
Dari syubhaatnya itu Terdapat beberapa ulama salaf yg menyanggah kedua riwayat Imam Muslim tersebut. Di antaranya adalah Imam Jalaluddin Al-Suyuthi, yang menulis tiga risalah khusus seputar tema ini. Yang paling masyhur adalah risalah "Al-Tazhim wa al-Munnah fi anna Abaway Al-Naby fi al-Jannah". Lainnya adalah Qadhi Abubakar ibn Arabi, yang secara tegas berkata, "Ketika kita ditanya seputar orangtua Nabi saw berada di neraka, maka jawablah: Terkutuklah orang yang berkata seperti itu!'"
Selanjutnya,wahabi selalu melakukan bid'ah yaitu membahas hal syubhaat dengan akal pendek mereka sebab imam madzab 4 bahkan tidak pernah membahas sesuatu yang menimbulkan syubhat dan durhaka macam itu.
Tapi mereka ๐wahabi berkata bahwa ayah nabi ibrahim pun hingga akhir hayatnya tetap menyembah berhala jadi begitu pula ayah dan ibunda nabi Muhammad....Allahu durhaka sekali mereka.
Padahal kalam yang menampik argumen bodoh mereka itu secara tegas dan mematikan
Mari kita simak apakah mereka juga mereka menampik kalam ini??๐๐
ุฑุจ ุงุฌุนููู ู
ููู
ุงูุตูุงุฉ ูู
ู ุฐุฑูุชู ุฐُุฑَِّّูุชِู.ุฑุจู ูุชูุจู ุฏุนุงุก( ุง ุจุฑ ููู
؛ ูคู )
Dan hadits ini๐๐
ููุฏ ุฃุฎุฑุฌ ุงุจู ุงูู
ูุฐุฑ ูู « ุชูุณูุฑู » ุจุณูุฏ ุตุญูุญ ุนู ุงุจู ุฌุฑูุฑ ูู ูููู ุชุนุงูู ุญูุงูุฉ ุนู ุฅุจุฑุงููู
ุนููู ุงูุณูุงู
ุฑَุจِّ ุงุฌْุนَِْููู ู
ُِููู
َ ุงูุตََّูุงุฉِ َูู
ِْู ุฐُุฑَِّّูุชِู ูุงู : ูุง ูุฒุงู ู
ู ุฐุฑูุฉ ุฅุจุฑุงููู
ุนููู ุงูุณูุงู
ูุงุณٌ ุนูู ุงููุทุฑุฉ ูุนุจุฏูู ุงููู
(Syekh Sayyid Ishaq Azur al-Husaini, al-Hujaj al-Wadlihat fi Najati al-Abawaini wa al-Ajdad wa al-Ummahat, hal. 6)
ูุฃุฎุฑุฌ ุงุจู ุฃุจู ุญุงุชู
ุนู ุณููุงู ุจู ุนูููุฉ ุฃูู ุณุฆู: ูู ุนุจุฏ ุฃุญุฏ ู
ู ููุฏ ุฅุณู
ุงุนูู ุงูุฃุตูุงู
، ูุงู: ูุง، ุฃูู
ุชุณู
ุน ูููู َูุงุฌُْูุจِْْูู َูุจََِّูู ุฃَْู َูุนْุจُุฏَ ุงْูุฃَุตَْูุงู
َ
(Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal. 262)
ุงูุฃู
ุฑ ุงูุซุงูู ู
ู
ุง ููุชุตุฑ ุจู ููุฐุง ุงูู
ุณูู، ุขูุงุช ูุขุซุงุฑ ูุฑุฏุช ูู ุฐุฑูุฉ ุฅุจุฑุงููู
ูุนูุจู، ุงูุขูุฉ ุงูุฃููู - ููู ุฃุตุฑุญูุง - ูููู ุชุนุงูู َูุฅِุฐْ ูุงَู ุฅِุจْุฑุงِููู
ُ ِูุฃَุจِِูู ََْูููู
ِِู ุฅَِِّููู ุจَุฑุงุกٌ ู
ِู
َّุง ุชَุนْุจُุฏَُูู ุฅَِّูุง ุงَّูุฐِู َูุทَุฑَِูู َูุฅَُِّูู ุณََْููุฏِِูู َูุฌَุนََููุง َِููู
َุฉً ุจุงَِููุฉً ِูู ุนَِูุจِِู َูุนََُّููู
ْ َูุฑْุฌِุนَُูู
ุฃุฎุฑุฌ ุนุจุฏ ุจู ุญู
ูุฏ ูู ุชูุณูุฑู ุจุณูุฏู ุนู ุงุจู ุนุจุงุณ ูู ูููู َูุฌَุนََููุง َِููู
َุฉً ุจุงَِููุฉً ِูู ุนَِูุจِِู ูุงู: ูุง ุฅูู ุฅูุง ุงููู، ุจุงููุฉ ูู ุนูุจ ุฅุจุฑุงููู
ููุงู ุนุจุฏ ุจู ุญู
ูุฏ: ุญุฏุซูุง ูููุณ ุนู ุดูุจุงู ุนู ูุชุงุฏุฉ ูู ูููู َูุฌَุนََููุง َِููู
َุฉً ุจุงَِููุฉً ِูู ุนَِูุจِِู ูุงู ุดูุงุฏุฉ ุฃู ูุง ุฅูู ุฅูุง ุงููู ูุงูุชูุญูุฏ، ูุง ูุฒุงู ูู ุฐุฑูุชู ู
ู ูููููุง ู
ู ุจุนุฏู (penjelasan dari al-Imam al-Suyuthi)
ููุงู ุนุจุฏ ุงูุฑุฒุงู ูู ุชูุณูุฑู ุนู ู
ุนู
ุฑ ุนู ูุชุงุฏุฉ ูู ูููู َูุฌَุนََููุง َِููู
َุฉً ุจุงَِููุฉً ِูู ุนَِูุจِِู ูุงู: ุงูุฅุฎูุงุต ูุงูุชูุญูุฏ، ูุง ูุฒุงู ูู ุฐุฑูุชู ู
ู ููุญุฏ ุงููู ููุนุจุฏู، ุฃุฎุฑุฌู ุงุจู ุงูู
ูุฐุฑ
Syekh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi, juz 2, hal. 261)
ุนَْู ุฃَุจِู ُูุฑَْูุฑَุฉَ َูุงَู: َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ: «ุจُุนِุซْุชُ ู
ِْู ุฎَْูุฑِ ُูุฑُِูู ุจَِูู ุขุฏَู
َ َูุฑًْูุง ََููุฑًْูุง، ุญَุชَّู ุจُุนِุซْุชُ ู
َِู ุงَْููุฑِْู ุงَّูุฐِู ُْููุชُ ِِููู» ู(HR. al-Bukhari)
ุนَْู َูุงุซَِูุฉَ ุจِْู ุงْูุฃَุณَْูุนِ َูุงَู َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ: «ุฅَِّู ุงََّููู ุงุตْุทََูู ู
ِْู ََููุฏِ ุฅِุจْุฑَุงِููู
َ ุฅِุณْู
َุงุนَِูู، َูุงุตْุทََูู ู
ِْู ََููุฏِ ุฅِุณْู
َุงุนَِูู ุจَِูู َِููุงَูุฉَ، َูุงุตْุทََูู ู
ِْู ุจَِูู َِููุงَูุฉَ ُูุฑَْูุดًุง، َูุงุตْุทََูู ู
ِْู ُูุฑَْูุดٍ ุจَِูู َูุงุดِู
ٍ، َูุงุตْุทََูุงِูู ู
ِْู ุจَِูู َูุงุดِู
ٍ» . (HR. Muslim dan al-Tirmidzi).
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab Dalail al-Nubuwwah dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
َูุฃَุฎْุฑَุฌَ ุฃุจู ูุนูู
ِูู " ุฏََูุงุฆِِู ุงُّููุจَُّูุฉِ " ู
ِْู ุทُุฑٍُู، ุนَِู ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณٍ َูุงَู: َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ: «َูู
ْ َูุฒَِู ุงَُّููู َُُِْูููููู ู
َِู ุงْูุฃَุตَْูุงุจِ ุงูุทَِّّูุจَุฉِ ุฅَِูู ุงْูุฃَุฑْุญَุงู
ِ ุงูุทَّุงِูุฑَุฉِ ู
ُุตًَّูู ู
َُูุฐَّุจًุง، َูุง ุชَْูุดَุนِุจُ ุดُุนْุจَุชَุงِู ุฅَِّูุง ُْููุชُ ِูู ุฎَْูุฑِِูู
َุง» ู
Dalam hadits yang diriwayatkan dan diberi predikat hadits Hasan oleh al-Tirmidzi disebutkan:
ุนَِู ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณِ ุจِْู ุนَุจْุฏِ ุงْูู
ُุทَِّูุจِ َูุงَู: َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู
َ: «ุฅَِّู ุงََّููู ุญَِูู ุฎَََِูููู ุฌَุนََِููู ู
ِْู ุฎَْูุฑِ ุฎَِِْููู، ุซُู
َّ ุญَِูู ุฎَََูู ุงَْููุจَุงุฆَِู ุฌَุนََِููู ู
ِْู ุฎَْูุฑِِูู
ْ َูุจَِููุฉً، َูุญَِูู ุฎَََูู ุงْูุฃَُْููุณَ ุฌَุนََِููู ู
َْู ุฎَْูุฑِ ุฃَُْููุณِِูู
ْ، ุซُู
َّ ุญَِูู ุฎَََูู ุงْูุจُُููุชَ ุฌَุนََِููู ู
َْู ุฎَْูุฑِ ุจُُููุชِِูู
ْ، َูุฃََูุง ุฎَْูุฑُُูู
ْ ุจَْูุชًุง َูุฎَْูุฑُُูู
ْ َْููุณًุง» ู
(HR al-Tirmidzi dan al-Baihaqi)
Allahu yahdik
Wallahu musata'an.semoga kita di jauhkan dari fitnah kejam wahabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar