Dulu ketika masih kecil dan belum masuk pesantren, saya bisa dikatakan "awam" pengetahuan tentang sosok Syaikhona kholil Bangkalan. Yang saya ketahui dari para Santri, beliau yang saya ziarahi makamnya bersama ribuan santri Bangkalan pada setiap malam Jum'at itu adalah salah satu "Bujhuk" (buyut) saya. Saya baru mulai mengetahui keagungan nama seorang Syaikhona ketika mondok di PP. Darul Falah Amtsilati Jepara. Kala itu salah seorang sahabat memperlihatkan buku biografi Syaikhona Kholil berjudul : Surat kepada Anjing Hitam. Bermula dari situ, saya mulai mengetahui sedikit tentang sosok Syaikhona, tentang bagaimana beliau pernah menjadikan Bangkalan sebagai Pusat peradaban ilmu pada zamannya, juga tentang bagaimana beliau dengan "didikan emasnya" berhasil mencetak ribuan ulama yang tersebar di penjuru nusantara.
Kisah tentang kehebatan Syaikhona bahkan masih "membuntuti" saya ketika sampai di Tarim Hadhramaut. Di awal-awal saya belajar disana, Salah satu senior menuturkan bahwa ternyata Syaikhona Kholil memiliki hubungan yang sangat erat dengan Habib Ali Bin Muhammad Al-Habsy Shohibul Maulid. Syaikhona bahkan disebut pernah berjumpa dengan Habib Ali, entah bagaimana caranya beliau sampai ke Seiwun di waktu itu. Konon suatu hari Habib Ali berkata pada murid-muridnya bahwa sebentar lagi akan datang seorang ulama besar, tak lama kemudian datanglah Syaikhona. Habib Ali menyambut beliau dan keduanya terlihat berbincang-bincang akrab, dan uniknya pada pertemuan itu Habib Ali bercengkrama dengan Syaikhona memakai bahasa Madura.. !!
" Sae Non ? Kakdimmah Salakkah ? " tanya Habib Ali kepada Syaikhona waktu itu.
Syaikhona dan Habib Ali memang hidup dalam kurun zaman yang sama, mereka berdua juga pernah berguru kepada guru yang sama yaitu Syaikh Ahmad Zaini Dahlan Mufti Syafi'iyah di Mekkah kala itu.
Belakangan saya juga baru mengetahui bahwa ulama-ulama besar sekaliber Sayyid Muhammad Al-Maliki, Syaikh Ali Gomaa, Habib Salim Assyathiri, Habib Umar bin Hafidz dll memiliki sanad keilmuan yang bermuara kepada Syaikhona Kholil. Itu karena mereka mengambil sanad keilmuan dari Syaikh Yasin Al-Fadani, sedangkan Syaikh Yasin dalam berbagai fan mengambil sanad dari Kh. Ma'sum Lasem dan Kh. Tubagus Bakri Banten, yang mana keduanya sama sama berguru dan mengambil sanad dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Syaikhona bukan hanya bisa disebut sebagai "Syaikhu Syuyukhi Jawa" atau Maha guru dari para ulama Jawa, Syaikhona juga layak disebut sebagai Maha guru dari Ulama-ulama dunia.
* Akhlak dan Adab luhur, kunci keagungan Syaikhona.
Selama ini banyak yang memandang Syaikhona sebagai sosok waliyullah pemilik ribuan karomah, yang seringkali perilakunya tidak bisa dinalar akal
orang-orang biasa. Syaikhona juga dikenal sebagai salah satu Inspirator berdirinya NU, seorang "murobbi" sejati yang murid-murid didiknya berhasil menjadi ulama-ulama besar yang menyebarkan Islam di seluruh penjuru Nusantara. Disini saya tak akan membahas tentang ribuan karomah dan keajaiban yang Syaikhona miliki, selain karena memang sudah banyak yang menceritakannya, saya rasa terlalu banyak membahas bab karomah hanya akan membuat kita menganggap bahwa Syaikhona adalah sosok yang tak bisa dijangkau dan dijadikan panutan. Toh padahal tujuan utama kita mengkaji sejarah seorang ulama adalah untuk menteladani tindak-lampahnya. Saya hanya akan menunjukkan satu "kunci", dimana dengannya Syaikhona bisa meraih dan menggapai semua kemuliaan yang terus mengalir sampai detik ini, dimana dengan "kunci" itu Hingga saat ini nama Syaikhona Kholil masih sangat diagungkan, ribuan peziarah juga memadati "pesarean" Syaikhona tiap harinya.
"Kunci" kemulian itu adalah Adab. Adab mulia Nan luhur adalah hal yang paling menonjol dari sejarah hidup seorang Syaikhona. Dimulai dari masa-masa beliau menuntut ilmu. Ketika nyantri di Pasuruan, Setiap memasuki Kawasan pesantren Sidogiri (setelah berjalan kaki sepanjang 7Km dari Kebon Candi tiap harinya) beliau selalu mencopot sandalnya sebagai wujud ta'dhim terhadap para Masyayikhnya.
Ketika Mondok di Genteng Banyuwangi, Syaikhona berkhidmah penuh kepada sang guru KH. Abdhul Bashir. beliau mengisi bak mandi, mencuci pakaian, mencuci piring dan memasak untuk Sang kiai. Beliau juga bekerja sebagai pemetik buah kelapa dengan upah 3 sen setiap 80 pohon. dan yang lebih menakjubkan, Syaikhona sama sekali tidak memakai sepeser-pun dari hasil jerih payahnya itu, semua uang penghasilannya beliau persembahkan untuk gurunya, untuk makanan sehari-harinya Syaikhona lebih memilih untuk memungut makanan sisa kiainya.
العبد و ما ملك ملك لسيده
" hamba sahaya dan semua yang ia miliki adalah milik dari tuannya "
Mungkin kalam shufi satu ini bisa mewakili prinsip seorang Syaikhona, "saking" tinggi-nya adab dan tadhim beliau terhadap gurunya, sampai-sampai beliau menganggap dirinya adalah seorang hamba sahaya yang bukan siapa-siapa dan tak memiliki apa-apa dihadapan sang Guru.
Pun ketika Syaikhona menuntut ilmu di Mekkah. Ketika berguru kepada Syaikh Muhammad Arrahbini yang merupakan seorang tunanetra, setiap malam Syaikhona sengaja tidur di pintu Musholla Sang guru, dengan harapan beliau akan menginjaknya ketika memasuki pintu musholla, lantas Syaikhona terbangun dan menuntun gurunya menuju pengimaman.
Di Makkah ,Syaikhona yang terkenal memiliki tulisan yang indah sering menulis kitab Alfiah dengan tangannya sendiri lantas menjualnya dengan harga 200 Ryal per-kitab. Seperti ketika mondok di Banyuwangi, Lagi-lagi hasil jerih payahnya itu beliau persembahkan untuk para gurunya, sedangkan untuk makanan sehari-harinya, Syaikhona lebih memilih untuk memungut dan memakan kulit-kulit semangka.
Masih pada fase pendidikan Syaikhona di Mekkah, Adab luhur yang menjadi prinsip beliau disana adalah, beliau sama sekali tidak pernah membuang hajat di tanah Suci Mekkah. Untuk menghormati Kota kelahiran Kanjeng Nabi ini, Syaikhona rela berjalan sejauh 6km keluar batas tanah suci untuk membuang hajat.
Tak cukup sampai disitu, ketika sudah menjadi seorang kiai besar yang disegani dimana-mana. Kala itu beliau pernah menaiki sebuah dokar, ditengah perjalanan beliau bertanya pada si kusir :
"kudanya bagus pak.. Dari mana ? "
" Dari Bima Kiai.. " jawab sang kusir.
Mendengar Nama itu beliau teringat akan seorang gurunya di Makkah yg berasal dari Bima. Beliau ingat bahwa gurunya itu mempunyai ratusan ekor kuda. Beliau lantas menyuruh kusir berhenti, Syaikhona lekas saja turun dari dokar itu karena beliau khawatir kuda itu adalah salah satu keturunan dari kuda-kuda yang dimiliki oleh gurunya dari Bima, Syaikh Abdul Ghoni Al-bimawy !!
Dalam menghormati ilmu dan ulama Syaikhona selalu total dan tak pernah tanggung-tanggung. Setiap hal yang berkaitan dengan ilmu, sekecil apapun nisbat-nya akan beliau muliakan. Kisah beliau dengan kuda dari Bima diatas adalah bukti nyatanya.
Beradab tinggi terhadap ilmu dan ulama adalah harga mati bagi Syaikhona, bahkan meski ulama itu adalah murid hasil didikan beliau sendiri. Sebagaimana dikisahkan oleh Kh. Ahmad Ghazali Muhammad dalam kitabnya "Tuhfah Arrawi", sebelum wafatnya, Syaikhona pernah berkunjung ke Jombang untuk mengikuti pengajian Hadits yang diasuh oleh santrinya sendiri yaitu Kh. Hasyim Asyari di Tebuireng. Tak hanya itu, Syaikhona bahkan mengambil lalu membalik sandal Kiai Hasyim sebelum beliau turun dari musholla layaknya seorang santri yang mengharap berkah dari gurunya !
Tentunya masih banyak kisah-kisah tentang kehebatan adab dan akhlak Syaikhona yang belum terlacak hingga saat ini. Dan dengan itulah Syaikhona berhasil meraih semuanya, kejayaan, kemuliaan, dan nama agung yang masih sangat semerbak baunya sampai saat ini.
Generasi milenial yang hidup di masakini saya rasa tidak sedang mengalami krisis ilmu, media-media penyalur ilmu di zaman ini bahkan jauh lebih lengkap dibandingkan pada generasi sebelumnya. Perbedaan mencolok yang membuat kita jauh tertinggal dari para salaf kita terdahulu adalah kemerosotan Adab dan akhlak yang makin menjamur pada generasi kita ini. Tentunya faktor utamanya adalah kurangnya pengetahuan akan sosok-sosok Agung yang layak untuk dijadikan panutan.
Dengan tulisan ini saya ingin mengajak untuk tidak memandang kehidupan seorang waliyullah dari "puncak" kemuliaan yang ia miliki. Tapi sudah seharusnya kita menilik jauh ke belakang, hingga kita tahu bagaimana dan dengan apa ia bisa mendapatkan dan meraih semua kemuliaan itu. Dengan itu kita bisa mengambil benang merah bahwa seorang wali bukanlah mahluk yang tak bisa dijangkau, ia adalah manusia sama seperti kita. Hanya saja Allah menganugrahkan untuknya ribuan keistimewaan. Ketika kita membaca sejarah hidup Syaikhona dari titik nol, dari titik dimana Syaikhona mulai melangkah untuk menjadi seorang ulama yang begitu harum namanya hingga saat ini, kita bisa mengambil banyak sekali nilai-nilai Adab yang bisa kita teladani. yang dengan mengamalkan adab-adab luhur itu dalam kehidupan kita- meski mungkin sangat mustahil bagi mahluk seperti kita untuk menjangkau derajat Syaikhona - mudah-mudahan kelak kita bisa diakui sebagai santri beliau "bil ittiba', dan dikumpulkan bersama beliau kelak bersama para anbiya' dan awliya'.
فتشبهوا إن لم تكونوا مثلهم * إن التشبه بالكرام فلاح
" serupailah mereka jika engkau tidak bisa sama persis seperti mereka * sesungguhnya menyerupai orang-orang mulia adalah kunci keberuntungan.. "
* Tulisan ini juga dimuat di Tabloid AsscholMedia edisi Special Ramadhan.
* Ismael Amin Kholil, 18 April, 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar