Jumat, 22 September 2017

Perdebatan Syeikh Al Buthy dan Syrikh Albani

Sekedar RePost dari akun lama yang disabled 🙂

DEBAT: SYAIKH AL-ALBANI VS SYAIKH AL-BUTHI

"Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" adalah prinsip yang indah nan ideal. Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah secara sederhana dapat dimaknai sebagai kepada "hukum Tuhan dan Sunnah Rasulnya". Dan, umat manakah yang tidak ingin berpegang pada Kitab Sucinya, kepada hukum Tuhannya dan Sunnah Rasulnya?

Sayangnya, banyak kaum muslim yang tidak mengerti batas-batas prinsip ideal ini. Lebih tragis lagi, sebagian kalangan justru menyelewengkan slogan "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" untuk mengeroposkan legitimasi umat terhadap para ulama. Dengan "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" mereka mengajak orang-orang awam melepaskan diri dari madzhab, untuk dengan "nekat" menggali hukum-hukum sendiri. Dengan slogan menggiurkan itu, mereka mencaci orang yang taklid sebagai "tidak mengikuti salafush shalih", tidak berada di jalan orang-orang beriman.

Seperti apa yang kita lihat, fenomena orang-orang yang teriak-teriak slogan "Kembali kepada al-Quran dan Sunnah" sekarang ini. Yang banyak menyasar pada masyarakat perkotaan khususnya kaum abangan, yang awalnya kehidupannya jauh dari ajaran agama bahkan buta sama sekali. Tiba-tiba mendadak menjadi sosok yang agamis dari pengajaran yang diperoleh secara instant, dan cenderung berpikiran eksklusif, fanatik serta anti taklid.

Atas keprihatinan terhadap masalah sosial keagamaan diatas yang banyak meracuni umat, Syaikh Al-Buthi menulis sebuah buku yang berjudul "اللامذهبية أخطر بدعة تهدد الشريعة الإسلامية" (Paham Anti-Madzhab: Bid'ah Paling Berbahaya yang Mengancam Syariat Islam). Sesuai dengan judulnya, buku ini berupaya menangkis tuduhan bid'ah-sesat yang sering dialamatkan kepada umat Islam yang menganut madzhab, khususnya madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali).

Buku ini berhasil membongkar kerancuan argument para penganjur anti-madzhab yang dipelopori kalangan Wahhabi (sekte sempalan yang dibawa oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najd). Bahwa fenomena taklid yang mereka caci adalah sesuatu yang natural, yang sudah muncul sejak generasi pertama hingga generasi ketiga umat ini. Yaitu generasi salafush shalih (Sahabat, Tabi'in, dan Tabi'ut Tabi'in).

Pada awalnya, buku ini lahir untuk menanggapi beredarnya sebuah buku kecil (kurrâs) yang meresahkan masyarakat Islam kala itu. Buku kecil itu berjudul "Hal al-Muslim Mulzam bit-Tibâ'i Madzhab Mu'ayan? (Apakah Seorang Muslim Wajib Mengikuti Madzhab tertentu?) karya seorang yang bernama —samaran— Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma'shumi Al-Khajnadi, seorang pengajar di Masjidil Haram. Setelah cetakan pertama buku al-Lâmadzhabiyyah beredar, banyak tanggapan sekaligus kritikan muncul. Bahkan, Syaikh Al-Buthi sempat berdebat, mengenai bukunya ini yang mengkritik buku kecil karya pengajar di Masjidil Haram itu, melawan Syaikh Nashiruddin Al-Albani (ulama yang diklaim sebagai muhaddits besar kaum Wahhabi Al-Mujassim).

Mungkin karena tidak ingin kalah, sebuah panitia yang menamakan dirinya Lajnah al-Bahts wa at-Ta'lîf (Komite Riset dan Penulis Buku) dibentuk oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dengan beranggotakan Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Syaikh Khairuddin Wanili. Komite Riset itu menyusun sebuah buku dengan tujuan mengkritisi buku karya Syaikh Al-Buthi. Buku itu berjudul "Al-Madzhabiyyah al-Muta'ashshibah Hiya al-Bid'ah" (Fanatik Bermadzhab adalah Bid'ah). Buku ini merupakan rangkaian dari "perang" buku antara Syaikh Al-Buthi melawan orang-orang Wahhabi Anti-Madzhab.

Syaikh Al-Albani pergi ke Damaskus untuk  bertemu Syaikh Al-Buthi, guna menyampaikan analisis pandangannya tentang buku (al-Lâmadzhabiyyah). Mereka pun benar-benar bertemu. Syaikh Al-Buthi mendengar berbagai ulasan dan pandangannya. Perdebatan itu kemudian oleh Syaikh Al-Buthi di dokumentasikan dalam cetakan kedua buku beliau ini. Berikut ini adalah cuplikan ringkasan transkrip perdebatan antara Syaikh Al-Buthi dan Syaikh Al-Albani.

Syaikh Nashiruddin Al-Albani datang beserta beberapa pemuda yang baik dan suka mencari-cari kebenaran dari seluruh praduga. Dia memulai pembicaraan. Lalu Syaikh Al-Buthi berkata padanya:
"Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah? Apakah Anda ambil dari al-Qur'an, Sunnah, atau dari para imam mujtahid?"

Syaikh Al-Albani: "Saya kritisi pendapat para imam dan dalil-dalilnya, kemudian saya berpegangan pada pendapat yang paling dekat dengan dalil al-Qur'an dan Sunnah."

Syaikh Al-Buthi: "Seandainya Anda memiliki £ 5000 pound Syria. Setelah uang tersebut Anda simpan selama enam bulan, Anda belikan sebuah barang, kemudian Anda gunakan barang itu untuk jual beli. Kapan Anda bayar zakat dari barang tersebut? Enam bulan atau satu tahun lagi?"

Seraya berpikir, Syaikh Al-Albani menjawab: "Maksud dari pertanyaan Anda adalah, Anda mengakui bahwa barang dagangan wajib dizakati."

Syaikh Al-Buthi: "Saya tanya. Yang saya inginkan adalah Anda menjawabnya dengan metode Anda itu. Ini ada perpustakaan di depan Anda. Di sana ada kitab-kitab tafsir, hadits, dan kitab-kitab para imam mujtahid."

Syaikh Al-Albani berpikir sesaat, kemudian mengatakan: "Saudaraku, ini adalah (masalah) agama, bukan perkara sepele. Untuk menjawabnya butuh dipikirkan secara mendalam. Hal itu harus diteliti, dicari rujukannya dan dikaji. Semuanya butuh waktu. Kami hanya datang untuk membahas tema lainnya!"

Syaikh Al-Buthi beralih dari pertanyaan itu. Beliau berkata padanya: "Baik, apakah setiap muslim wajib mengkritisi dalil-dalil para imam kemudian ia ambil yang paling sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah?"

Syaikh Al-Albani: "Ya."

Syaikh Al-Buthi: "Berarti semua orang memiliki kemampuan ijtihad sebagaimana para imam madzhab. Bahkan semua orang memiliki kemampuan yang lebih hebat karena bisa menghakimi pendapat para imam, berdasar pada ukuran al-Quran dan Sunnah. Tentunya orang-orang demikian adalah orang yang lebih alim daripada para imam madzhab!"

Syaikh Al-Albani: "Manusia terbagi menjadi tiga orang: muqallid, muttabi', dan mujtahid. Orang yang bisa memperbandingkan madzhab-madzhab dan menyeleksi mana yang lebih dekat dengan al-Qur'an adalah muttabi', yakni level menengah antara taklid dan ijtihad."

Syaikh Al-Buthi: "Lalu apa kewajiban muqallid?"

Syaikh Al-Albani: "Bertaklid kepada para mujtahid yang disepakati."

Syaikh Al-Buthi: "Apakah seorang muqallid berdosa jika ia bertaklid pada salah satu mujtahid, konsisten padanya, dan tidak berpindah ke yang lain?"

Syaikh Al-Albani: "Ya, hal itu haram baginya."

Syaikh Al-Buthi: "Apa dalil keharaman itu?"

Syaikh Al-Albani: "Dalilnya, dia telah mengikuti secara konsisten terhadap sesuatu, padahal hal itu tidak diwajibkan Allah 'azza wa jalla."

Syaikh Al-Buthi: "Anda membaca al-Qur'an dengan bacaan apa dari Bacaan yang Tujuh (al-qirâ'ât as-sab'ah)?"

Syaikh Al-Albani: "Qirâ'ah Hafsh."

Syaikh Al-Buthi: "Apakah Anda konsisten memakai qirâ'ah tersebut ataukah Anda setiap hari memakai bacaan qirâ'ah yang berbeda?"

Syaikh Al-Albani: "Tidak, saya konsisten memakai qirâ'ah Hafsh."

Syaikh Al-Buthi: "Lalu mengapa Anda konsisten dengan qirâ'ah itu, padahal Allah tidak mewajibkan Anda untuk membaca al-Qur'an kecuali sebagaimana yang diriwayatkan secara mutawatir dari Nabi Saw?"

Syaikh Al-Albani: "Karena saya belum selesai mempelajari qirâ'ah-qirâ'ah yang lain. Tidak mudah bagi saya untuk membaca kecuali dengan bacaan ala Hafsh."

Syaikh Al-Buthi: "Ada orang yang mempelajari fikih madzhab Syafi'i dan belum selesai mempelajari madzhab-madzhab lainnya. Tidak mudah baginya menggunakan fikih dalam hukum-hukum agama kecuali dengan fikihnya Imam Syafi'i. Jika Anda mewajibkan ia untuk mengetahui ijtihad-ijtihad semua imam hingga ia kuasai semuanya, Anda juga wajib mempelajari seluruh qirâ'ah, sampai semuanya Anda gunakan untuk membaca. Jika Anda berapologi karena tak mampu, maka Anda harus mentolerir si muqallid itu juga. Pendek kata, kami katakan, dari mana dalil Anda bahwa seorang muqallid harus berganti-ganti madzhab padahal Allah tidak mewajibkan hal itu. Maksudnya, sebagaimana Allah tidak mewajibkan untuk terus menerus mengikuti suatu madzhab, Allah juga tidak mewajibkan muqallid untuk terus menerus berganti-ganti madzhab."

Syaikh Al-Albani: "Yang haram baginya adalah ia konsisten bermadzhab, sementara ia meyakini bahwa Allah tidak memerintahkan hal itu."

Syaikh Al-Buthi: "Itu adalah hal lain (tidak berkaitan dengan bahasan ini), itu adalah hal yang sudah benar, tidak diragukan, dan disepakati. Akan tetapi, apakah ia berdosa jika menetapi terus menerus seorang mujtahid padahal ia tahu bahwa Allah tidak mengharuskannya begitu?"

Syaikh Al-Albani: "Tidak berdosa."

Syaikh Al-Buthi: "Tetapi al-Kurrâs yang Anda ajarkan menyebutkan hal yang berbeda dari apa yang Anda katakan. Al-Kurrâs menegaskan keharaman hal itu, bahkan dalam beberapa keterangan, al-Kurrâs mengkafirkan orang yang konsisten mengikuti seorang imam tertentu dan tidak berpindah ke imam yang lain."

Syaikh Al-Albani: "Di mana?"

Syaikh Al-Albani merujuk ke al-Kurrâs, menelaah teks dan ungkapannya. Ia lalu merenungkan perkataan penulis kurrâs:

بل من التزم واحدا بعينه فى كل مسائله فهو متعصب مخطئ مقلد تقليدا أعمى وهو ممن فرقوا دينهم وكانوا شِيَعًا.

"Bahkan, orang yang konsisten mengikuti suatu madzhab tertentu bagi semua permasalahannya adalah orang yang fanatis, salah, dan bertaklid buta. Mereka adalah orang yang memecah belah agamanya sementara mereka tercerai-berai."

Syaikh Al-Albani kemudian mengatakan: "Maksud penulis kurrâs dengan 'konsisten' adalah 'bila meyakini bahwa hal itu wajib secara syara'. Ungkapan itu masih kurang!"

Syaikh Al-Buthi: "Apa buktinya kalau ia bermaksud demikian, mengapa tidak Anda katakan bahwa penulisnya telah berbuat salah?"

Syaikh Al-Albani bersikukuh menyatakan bahwa ungkapan al-Kurrâs benar. Ungkapan tersebut mengandung penakwilan yang dibuang. Penulisnya terjaga dari kesalahan!

Syaikh Al-Buthi: "Tetapi, kalau ditakwil demikian, ungkapan itu tidak berpengaruh apa-apa dan tidak ada gunanya. Tidak ada seorang pun dari umat Islam kecuali mengetahui bahwa mengikuti salah satu imam madzhab empat bukanlah syari'at yang wajib. Tidak seorang pun muslim yang konsisen terhadap madzhab kecuali ia melakukan hal itu karena keinginan dan pilihannya."

Syaikh Al-Albani: "Bagaimana? Saya mendengar dari banyak orang dan sebagian ulama bahwa konsisten terhadap madzhab tertentu adalah wajib, sampai-sampai tidak boleh berpindah ke madzhab lainnya."

Syaikh Al-Buthi: "Sebutkan satu nama saja pada saya, siapa orang awam atau ulama yang mengatakan statement itu."

Syaikh Al-Albani diam. Ia tidak mau mengakui bahwa perkataan Syaikh Al-Buthi benar. Ia terus saja mengulang-ulang: "Yang digambarkan oleh penulis kurrâs adalah bahwa banyak orang mengharamkan berpindah-pindah madzhab."

Syaikh Al-Buthi: "Anda tidak akan menemukan satu orang pun hari ini yang meyakini praduga aneh itu. Ya, ada orang-orang yang meriwayatkan dari sebagian ulama generasi akhir masa Utsmaniyah, bahwa mereka menganjurkan berpindahnya seseorang yang bermadzhab Hanafi ke madzhab lainnya. Tentu, hal itu—jika memang riwayatnya benar—adalah bentuk lemahnya akal dan fanatisme buta."
Kemudian Syaikh Al-Buthi berkata padanya: "Dari mana Anda membedakan muqallid dan muttabi', apakah itu klasifikasi secara bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis)?"

Syaikh Al-Albani: "Antara keduanya ada perbedaan secara bahasa."

Syaikh Al-Buthi memberikan Syaikh Al-Albani sumber rujukan bahasa agar ia menemukan perbedaan secara bahasa dari dua kata itu. Ia tidak menemukan perbedaan apapun.
Lalu Syaikh Al-Buthi berkata: "Abu Bakar ra. pernah mengatakan kepada seorang Arab pedalaman yang protes dengan jatah pendapatannya yang sudah disepakati oleh umat Islam: Jika orang-orang Muhajirin sudah rela (sepakat), kamu mengikuti (taba') mereka. Abu Bakar mengungkapkan dengan kata taba'a (mengikuti) dengan arti persetujuan (muwâfaqah) yang tidak bisa diperdebatkan dan dibahas (lagi)."

Syaikh Al-Albani: "(Kalau begitu) perbedaannya adalah perbedaan istilah (terminologis). Bukankah saya berhak untuk membuat istilah tertentu?"

Syaikh Al-Buthi: "Ya, tetapi istilah Anda tidak akan merubah esensi masalah. Yang Anda namakan dengan muttabi' bisa jadi adalah orang yang mengerti benar dalil-dalil dan cara istinbâth-nya. Dengan demikian dia adalah mujtahid. Jika dia tidak benar-benar tahu, atau tidak mampu menyimpulkan hukum dari dalil-dalil itu, dengan demikian dia adalah muqallid. Jika dalam sebagian masalah dia mengerti dalilnya, sedang di bagian yang lain tidak, dia menjadi muqallid dalam sebagian masalah dan mujtahid dalam sebagian masalah. Sehingga, bagaimanapun juga, klasifikasi ini bersifat dualis (hanya ada dua). Ketentuan keduanya sudah jelas dan diketahui."

Syaikh Al-Albani: "Muttabi' adalah orang yang mampu membedakan pendapat-pendapat dengan dalil-dalilnya, lalu (mampu) mentarjîh sebagian pendapat dengan pendapat lainnya. Ini merupakan level yang berbeda dengan taklid."

Syaikh Al-Buthi: "Jika yang Anda maksud dengan 'membedakan pendapat-pendapat' adalah membedakan pendapat itu berdasar pada kuat-lemahnya dalil, itu adalah level yang tinggi dari tingkatan ijtihad. Apakah Anda secara pribadi mampu menjadi seperti itu?"

Syaikh Al-Albani: "Saya melakukan itu semampu saya."

Syaikh Al-Buthi: "Saya tahu Anda berfatwa bahwa tiga talak dalam satu majlis dianggap satu talak saja. Apakah Anda sudah merujukkan fatwa Anda kepada pendapat-pendapat para imam dan dalil-dalil mereka dalam masalah ini, kemudian Anda pilah-pilah pendapat itu lalu berfatwa berdasarkan hal yang sudah Anda pilah itu?
'Uwaimar Al-'Ajlani mentalak istrinya tiga kali dalam satu majlis bersama Rasulullah Saw. Setelah ia me-li'ân istrinya, 'Uwaimar mengatakan: Saya berbohong pada dia (istri saya), Ya Rasulullah, jika saya rujuk padanya. Istri 'Uwaimar tertalak tiga. Apa yang Anda tahu dari hadits ini, kedudukannya dalam masalah ini, dan sejauh mana kandungan maknanya menurut madzhab jumhur (mayoritas) atau madzhab Ibn Taimiyyah?"

Syaikh Al-Albani: "Saya belum menelaah hadits itu."

Syaikh Al-Buthi: "Lalu bagaimana Anda berfatwa dalam masalah ini dengan fatwa yang berlawanan dengan kesepakatan madzhab empat, tanpa Anda lihat dalil-dalilnya dan kuat atau lemahnya?
Jadi, Anda sudah mengabaikan prinsip yang, katanya, Anda wajibkan untuk diri Anda dan wajibkan pada kami. Yaitu, prinsip untuk mengikuti apa yang Anda istilahkan itu (ittiba')."

Syaikh Al-Albani: "Pada saat itu saya tidak memiliki kitab-kitab yang lengkap, yang bisa saya gunakan untuk meneliti madzhab-madzhab dan dalil-dalilnya."

Syaikh Al-Buthi: "Lantas apa yang membuat Anda tergesa-gesa berfatwa dengan fatwa yang berlawanan dengan jumhur umat Islam, padahal Anda belum pernah meneliti dalil-dalil mereka semua sama sekali?"

Syaikh Al-Albani: "Saya lakukan itu, sementara saya ditanyai ... saya hanya punya sumber-sumber rujukan dengan jumlah terbatas."

Syaikh Al-Buthi: "Anda bisa melakukan apa yang dilakukan oleh semua ulama dan para imam. Yaitu, Anda katakan: Saya tidak tahu, atau saya akan menyeleksi pendapat madzhab empat dengan kalangan yang berbeda pendapat dengan mereka, bukan berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu. Anda bisa melakukan hal itu. Bahkan itulah kewajiban Anda. Problem tidak akan menimpa Anda, kecuali jika Anda terpaksa untuk mengambil rujukan apapun dari permasalahan itu! Sedangkan jika Anda berfatwa dengan pendapat yang berlawanan dengan kesepakatan imam empat, sementara Anda belum menelaah—sebagaimana Anda akui—dalil-dalil mereka dan menganggap cukup dengan dalil-dalil orang yang berbeda pendapat dengan madzhab empat, itulah puncak fanatisme, sikap yang Anda tuduhkan pada kami."

Syaikh Al-Albani: "Saya sudah menelaah pendapat-pendapat imam empat dalam kitab karya Asy-Syaukani, Subul as-Salâm dan Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq."

Syaikh Al-Buthi: "Dalam masalah ini, itu merupakan kitab-kitab yang menentang imam madzhab empat. Ketiga-tiganya berpendapat dengan berlandaskan pada dasar yang sama dan menyebutkan argumen-argumen yang kuat dasarnya. Apakah Anda mau menghakimi, di antara dua pihak yang bermusuhan, dengan (hanya) berdasar pada statement satu pihak saja atau dari statement para saksi dan orang-orang yang dekat dengannya (tidak berimbang)?"

Syaikh Al-Albani: "Saya tidak melihat bahwa perbuatan saya ini akan menimbulkan suatu celaan. Saya harus memberi fatwa kepada si penanya. Dan inilah yang saya bisa lakukan berdasar pemahaman saya."

Syaikh Al-Buthi: "Anda mengatakan bahwa  Anda adalah muttabi'. Dan kami semua harus menjadi muttabi'. Anda menafsirkan kata ittiba' dengan arti meneliti semua pendapat madzhab, mengkaji dalil-dalilnya, dan berpegangan pada madzhab yang paling dekat dengan dalil yang shahih. Tapi dengan perbuatan anda itu, Anda telah melanggar prinsip Anda. Anda tahu madzhab empat sepakat bahwa talak tiga (dengan satu kalimat) adalah sama dengan telah mentalak tiga kali. Anda tahu bahwa para imam madzhab memiliki dalil-dalilnya, sementara Anda belum menelaahnya. Bersamaan dengan itu, Anda berpaling dari kesepakatan madzhab empat kepada pendapat yang Anda sendiri inginkan. Apakah sebelumnya Anda yakin bahwa dalil-dalil imam empat adalah dalil-dalil yang tertolak?"

Syaikh Al-Albani: "Tidak, tetapi saya belum menelaahnya. Sebab, saya tidak memiliki rujukan satu pun tentang itu."

Syaikh Al-Buthi: "Lantas, mengapa Anda tidak menunggu? Mengapa Anda tergesa-gesa sementara Allah tidak pernah mewajibkan hal itu? Apakah (perkataan) bahwa Anda belum menelaah dalil-dalil jumhur madzhab itu adalah argumen yang menguatkan pandangan Ibn Taimiyyah? Apakah fanatisme yang Anda tuduhkan pada kami adalah bentuk dusta yang berbeda dengan ini?"

Syaikh Al-Albani: "Saya sudah melihat, dalam kitab-kitab yang lengkap saya miliki, dalil-dalil yang cukup bagi saya. Dan Allah tidak mewajibkan saya untuk menelaah rujukan yang lebih banyak dari itu."

Syaikh Al-Buthi: "Jika seorang muslim melihat dalil suatu hal dari kitab-kitab yang ditelaahnya, apakah hal itu cukup baginya sebagai alasan untuk mengabaikan madzhab-madzhab yang berbeda pendapat dengan pemahamannya, meskipun si muslim itu belum menelaah dalil-dalil madzhab tersebut?"

Syaikh Al-Albani: "Itu cukup."

Syaikh Al-Buthi: "Ada seorang pemuda yang sangat patuh beragama. Tapi ia sama sekali tidak punya pengetahuan tentang tsaqâfah Islam (tidak terpelajar). Ia membaca firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]:115).

Dari ayat itu ia memahami bahwa seorang muslim dalam shalatnya boleh menghadap ke arah manapun yang ia mau, sebagaimana ditunjukkan oleh makna lahiriah ayat itu. Hanya saja, ia pernah mendengar bahwa para imam empat sepakat akan keharusan menghadap Ka'bah. Ia juga tahu bahwa para imam itu memiliki dalil-dalilnya, namun ia belum menelaahnya. Maka apa yang dilakukan oleh muslim itu ketika hendak shalat, apakah ia mengikuti pemahaman dari dalil yang ia dapatkan itu, ataukah ia mengikuti para imam yang menyepakati pendapat yang berlawanan dengan pemahamannya?"

Syaikh Al-Albani: Ia ikuti pemahamannya."

Syaikh Al-Buthi: "(Apakah ia boleh) shalat menghadap ke arah timur misalnya, dan shalatnya sah?"

Syaikh Al-Albani: "Ya, sebab ia diharuskan mengikuti pemahaman subjektifnya (qanâ'ah dzatiyyah)."

Syaikh Al-Buthi: "Bagaimana jika pemahaman subjektifnya sampai pada kesimpulan bahwa orang yang berzina dengan istri tetangganya, yang menenggak khamr, dan yang merampas harta orang tanpa hak adalah tidak berdosa, apakah Allah akan menghalalkan hal itu karena mengutamakan pemahaman subjektifnya?"

Syaikh Al-Albani berpikir sesaat, lalu mengatakan: "Bagaimanapun, gambaran yang Anda tanyakan pada saya ini adalah gambaran imajinatif yang tak akan terjadi."

Syaikh Al-Buthi: "Hal itu bukan imajinasi. Justru banyak yang merealisasikannya, dan bahkan yang lebih aneh lagi, adalah pemuda yang tak punya pengetahuan tentang Islam, al-Qur'an dan Sunnah. Tiba-tiba ia mendengar atau membaca ayat itu. Lalu ia memahaminya, seperti orang Arab yang memahaminya berdasar pada makna leterlek, bahwa tidak apa-apa seorang shalat menghadap ke arah yang ia mau meskipun ia lihat orang-orang menghadap ke Ka'bah, bukan yang lain. Hal itu adalah hal yang wajar terjadi selagi di antara umat Islam ada yang sama sekali tidak tahu tentang Islam. Bagaimanapun juga, Anda sudah menghakimi bahwa gambaran ini—baik imajinatif atau kenyataan—dengan ketentuan yang pasti, dan Anda menganggap bahwa pemahaman subjektif adalah yang menghakimi semuanya. Ini kontradiktif dengan klasifikasi Anda bahwa manusia terbagi menjadi tiga golongan, para muqallid, muttabi', dan mujtahid."

Syaikh Al-Albani: "Pemuda itu harus mengkaji. Apakah ia belum membaca suatu hadits atau ayat lainnya?"

Syaikh Al-Buthi: "Ia sama sekali tidak memiliki sumber rujukan untuk dikaji seperti Anda tidak memilikinya ketika hendak berfatwa tentang masalah talak. Pemuda itu juga tidak punya kesempatan untuk membaca ayat lain kecuali ayat tersebut, yang berkaitan dengan masalah dan ketentuan kiblat. Apakah Anda tetap bersikukuh bahwa ia harus mengikuti pemahaman subjektifnya dan meninggalkan ijma' para imam?"

Syaikh Al-Albani: "Ya, jika ia tidak mampu meneruskan telaah dan kajiannya (terhadap ayat lain), ia ditolerir dan cukup berpegangan pada pertimbangannya semampunya."

Syaikh Al-Buthi: "Saya akan mempublikasikan statement Anda ini ... itu adalah statement yang aneh dan berbahaya!"

Syaikh Al-Albani: "Publikasikanlah, saya tidak takut."

Syaikh Al-Buthi: "Bagaimana Anda akan takut pada saya, sementara Anda tidak takut pada Allah. Statement Anda telah melanggar firman-Nya:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.

"Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." (QS. al-Anbiya [21]:7).

Syaikh Al-Albani: "Saudaraku, para imam itu tidak ma'shûm, sedangkan ayat yang dipeganginya adalah perkataan dari Yang Ma'shûm (yang tidak mungkin salah; maksudnya, Allah Swt. Dzat Yang Maha Transenden). Maka bagaimana bisa ia meninggalkan Yang Ma'shûm dan berpegangan pada yang tidak ma'shûm?"

Syaikh Al-Buthi: "Ai, yang ma'shûm adalah makna hakiki yang dikehendaki Allah dari firman-Nya, 'walillah al-masyriq wa al-maghrib ... (QS. Al-Baqarah [2]:115). Sedangkan yang tidak ma'shûm adalah pemahaman pemuda itu yang sangat jauh dari tsaqâfah dan hukum-hukum Islam serta watak al-Qur'an. Maksudnya, saya minta Anda membandingkan antara dua pemahaman: pemahaman pemuda yang bodoh ini dengan pemahaman para imam mujtahid, padahal keduanya adalah tidak ma'shûm. Hanya saja, yang satu sangat bodoh, sedangkan satunya lagi sangat dalam ilmunya."

Syaikh Al-Albani: "Allah tidak mewajibkan padanya hal yang melebihi batas kemampuannya."

Syaikh Al-Buthi: "Jika demikian, jawablah pertanyaan berikut. Ada seorang lelaki punya anak kecil yang sakit, menderita peradangan. Ia sudah meminta petunjuk kepada seluruh dokter di daerahnya. Para dokter sepakat agar si anak diberi obat tertentu. Mereka memperingatkan ayah si anak untuk tidak menyuntikkan penicilin kepada anaknya. Mereka memberi tahu si ayah kalau dia melakukan itu, nyawa si anak terancam lenyap, mati. Hanya saja, si ayah tahu dari selebaran kedokteran yang pernah ia baca bahwa penicilin dapat bermanfaat (bagi orang yang) sedang kena radang. Lalu si ayah mengikuti petunjuk informasi dari selebaran itu. Ia mengabaikan perkataan para dokter, karena ia tidak tahu alasan dokter-dokter itu. Si ayah lantas menggunakan pemahaman subjektifnya dan mengobati si anak dengan suntikan penicilin. Akibatnya, si anak berpulang ke rahmatullah. Apakah si ayah dapat diadili dan ia berdosa karena perbuatannya atau tidak?"

Syaikh Al-Albani berpikir sebentar, kemudian mengatakan: "Yang ini bukan itu." (Maksudnya, tidak bisa dianalogikan dengan kasus pemuda dalam masalah kiblat tadi).

Syaikh Al-Buthi: "Tidak, ini sama. Si ayah mendengar kesepakatan para dokter sebagaimana si pemuda mendengar kesepakatan para imam madzhab. Hanya saja, si ayah mengikuti selebaran kedokteran yang ia baca sebagaimana si pemuda membaca teks dalam al-Qur'an, bukan yang lain. Si ayah menggunakan pemahaman subjektifnya sebagaimana si pemuda menggunakannya."

Syaikh Al-Albani: "Wahai Saudaraku, al-Qur'an itu nûr (cahaya) ... nûr ... apakah kandungan makna nûr dapat dibandingkan dengan perkataan lainnya?"

Syaikh Al-Buthi: "Cahaya al-Qur'an tercermin pada akal orang yang menelaah dan membacanya, kemudian memahaminya. Ia jadi cahaya sebagaimana makna yang dikehendaki oleh Allah. Lalu apa bedanya antara ahludz-dzikri (orang yang berpengetahuan) dengan yang lainnya, yang menjauh dari cahaya itu? Dua permisalan itu sama. Sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya. Seharusnya Anda menimpali saya: Apakah orang tersebut harus mengkaji lalu mengikuti pemahaman subjektifnya atau mengikuti alias bertaklid kepada orang yang ahli di bidangnya?"

Syaikh Al-Albani: "Pemahaman subjektif itulah yang menjadi dasarnya."

Syaikh Al-Buthi: "Si ayah menggunakan pemahaman subjektifnya sehingga menyebabkan kematian anaknya. Apakah si ayah dikenai tanggung jawab menurut syara' atau menurut hukum pengadilan?"

Dengan suara keras, Syaikh Al-Albani mengatakan: "Ayah itu tidak dikenai tanggung jawab apapun!"

Syaikh Al-Buthi: "Mari kita tutup pembahasan dan perdebatan ini setelah kalimat saya ini. Tidak ada lagi jalan untuk mendapatkan kesepakatan antara saya dengan Anda, yang bisa menjadi objek bahsan. Cukuplah, Anda dengan jawaban Anda yang aneh itu keluar dari ijma' millah Islam. Ingatlah, demi Allah, tidak ada gunanya, Anda fanatik."
—————————————
Seorang muslim yang bodoh menggunakan pemahaman subjektifnya dalam memahami telaahnya terhadap al-Qur'an. Ia shalat tidak menghadap kiblat, berbeda dengan semua umat Islam, lalu shalatnya (dianggap) sah. Seorang lelaki buta menggunakan pemahaman subjektifnya, lalu ia obati seseorang dan orang yang sakit itu meninggal di tangannya. Kepada orang sakit yang meninggal itu ia berkata: "Semoga Allah memberimu kesehatan."

Jika demikian, kita jadi tidak mengerti, mengapa orang-orang anti-madzhab tidak membiarkan kami untuk menggunakan pemahaman subjektif kita juga, yakni bahwa orang yang tidak tahu hukum-hukum agama dan dalil-dalilnya, harus berpegangan pada salah satu madzhab imam mujtahid; ia mengikutinya karena memang imam mujtahid adalah orang yang mengerti benar dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Itulah ringkasan transkrip perdebatan antara Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dengan Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam suatu majlis yang terjadi kurang lebih tiga jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar