Minggu, 20 Desember 2020

Bhumi Pun Segan Padanya

Saat menulis tulisan ini aku sedang berada di bis menuju Madinah, kota cahaya yang menjadi impian para pecinta dan perindu itu. disanalah bersemayam pelipur lara dan penyejuk mata mereka, manusia teragung dan termulia yang pernah tercipta di muka bumi ini, Baginda Nabi Muhammad Saw. 

Madinah tak henti-hentinya menyajikan untuk kita kisah-kisah para pecinta Rasulullah Saw, mereka yang sepanjang hayatnya memendam rasa rindu yang begitu dalam kepada Baginda Nabi, mereka  yang tak henti-hentinya menantikan hari itu, hari dimana mereka bisa berkumpul dengan beliau, menatap wajahnya, menikmati indah senyumnya, dan menyucup tangan mulianya. 

Salah satu dari para pejuang cinta itu adalah seorang ulama dari Suriah yang bertahun-tahun jasadnya tak pernah lepuh ditelan bumi. Pemakaman Baqi’ menjadi saksi kekal abadi cintanya…

Namanya Syaikh Isa Al-Bayanuni, seorang ulama yang berasal dari “Bayanun” salah satu desa yang menjadi bagian kota Aleppo di Suriah. 

Semasa hidupnya , ia dikenal sebagai sosok yang mempunyai ikatan batin yang begitu erat dengan Baginda Nabi Rasulullah Saw, ia juga mempunyai julukan ” Maddah Arrasul ” atau Sang pemuja Rasulullah Saw karena begitu banyaknya bait-bait syair yang ia karang untuk memuji Baginda Nabi. 

Pada tahun 1362 H beliau melaksanakan Ibadah haji bersama beberapa muridnya, ini adalah haji ke delapannya. biasanya beliau akan langsung menuju Madinah sebelum ke Mekkah untuk mengobati rasa rindunya kepada Rasulullah Saw. tapi tidak ditahun itu, beliau malah mengajak murid-muridnya untuk pergi ke Mekkah terlebih dahulu. 

Di Mekkah beliau menyempatkan diri untuk menghadiri perkumpulan para ulama di rumah Sayyid Alawi Bin Abbas Al-Maliki. kala itu terjadi perbincangan diantara mereka tentang satu Ibarat Tasawwuf yang rumit dan sulit dipahami. para ulama satu persatu menyampaikan uraian dan penjelasannya. Sampai ke giliran Syaikh Isa, beliau menjelaskan Ibarat itu dengan penjelasan yang mengagumkan. Sayyid Alawi bertanya :

” Wahai Syaikh Isa.. dari mana anda mendapatkan keterangan yang menakjubkan ini.. ? “

” aku membacanya di salah satu kitab manuskrip yang aku miliki.. ” jawab Syaikh Isa. 

” bisakah  di musim haji tahun depan anda bawa kitab itu kesini.. ?” Sayyid Alawi menimpali..

Syaikh Isa tersenyum.. Sebuah senyuman yang mengundang tanya Sayyid Alawi dan para ulama yang hadir di waktu itu.. Beliau lantas berkata :

” kalian memintaku untuk membawa kitab itu kesini tahun depan ?? Tahun ini aku tidak akan kembali lagi ke negaraku.. ” 

Setelah melihat wajah-wajah ulama yang hadir tampak terheran-heran akan perkataannya itu, beliau lalu menyambung ucapannya : 

” aku memang tak akan kembali ke Suriah lagi, aku melihat Rasulullah Saw dalam mimpiku, beliau membawa kabar gembira dan berkata : 

” aku sudah menyiapkan tempat khusus untukmu di dekatku wahai Syaikh Isa..”

Dari situ aku tahu bahwa aku tak akan kembali lagi ke negaraku, karenanya tahun ini aku datang ke Mekkah terlebih dahulu untuk melaksanakan haji untuk kemudian datang ke Madinah dan mendatangi “tempat khusus” itu.. “

Semua ulama yang hadir tertunduk mendengar ucapannya, padahal waktu itu Syaikh Isa masih sehat-sehat saja. Beliau baru merasakan sakit perut pada hari terakhir di Mina. Beliau lantas meminta murid-muridnya untuk langsung membawanya ke Madinah. disana beliau di rawat di rumah sakit selama 3 hari sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir untuk menjemput kabar gembira yang Rasulullah Saw berikan untuknya itu.. 

Beliau akhirnya dimakamkan di Madinah di pemakaman Baqi’. setiap 3-4 tahun sekali, biasanya makam-makam di Baqi’ dibongkar untuk kemudian digantikan jenazah-jenazah yang lain. 

4 tahun setelah kewafatan Syaikh Isa, makamnya dibongkar, dan benar-benar mengejutkan ! Jasad beliau masih segar dan utuh layaknya mayat yang baru dikubur kemarin sore ! 8 tahun setelah kewafatannya, makamnya dibongkar kembali dan jasad beliau masih saja utuh sama seperti 4 tahun sebelumnya. Akhirnya makam beliau tak pernah dibongkar lagi

Akhirnya makam beliau tak pernah dibongkar lagi dan diberi tanda khusus dan dikenal sebagai makam “Syaikh Syami” seorang Syaikh dari Bumi Syam yang  jasadnya tak pernah lepuh dimakan bumi. 

Dan yang lebih menakjubkan dari semua itu, Syaikh Isa sudah pernah “meramalkan” keutuhan jasadnya itu dalam bait-bait syairnya, dalam bait-bait yang begitu populer dan selalu disenandungkan para pecinta Baginda Nabi hingga detik ini.. 

هم بالحبيب محمد و ذويه * إن الهيام بحبه يرضيه 

Mabuk kepayanglah karena mencintai Rasulullah Saw dan keluarganya, sesungguhnya mabuk kepayang karena mencintai Baginda Nabi itu membahagiakan hatinya.. 

إن مات جسمك فالهوى يحييه * جسد تمكن حب احمد فيه * تالله إن الأرض لاتبليه 

jika jasadmu mati maka rasa cinta itu akan menghidupkannya.. Jasad yang cinta Rasulullah Saw mendarah daging di dalamnya, demi Allah.. Bumi tak akan pernah menghancurkannya.. 

طوبى لمن هو في المحبة صبه * لم لا و مولاه الكريم يحبه * في القبر حاشا ان يضام محبه * او كيف يأكله التراب و حبه * في قلبه و مديحه في فيه 

Sungguh beruntung orang yang hanya sibuk mencintai Rasulullah Saw. Bagaimana tidak ? Sedangkan Tuhannya yang Maha Mulia begitu mencintai beliau. Ia yang mencintai Rasulullah Saw tak akan pernah hancur dalam kuburnya. Bagaimana bisa tanah memakan jasadnya ? Sedangkan cinta kepada Rasulullah bersemayam dalam hatinya dan pujian-pujian kepada beliau selalu menghiasi bibirnya… 

Gus Isma'il al Kholili

Selasa, 17 November 2020

BEGINILAH ADAB MENEGUR DZURRIYAT RASULULLAH SAW YANG MELAKUKAN KESALAHAN

Oleh : KH Abdi Kurnia Djohan

Telah menjadi bagian dari adab di pesantren, jika ada anak kyai yang nakal, para ustadz dan santri yang ada di pesantren, tidak akan menegur atau bahkan menghardik anak kyai tadi, karena menghormati orang tuanya. Ditambah lagi ada keyakinan, biasanya anak kyai yang nakal itu, apabila telah sampai kepadanya futuh, dia akan menjadi ulama besar yang sangat disegani. Dan itu sudah terbukti. Kalaupun para ustadz atau para santri ingin menyampaikan keluh kesah tentang kenakalan anak kyai tadi, mereka akan menyampaikannya kepada keluarga atau kerabat kyai yang dekat hubungannya dengan para ustadz atau santri tadi. 

Demikian pula keadaannya dengan para habaib atau alawiyyin. Jika ada seorang sayyid yang perilakunya tidak berkenan di mata umat, biasanya itu diadukan kepada habib yang dekat hubungannya dengan sayyid yang bersangkutan. Jamaah tidak berani menegur sang sayyid, karena menaruh hormat kepada garis keturunannya. Kesungkanan itu bukan tanpa dasar. Ada semacam keyakinan, jika seorang sayyid berperilaku kurang berkenan, dikhawatirkan ia mengalami kondisi jadzab yang hanya bisa dipahami di kalangan mereka. 

Dua kondisi di atas tidak ada yang berbeda. Karena tradisi di kalangan habaib dan kyai, pada asalnya sama dan berasal dari satu jalur. Cara pandang sekuler yang kemudian mencoba memisahkan tradisi dua kelompok yang asalnya satu ini. Sehingga kini bisa dilihat habib diadu dengan kyai. Seolah-olah para habib adalah saingan para kyai, yang notabene mewakili pribumi. 

Jika terhadap anak kyai yang nakal saja bisa berlaku sungkan, kenapa tidak kepada anak habib? Seandainya memang mempunyai niat menjunjung akhlak, semestinya kekecewaan terhadap seorang habib itu, disampaikan kepada habib yang lebih sepuh dan bijak bukan mengumbarnya di media sosial. Sebab, jika dianggap penting untuk diumbar di media sosial, itu artinya niat menjunjung tinggi akhlak hanyalah dusta belaka. Sebab, tidaklah membenci seorang sayyid kecuali keturunan Abdullah bin Ubay bin Salul....na'udzu billah

Sumber : Dikutip melalui laman facebook KH Abdi Kurnia Djohan

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

Rabu, 07 Oktober 2020

Imam Malik dan Imam Syafi'i : Guru dan Murid Tertawa karena beda pendapat tentang rezeki.

Imam Malik (Guru Imam Syafi'i) dalam majlis menyampaikan bahwa Sesungguhnya rezeki itu datang tanpa sebab, cukup dgn tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan memberikan rezeki.

“Lakukan yg menjadi bagianmu, selanjutnya biarkan Allah mengurus lainnya".

Sementara Imam Syafi'i (sang murid berpendapat lain), bahwa seandainya seekor burung tidak keluar dari sangkarnya, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan rezeki.

Guru dan murid ini pun bersikukuh pada pendapatnya masing-masing.

Hingga suatu saat imam Syafi'i sedang bepergian keluar pondok, Imam Syafi'i melihat rombongan orang yang sedang memanen Anggur, diapun membantu mereka.

Setelah pekerjaan selesai. Imam Syafi'i memperoleh imbalan beberapa ikat anggur sebagai balas jasa. Imam Syafi'i girang, namun bukan karena mendapatkan anggur, melainkan pemberian itu telah menguatkan pendapat nya.

Jika burung tak terbang dari sangkar, bagaimana ia akan mendapatkan rezeki. Seandainya dia tak membantu memanen, niscaya tdk akan mendapatkan anggur.

Bergegas Imam Syafi'i menjumpai Imam Malik Gurunya. Sambil memberikan oleh2 Anggur itu kpd Gurunya seraya berkata:

“seandainya saya tdk keluar pondok dan melakukan sesuatu (membantu memanen), tentu saja anggur ini tdk akan pernah sampai ditangan saya".

Mendengar itu Imam Malik tersenyum, seraya mengambil anggur dan mencicipinya. Imam Malik berucap:

“sehari ini aku memang tdk keluar pondok, hanya mengambil tugas sebagai guru, dan sedikit berpikir alangkah nikmatnya kalau dalam hari yg panas ini aku bisa menikmati anggur. Tiba-tiba engkau datang sambil membawakan beberapa ikat anggur untukku.

Bukankah ini juga bagian rezeki yg datang tanpa sebab. Cukup dgn tawakkal yang benar kepada Allah niscaya Allah akan memberikan rezeki, lakukan yg menjadi bagian mu, selanjutnya biarkan Allah yg mengurus lainnya."

Kemudian mereka tertawa.

Dua imam besar mengambil dua hukum yg berbeda dari hadist yg sama. Begitulah cara ulama bila melihat perbedaan, bukan dgn menyalahkan orang lain & hanya membenarkan pendapatnya sendiri.

Sabtu, 03 Oktober 2020

Mereka yang durhaka atau menghina Allah Ta'ala yakni "MEMENJARAKAN" atau TERBATAS dengan Arsy

Mereka yang terjerumus Aashin (durhaka) atau menghina Allah Ta'ala TERBATAS dengan makhluk seperti contohnya mereka yang "MEMENJARAKAN" Allah Ta'ala TERBATAS dengan Arsy adalah AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA mentakwil atau memahami ISTIWA dengan MAKNA DZAHIR seperti ISTAQARRA yang artinya BERADA atau MENETAP TINGGI di atas Arsy secara hissi (materi, fisikal) 

Imam Abul Hasan al Asy'ari dalam "Maqalatul Islamiyin" jilid I hal 281 menuliskan, 

أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية

Mereka (ahlus sunnah) berkata, "Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK"

Pengertian ولا حد , (TIDAK TERBATAS) adalah Allah Ta'ala TIDAK TERBATAS pada salah satu di antara enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)

Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H, ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad) membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau "I'tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38; 

والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش

"Dan Allah Ta'ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy"

Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H)  mengingatkan bahwa 

من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه

Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.

Imam al Baihaqi dalam kitab al I'tiqad (Beirut: 'Alam al Kutub hal. 72) telah menjelaskan lebih lanjut, "Wajib untuk mengetahui bahwa Istiwanya Allah Subhanahu wa  Ta'ala bukanlah istiwa yang berarti tegak dari bengkok, bukan bersemayam pada tempat, bukan menempel pada makhluk-Nya, akan tetapi Allah istiwa atas Arsy'-Nya tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Allah tidak serupa dengan seluruh makhluk-Nya.

Imam sayyidina Ali karamallahu wajhah mengingatkan bahwa orang yang menganggap Tuhan BERBATAS dengan makhluk contohnya BERBATAS dengan arsy adalah mereka yang jahil yakni belum mengenal Allah (makrifatullah) 

Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata

من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود

”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud/terbatas maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)

Padahal jika BELUM MENGENAL Allah dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla. 

Imam Ghazali berkata:

لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود

“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.

Pada kenyataannya, para pendaku Salafi yakni orang-orang yang hidup zaman (now) atau zaman khalaf (kemudian) namun mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai salafi serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) 

Firqah Karramiyah adalah orang-orang yang beraqidah mujassimah yakni orang-orang yang NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau secara hakikat (makna hakikat) yakni MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz SEHINGGA mereka terjerumus MEN-JISM-KAN Allah Ta'ala. 

Mereka mensifatkan Allah Ta'ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya. 

Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah).

Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i'tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).

Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke  tempatnya saat fajar. 

Imam Asy Syahrastani  (W 578) Rahimahullah mengatakan :
.
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
.
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas 'Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, "Arsy penuh dengan Dzat ALLAH." namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta'ala di arah atas, Dia lurus dengan 'Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara 'Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109) 

Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam. 

Berikut kutipan tulisan mereka, 

****** awal kutipan ******
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
***** akhir kutipan ******

Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”. 

Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah "tempat ketiadaan" 

Namun mengapa dalam peristiwa Mi'raj, justru ada mereka yang menyatakan berada satu tempat dengan Rasulullah. 

Apakah Rasulullah yang keberadaannya berbentuk fisik itu juga bisa berada di "tempat ketiadaan" itu? 

Ironisnya keyakinan (i'tiqod/akidah) mereka tentang adanya "bukan tempat" atau "tempat ketiadaan" (makan 'adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf

Padahal istilah "bukan tempat" atau makan 'adami (tempat ketiadaan) tidak pernah dikatakan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur'an maupun Hadits. 

Jadi istilah "bukan tempat" atau makan 'adami (tempat ketiadaan) adalah contoh bid'ah sayyiah (bid'ah dholalah) karena bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits.

Mereka mengatakan, 

***** awal kutipan *****
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi" 
****** akhir kutipan *****

Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H) 

Hal ini mengingatkan kami kepada percakapan antara mbah Lalar dengan kang Bangkak yang meyakini (beri’tiqod) bahwa Tuhan nya di arah atas atau bertempat di langit 

“Mau kemana kang Bangkak pagi pagi sudah membawa cangkul “ sapa mbah Lalar yang bikin kaget kang Bangkak

“Mau menggali sumur mbah“ jawab kang Bangkak

“Kenapa engkau melakukan hal hal yang dapat menjauhkan mu dari Tuhan?” ucap mbah Lalar sambil tersenyum.

“Maksudnya bagaimana mbah?” Kang Bangkak mulai bingung

“Bukankah Tuhan mu ada di langit? “

“Iya, lantas?”

“Kenapa engkau menggali sumur ? Bukankah itu bisa menjauhkan mu dari langit?

“Haaaa ?!?” Kang Bangkak pun langsung pergi dengan wajah sewot.

Begitupula para ulama terdahulu telah MELARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan semua itu tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala. 

Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

Contoh KEDURHAKAAN ('Aashin) ustadz mereka terhadap Allah Ta'ala yakni dengan ustadz mereka berkeyakinan kaki tuhan mereka ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahanam, sedangkan kursi maupun neraka jahanam di bawah Arsy maka kaki tuhan mereka MENJUNTAI dari Arsy ke bawah karena ustadz mereka berkeyakinan pula tuhan mereka berada (istaqarra) di atas Arsy. 

Ustadz mereka ketika memaknai Allah Maha Besar mengatakan bahwa kenapa Allah itu tidak kelihatan karena (ukuran) Allah terlalu besar untuk dilihat. 

Tuhan mereka (berukuran) sangat besar dibuktikan dengan (ukuran) kakinya yang ditempatkan di kursi sebagaimana yang dapat disaksikan dalam video pada https://youtu.be/ysCisMiaHxs

***** awal kutipan *****
Ayat kursi berarti informasi tentang pijakan kakinya Allah di singgasanaNya.

Pijakan kakiNya saja sudah semua tertutupi langit dan bumi
..... 
Allah itu Maha Besar. Jadi kenapa Allah itu tidak kelihatan karena Allah terlalu besar untuk dilihat”
***** akhir kutipan *****

Beliau tampaknya terpengaruh oleh paham WAHABISME yakni ajaran atau pemahaman ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) yang dijuluki "duplikat" Ibnu Taimiyyah (W 728 H)

Paham Wahabisme dibiayai dan disebarluaskan oleh kerajaan dinasti Saudi.

Contohnya dapat kita temukan dalam mushaf Al Madinah An Nabawiyah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dicetak di Komplek Percetakkan Al Qur’an Al Karim kepunyaan Raja Fahd yang biasa menjadi oleh-oleh bagi Jama’ah haji atau umroh Indonesia, pada CATATAN KAKI (footnote) ketika menafsirkan QS Al Baqarah [2]:255. 

***** awal kutipan ****
161) “Kursi dalam ayat ini oleh sebagian mufassirin mengartikan Ilmu Allah, ada juga yang mengartikan kekuasaan-Nya. Pendapat yang shahih terhadap makna “Kursi” ialah tempat letak telapak Kaki-Nya.”
***** akhir kutipan ****

Salah satu contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki di tempatkan di kursi seperti

Ibnu Abbas radhiallahu anhu berkata, “Al-Kursy adalah tempat kedua kaki, sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang dapat memperkirakan ukurannya.”

Berikut kutipan penjelasan Ibn al Jawzi terkait riwayat tersebut,

***** awal kutipan ****
Riwayat ini ditetapkan oleh Ahl al-Itsbat, mereka mengatakan bahwa ini hadits mawqûf dari sahabat Ibnu Abbas, di antara mereka ada satu orang bernama Syuja bin Mukhallad mengatakan bahwa riwayat ini marfû’ berasal dari Rasulullah. Pernyataan Syuja bin Mukhallad yang mengatakan bahwa hadits ini marfû’ menyalahi riwayat para perawi terkemuka lainnya yang telah menetapkan bahwa hadits ini hanya mawqûf saja, dengan demikian pernyataan Ibnu Mukhallad ini adalah salah

Adapun pemahaman hadits tersebut adalah bahwa besarnya al-Kursiy dibanding dengan arsy adalah bentuk yang sangat kecil sekali. Perumpamaan besarnya kursi hanyalah seukuran dua telapak kaki seorang yang duduk di atas ranjang

Ad-Dlahhak berkata: “Kursi adalah tempat yang dijadikan pijakan dua kaki oleh para raja yang berada di bawah tempat duduk (singgasana) mereka”.
***** akhir kutipan *****

Jadi hadits tersebut jika tetap hendak diterima adalah sekedar untuk memperbandingkan besarnya kursi Allah dengan Arsy Nya. Tidak lebih dari itu.

Selain ustadz mereka beraqidah, beri'tiqod atau berkeyakinan Tuhan mereka berkaki dua ditempatkan di kursi dan terkadang dibenamkan di neraka jahannam sebagaimana video pada https://www.youtube.com/watch?v=Xr3mZmNORhQ 

Contoh dalil yang mereka pergunakan untuk meyakini Tuhan mereka memiliki dua buah kaki yang terkadang dibenamkan di neraka jahannam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Setiap kali Jahannam dilempari (dengan penghuninya) ia (Jahannam) senantiasa mengatakan, “Masih adakah tambahan?” Sehingga Rabbul ‘Izzah (Allah) meletakkan telapak kaki-Nya didalamnya -dalam riwayat lain, meletakkan telapak kaki-Nya di atasnya-. Maka sebagiannya mengisutkan kepada sebagian lainnya, lalu ia (Jahannam) berkata, “Cukup… cukup…!” (Riwayat Bukhari, no: 4848 dan Muslim, no: 2848)

Al-Imam al-Hafizh Ibnul Jawzi berkata: “Wajib bagi kita berkeyakinan bahwa Dzat Allah bukan benda yang dapat terbagi-bagi, tidak diliputi oleh tempat, tidak disifati dengan berubah, dan tidak disifati dengan berpindah-pindah. Telah diriwayatkan dari Abu Ubaid al-Harawi dan Imam al-Hasan al-Bashri, bahwa ia (al-Hasan al-Bahsri) berkata: Yang dimaksud “ قدم ” (makna dzahirnya kaki) dalam hadits di atas adalah orang-orang yang didatangkan (dimasukkan) oleh Allah dari para makhluk-Nya yang jahat di dalam neraka Jahanam”.

Jadi mereka terjerumus Aashin (durhaka) atau menghina Allah Ta'ala akibat METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka mengatakan bahwa,

Tuhan punya dua kaki namun tidak serupa dengan kaki makhlukNya, kaki Tuhan ditempatkan di kursi dan terkadang di neraka, 

Tuhan punya dua tangan namun tidak serupa dengan tangan makhlukNya, kedua tangan Tuhan adalah kanan sebagaimana contoh tulisan mereka pada http://asysyariah.com/dua-tangan-allah/

Tuhan punya wajah namun tidak serupa dengan wajah makhlukNya, wajah Tuhan tanpa kepala.

Pembesar mazhab Hambali yakni, Al-Imam al-Hafizh Ibn al Jawzi ketika menyampaikan tentang firqah mujassimah bahwa mereka tidak mendapatkan nash / dalil shorih bahwa Allah memiliki kepala. 

***** awal kutipan ******
Sementara tentang kepala mereka berkata, “Kami tidak pernah mendengar berita bahwa Allah memiliki kepala”
***** akhir kutipan *****

Begitupula Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Hasyiyah al-‘Allaamah Ibn Hajar al-Haitami ‘alaa Syarh al-Idhah fii Manasik al-Hajj telah mengingatkan bahwa Ibnu Taimiyyah itu telah MENGHINA atau DURHAKA kepada Allah Ta’ala KARENA mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat benda seperti arah dan tempat maupun mensifatkan Allah Ta’ala dengan anggota-anggota badan seperti tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya. 

***** awal kutipan *****
Oleh karena terhadap Allah saja dia telah melakukan penghinaan.

Kepada Allah; Ibnu Taimiyah ini telah menetapkan arah, tangan, kaki, mata, dan lain sebagainya dari keburukan-keburukan yang sangat keji.

Ibn Taimiyah ini telah dikafirkan oleh banyak ulama, –semoga Allah membalas segala perbuatan dia dengan keadilanNya dan semoga Allah menghinakan para pengikutnya; yaitu mereka yang membela segala apa yang dipalsukan oleh Ibn Taimiyah atas syari’at yang suci ini.”
***** akhir kutipan *****

Berdasarkan pernyataan Imam Ibnu Hajar al-Haitami di atas bahwa ulama panutan mereka, Ibnu Taimiyyah telah dikafirkan yakni ditetapkan kufur dalam i’tiqod oleh banyak ulama maka perlu dikaji ulang penggelaran syaikhul Islam kepada Beliau.

Contohnya ulama seperti Al ‘Allamah ‘Ala ad-Din al Bukhari al Hanafi (W 841 H). Beliau mengkafirkan yakni menetapkan kufur dalam i’tiqod bagi Ibnu Taimiyah dan orang yang menyebutnya Syaikhul Islam, maksudnya orang yang menyebutnya dengan julukan Syaikhul Islam, sementara ia tahu perkataan dan pendapat-pendapat kufurnya. Hal ini dituturkan oleh Al Hafizh as-Sakhawi dalam Adl-dlau Al Lami’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang “membela” ke-Syaikhul Islam-an Ibnu Taimiyyah MENGINGATKAN bahwa AMBIL YANG BAIK dan TINGGALKAN YANG BURUK dari Ibnu Taimiyyah

*** awal kutipan ***
ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه

“Meskipun demikian, beliau (Ibnu Taimiyyah) adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya”.
*** akhir kutipan ****

PERTANYAANNYA siapakah yang menghidupkan kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah dan menyodorkan kitab-kitab Beliau setelah wafat lebih dari 350 tahun kepada ulama Najed dari bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab. 

***** awal kutipan *****
Untuk itu, beliau mesti mendalami benar-benar tentang aqidah ini melalui kitab-kitab hasil karya ulama-ulama besar di abad-abad yang silam.

Di antara karya-karya ulama terdahulu yang paling terkesan dalam jiwanya adalah karya-karya Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah.

Demikianlah meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bagaikan duplikat (salinan) Ibnu Taimiyah.
***** akhir kutipan *****

PERTANYAAN ini perlu disampaikan karena para ulama terdahulu justru telah melarang untuk membaca kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya.

Contohnya Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjadikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?”. (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah : 203)

Imam Ibn Hajar Al-Haitami menyampaikan dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Subhanahu wa Ta’ala arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata (Al-Fatawa Al-Hadithiyyah halaman 116)

Begitupula pendiri ormas Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asyari telah mengingatkan kita untuk menghindari meneruskan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahab al-Najdi, pendiri firqah Wahabi dan penerus kebid’ahan Ibnu Taimiyah sebelum bertaubat serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim Al Jauziah dan Abdul Hadi, sebagaimana yang termuat dalam Risalatu Ahlissunnah wal Jama’ah halaman 5-6

******* awal kutipan *******
Diantara mereka (sekte yang muncul pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.

Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan Islam.”

Maka wajib menanggalkan/menjauhi (penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf
****** akhir kutipan *******

FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN metode pemahamannya atau MAZHABNYA selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149 

***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
***** akhir kutipan *****

Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy'ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah mengikuti MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah. 

Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta'ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) adalah SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).

Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,

***** awal kutipan *****
"maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur'an tidak ada bentuk metafor.

Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid'ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
***** akhir kutipan ****

Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632).

Sedangkan Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya  MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH, menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala. 

Salafush Sholeh mengatakan 

قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير

“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir”

Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).

Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.

Para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa  “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu HARUS DIPAHAMI dalam MAKNA DZAHIRNYA jika itu dimungkinkan NAMUN jika tidak memungkinkan contohnya karena  jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta'ala dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka PILIHANNYA ada dua yakni, 

PILIHAN PERTAMA adalah TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala yang disebut juga TAFWIDH ba'da TAKWIL IJMALI.

PILIHAN KEDUA menyimpulkan dan menetapkan bahwa berarti teks-teks tersebut bukan dalam makna dzahirnya tetapi dalam MAKNA MAJAZ (metaforis atau makna kiasan) yang disebut juga TAKWIL TAFSHILI yakni TAKWIL yang sesuai dengan KAIDAH-KAIDAH atau TATA BAHASA Arab itu sendiri karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3).

Berikut cara mudah memahami TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI. 

Bagi si A, gadis itu cantik bagaikan bulan.

Si A berkata “sore itu bulan masuk ke warung makan” .

TAKWIL IJMALI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan. Oleh karenanya saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya

TAKWIL TAFSHILI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa.

Jadi TAKWIL IJMALI atau TAKWIL TAFSHILI adalah PILIHAN bukan BERTENTANGAN.

Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala

Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala

Para mufassir (ahli tafsir) sepakat menterjemahkan ISTIWA artinya BERSEMAYAM adalah karena kata BERSEMAYAM serupa dengan ISTIWA mempunyai MAKNA DZAHIR dan MAKNA MAJAZ (makna kiasan). 

Jadi kita harus dapat membedakan antara ARTI dengan MAKNA.

Contoh kata BERSEMAYAM yang tidak dapat dimaknai dengan MAKNA DZAHIR, makna duduk atau bertempat dalam sebuah petuah Bung Karno tertanggal 23 Oktober 1946 yakni berbunyi:

Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.

Contoh BERSEMAYAM dalam MAKNA MAJAZ adalah berkuasa, contohnya Bapak Drs H M. Abdullah Msc BERSEMAYAM di SINGGASANA Walikota selama dua periode” bukan bermakna dia BERTEMPAT atau DUDUK di SINGGASANA sepanjang dua periode namun MAKNANYA dia BERKUASA selama dua periode.

Para ulama terdahulu membolehkan seorang menafsirkan ISTIWA yang artinya BERSEMAYAM dengan ISTAWLA yang artinya MENGUASAI karena dia tidak berbuat kesalahan apapun dan tidak mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak boleh. Penafsiran semacam ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan keagungan Allah.

Imam Ibn Battal mengatakan, “pengartian pengaturan dan kekuasaan”, “menguasai” dan “penaklukan” tidak dianggap berlawanan dengan Sang Pencipta (Al-Khalik) sebagaimana “Zahir”, “Qahhar”, “ghalib” atau “Qahir”, tidak dianggap berlawanan atas bagian zat lainnya. Hal ini diperkuat oleh ayat, “Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi (Al-Qahir) atas semua hamba-Nya” (6:18, 6:61) dan “ Allah berkuasa (Al-Ghalib) terhadap urusan-Nya” (12:21).

Begitupula pembesar mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi dalam Shubah al-Tashbih hal:23 juga membolehkan menafsirkan istiwa sebagai “al-qahr”, menguasai.

Sedangkan mereka mengatakan bahwa orang yang menakwilkan ISTIWA yang artinya BERSEMAYAM dengan ISTAWLA yang artinya MENGUASAI, seolah-olah Allah Ta'ala menguasai setelah sebelumnya belum menguasai layaknya raja-raja yang menang perang, yang kemudian menguasai kerajaan yang sebelumnya belum dikuasainya.

Pemahaman semacam demikian itu hanya terjadi bila Arsy dianggap sesuatu yang qadim; tanpa permulaan, dan bukan makhluk. 

Ini jelas pemahaman yang keliru karena arsy adalah makhluk Allah. Segala sesuatu apapun (selain Allah); semuanya adalah makhluk Allah dan di bawah kekuasaan Allah.

Jika arsy atau selain arsy tidak diciptakan oleh Allah Ta'ala maka semua itu tidak akan pernah ada. Allah Ta'ala menciptakan dan menguasai Arsy

Adapun penyebutan arsy dalam ayat tersebut secara khusus adalah karena arsy itu makhluk Allah yang paling besar bentuknya.

Dengan demikian penyebutan arsy secara khusus ini memberikan isyarat bahwa Allah Ta'ala juga menguasai segala apa yang bentuknya lebih kecil dari pada arsy.

Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, 

إنَّ اللهَ خلَقالْعرشإظْهارا لقُدرتهولم يتخذْهمكَانا لذَات
(رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق/ ص : ٣٣٣)

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” , diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi (W 429 H) dalam kitab al Farq bayna al Firaq (perbedaan di antara Aliran-aliran), hal. 333)

Jadi mereka yang mengingkari Allah Ta'ala istiwa di atas Arsy menampakkan kekuasaan-Nya adalah mereka yang terjerumus atau secara tidak langsung mengingkari sifat azali atau sifat qadim yakni tanpa permulaan

Tentulah Allah Maha Kuasa sebelum maupun sesudah menciptakan Arsy

Allah Ta'ala ada tanpa tempat sebelum maupun sesudah menciptakan Arsy

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ

“Allah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.”

Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata “Allah ada dan belum ada tempat dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat”

Syaikh Ibnu Athoilah berkata “Allah ada, dan tidak ada sesuatupun besertaNya. Dia kini adalah tetap sebagaimana adanya”

Begitupula Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir” (QS Al Hadiid [57]:3)

Jadi jelaslah bahwa Allah Ta’ala ada sebagaimana awalnya dan sebagaimana akhirnya. 

Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya, sebagaimana setelah diciptakan ciptaanNya.

Allah Ta’ala ada sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy , sebagaimana setelah diciptakan ’Arsy

Jadi Allah Ta’ala ada dan tidak berubah !!! , mustahil disifatkan berubah (huduts)

Imam Syafi’i berkata

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق الـمكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه الـمكان لا يجوز عليه التغيِير فى ذاته ولا في صفاته

“Sesungguhnya Allah Ta’ala ada dan tidak ada tempat, maka Dia menciptakan tempat, sementara Dia tetap atas sifat azali-Nya, sebagaimana Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat, tidak boleh atas-Nya berubah pada dzat-Nya dan pada sifat-Nya”. (Kitab Ithaf As-Sadati Al-Muttaqin –Jilid 2-halaman 36).

Sedangkan kata “tsumma” dalam firman-Nya: “Tsumma Istawâ” menurut Al Imam al-Qadli Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab berjudul Idlah ad-Dalil Fî Qath’i Hujaj Ahl at-Ta’thîl, hlm. 106-107 menuliskan

***** awal kutipan *****
bukan dalam pengertian “tertib atau berkesinambungan” dalam perbuatan-Nya, tetapi untuk memberikan paham tertib atau kesinambungan dalam pemberitaan, bukan dalam perbuatan-Nya.
***** akhir kutipan *****

Al-Imam al-Qurthubi menuliskan: “Allah yang Maha Agung tidak boleh disifati dengan perubahan atau berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan mustahil Dia disifati dengan sifat berubah atau berpindah. Karena Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah, dan tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Karena sesuatu yang terikat oleh waktu itu adalah sesuatu yang lemah dan makhluk” (al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, j. 20, h. 55, dalam QS. al-Fajr: 22)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Selasa, 18 Agustus 2020

DALIL SHOHIH TAHLILAN



عن جابر بن عبد الله الأنصاري قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما الى سعد بن معاذ حين توفي قال فلما صلى عليه رسول الله ووضع فى قبره وسوى عليه سبح رسول الله فسبحنا طويلا ثم كبر فكبرنا فقيل يارسول الله لم سبحت ثم كبرت قال لقد تضايق على هذا العبد الصالح قبره حتى فرجه الله عنه رواه أحمد 
( مسند الامام احمد بن حنبل ج ٢٣ ص ١٥٨ )
قال الشيخ على بن محمد الشوكانى العادة الجارية فى بعض البلدان من الإجتماع فى المسجد لتلاوة القرأن على الاموات وكذالك فى البيوت وسائر الإجتماعات التى لم ترد فى الشريعة لاشك إن كانت خالية عن معصية سالمة من المنكرات فهي جائزة لأن الإجتماع ليس بمحرم بنفسه لاسيما إذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها ولا يقدح فى ذالك كون تلك التلاوة مجعولة للميت.... كما فى الحديث إقرأوا يس على موتاكم وهو حديث صحيح 
( الرسائل السلفية للشيخ الشوكانى ص ٤٦ )
قال ابن تيمية إذا هلل الانسان هكذا سبعون ألفا أو أقل أو أكثر وأهديت إليه أي الى الميت نفعه الله بذالك
( مجموع الفتاوى لإبن تيمية ج ٢٤ ص ٣٢٣ )
--------------------------------------------------------------
"Dari Jabir bin abdullah Al-anshori, dia berkata, kami pernah keluar bersama Rasulullah saw di hari saat sa'ad bin mu'adz meninggal, ketika Rasul saw selesai men-sholatkannya dan jenazahnya dikubur dan diratakan, rasul saw membaca tasbih dan kami mengikutinya dg bacaan yg lama, belliau lalu membaca takbir dan kami juga mengikutinya.

Setelah itu beliau ditanya.."ya rasul, kenapa engkau tadi membaca tasbih dan takbir?" belliau menjawab,.."sungguh kuburan hamba yg shaleh ini menyempit untuknya, hingga kemudian Allah lapangkan berkat bacaan tadi. 
[HR. Ahmad ]
( Musnad Imam Ahmad bin hambal, jilid 23 hal. 158 )

Berkata Imam ali bin muhammad Asy-syaukani, adapun kebiasaan yg berlaku di sebagian tempat berupa berkumpul di masjid atau di rumah atau di tempat2 lainnya yg tidak bertentangan dg syari'ah dan tidak ada hal2 maksiat serta bebas dari perbuatan munkar, maka hal itu boleh.

Karena hakikatnya berkumpul bukan hal terlarang, terutama bila untuk ke taatan seperti membaca al qur'an atau lainnya. Dan tidak juga tercela bila bacaan itu dihadiahkan untuk yg meninggal. sebagaimana ada hadits, "bacakanlah surat yasin untuk orang yg meninggal diantaramu", dan itu hadits yg shahih
( Ar-rosa'ilus salafiyah, syeikh Asy syaukani hal. 46 )

Berkata Ibnu Taimiyah : "jika seseorang membaca tahlil dg jumlah tertentu misalnya tujuh ribu kali, atau lebih sedikit dan lebih banyak, lalu dihadiahkan untuk orang mati, maka Allah memberi manfaat pd orang mati tsb berkat bacaan tahlil tadi".
( Majmu' fatawa, Ibnu Taimiyah jilid 24 hal. 323 )

Kalau ada yang bertanya tentang dalil tahlilan...?? itu di kitab orang islam, bukan di kitab orang hindu,,

3 (tiga) hari
7 (tujuh) hari
25 (dua puluh lima) hari 
40 (empat puluh) hari
100 (seratus) hari
1000 (seribu) hari

Tak henti-hentinya Wahabi Salafi menyalahkan Amaliyah ASWAJA, khususnya di Indonesia ini.

Salah satu nya yang paling sering juga mereka fitnah adalah Tahlilan yang menurutnya tidak berdasarkan Dalil bahkan dianggap rujukannya dari kitab Agama Hindu. Untuk itu, kali ini saya tunjukkan Dalil-Dalil Tahlilan

3, 7, 25, 40, 100, Setahun & 1000 Hari

Dari Kitab Ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan kitab dari agama hindu sebagaimana tuduhan fitnah kaum WAHABI

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺇﻟﻰﺍﻟﻤﻮتى

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ : ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺪﻓن ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﻰ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻳﺒﻘﻰ ﺛﻮﺍﺑﻬﺎ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺨﻤﺲ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺃﺭﺑﻌﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﻣﻦ ﺍﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﺇﻟﻰ ﻣﺎﺋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﺎﺋﺔ ﺇﻟﻰ ﺳﻨﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻟﻒ عام (الحاوي للفتاوي ,ج:۲,ص: ١٩٨

Rasulullah saw bersabda: “Doa dan shodaqoh itu hadiah kepada mayyit.”
Berkata Umar: “shodaqoh setelah kematian maka pahalanya sampai tiga hari dan shodaqoh dalam tiga hari akan tetap kekal pahalanya sampai tujuh hari, dan shodaqoh di hari ke tujuh akan kekal pahalanya sampai 25 hari dan dari pahala 25 sampai 40 harinya lalu sedekah dihari ke 40 akan kekal hingga 100 hari dan dari 100 hari akan sampai kepada satu tahun dan dari satu tahun sampailah kekalnya pahala itu hingga 1000 hari.”

Referensi : (Al-Hawi lil Fatawi Juz 2 Hal 198)

Jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari) jelas ada dalilnya, sejak kapan agama Hindu ada Tahlilan ?

Berkumpul ngirim doa adalah bentuk shodaqoh buat mayyit.

ﻓﻠﻤﺎ ﺍﺣﺘﻀﺮﻋﻤﺮ ﺃﻣﺮ ﺻﻬﻴﺒﺎ ﺃﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎﺱ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ، ﻭﺃﻣﺮ ﺃﻥ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻃﻌﺎما، ﻓﻴﻄﻌﻤﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﺴﺘﺨﻠﻔﻮﺍ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ ، ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺟﻌﻮﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻨﺎﺯﺓ ﺟﺊ ﺑﺎﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﻭﺿﻌﺖ ﺍﻟﻤﻮﺍﺋﺪ ! ﻓﺄﻣﺴﻚ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﺎ ﻟﻠﺤﺰﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻫﻢ ﻓﻴﻪ ، ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ : ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺇﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪ ﻣﺎﺕ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﻣﺎﺕ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﺄﻛﻠﻨﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﺷﺮﺑﻨﺎ ﻭﺇﻧﻪ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﺍﻻﺟﻞ ﻓﻜﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ، ﺛﻢ ﻣﺪ ﺍﻟﻌﺒﺎﺱ ﻳﺪﻩ ﻓﺄﻛﻞ ﻭﻣﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻳﺪﻳﻬﻢ ﻓﺄﻛﻠﻮﺍ

Ketika Umar sebelum wafatnya, ia memerintahkan pada Shuhaib untuk memimpin shalat, dan memberi makan para tamu selama 3 hari hingga mereka memilih seseorang, maka ketika hidangan–hidangan ditaruhkan, orang – orang tak mau makan karena sedihnya, maka berkatalah Abbas bin Abdulmuttalib:

Wahai hadirin.. sungguh telah wafat Rasulullah saw dan kita makan dan minum setelahnya, lalu wafat Abubakar dan kita makan dan minum sesudahnya, dan ajal itu adalah hal yang pasti, maka makanlah makanan ini..!”, lalu beliau mengulurkan tangannya dan makan, maka orang–orang pun mengulurkan tangannya masing–masing dan makan.

Referensi: [Al Fawaidussyahiir Li Abi Bakar Assyafii juz 1 hal 288, Kanzul ummaal fii sunanil aqwaal wal af’al Juz 13 hal 309, Thabaqat Al Kubra Li Ibn Sa’d Juz 4 hal 29, Tarikh Dimasyq juz 26 hal 373, Al Makrifah wattaarikh Juz 1 hal 110]

Kemudian dalam kitab Imam As Suyuthi, Al-Hawi li al-Fatawi:

ﻗﺎﻝ ﻃﺎﻭﻭﺱ : ﺍﻥ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻳﻔﺘﻨﻮﻥ ﻓﻲ ﻗﺒﻮﺭﻫﻢ ﺳﺒﻌﺎ ﻓﻜﺎﻧﻮﺍ ﻳﺴﺘﺤﺒﻮﻥ ﺍﻥ ﻳﻄﻌﻤﻮﺍ ﻋﻨﻬﻢ ﺗﻠﻚ ﺍﻻﻳﺎﻡ

Imam Thawus berkata: “Sungguh orang-orang yang telah meninggal dunia difitnah dalam kuburan mereka selama tujuh hari, maka mereka (sahabat) gemar menghidangkan makanan sebagai ganti dari mereka yang telah meninggal dunia pada hari-hari tersebut.”

ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﻴﺮ ﻗﺎﻝ : ﻳﻔﺘﻦ ﺭﺟﻼﻥ ﻣﺆﻣﻦ ﻭﻣﻨﺎﻓﻖ , ﻓﺎﻣﺎ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺳﺒﻌﺎ ﻭﺍﻣﺎﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺍﺭﺑﻌﻴﻦ ﺻﺒﺎﺣﺎ

Dari Ubaid bin Umair ia berkata: “Dua orang yakni seorang mukmin dan seorang munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari, sedangkan seorang munafiq disiksa selama empat puluh hari.”

Dalam tafsir Ibn Katsir (Abul Fida Ibn Katsir al Dimasyqi Al Syafi’i) 774 H beliau mengomentari ayat 39 surah an Najm (IV/236: Dar el Quthb), beliau mengatakan Imam Syafi’i berkata bahwa tidak sampai pahala itu, tapi di akhir2 nya beliau berkomentar lagi

ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻓﺬﺍﻙ ﻣﺠﻤﻊ ﻋﻠﻰ ﻭﺻﻮﻟﻬﻤﺎ ﻭﻣﻨﺼﻮﺹ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ

bacaan alquran yang dihadiahkan kepada mayit itu sampai, Menurut Imam Syafi’i pada waktu beliau masih di Madinah dan di Baghdad, qaul beliau sama dengan Imam Malik dan Imam Hanafi, bahwa bacaan al-Quran tidak sampai ke mayit, Setelah beliau pindah ke mesir, beliau ralat perkataan itu dengan mengatakan bacaan alquran yang dihadiahkan ke mayit itu sampai dengan ditambah berdoa “Allahumma awshil.…dst.”, lalu murid beliau Imam Ahmad dan kumpulan murid2 Imam Syafi’i yang lain berfatwa bahwa bacaan alquran sampai.

Pandangan Hanabilah, Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibnu Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) menjelaskan:

ﺍَﻣَّﺎ ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَـِﺎﻧَّﻪُ ﻳَﻨْـﺘَـﻔِﻊُ ﺑِﻬَﺎ ﺑِﺎﺗِّـﻔَﺎﻕِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ. ﻭَﻗَﺪْ ﻭَﺭَﺩَﺕْ ﺑِﺬٰﻟِﻚَ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ُﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍَﺣَﺎ ﺩِﻳْﺚُ ﺻَﺤِﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﺜْﻞُ ﻗَﻮْﻝِ ﺳَﻌْﺪٍ ( ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍِﻥَّ ﺍُﻣِّﻲْ ﺍُﻓْﺘـُﻠِﺘـَﺖْ ﻧَﻔْﺴُﻬَﺎ ﻭَﺍَﺭَﺍﻫَﺎ ﻟَﻮْ ﺗَـﻜَﻠَّﻤَﺖْ ﺗَﺼَﺪَّﻗَﺖْ ﻓَﻬَﻞْ ﻳَﻨْـﻔَـﻌُﻬَﺎ ﺍَﻥْ ﺍَﺗَـﺼَﺪَّﻕَ ﻋَﻨْﻬَﺎ ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻧَـﻌَﻢْ , ﻭَﻛَﺬٰﻟِﻚَ ﻳَـﻨْـﻔَـﻌُﻪُ ﺍﻟْﺤَﺞُّ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍْﻻُ ﺿْﺤِﻴَﺔُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟْﻌِﺘْﻖُ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺍْﻻِﺳْﺘِـْﻐﻒُﺭﺍَ ﻟَﻪُ ﺑِﻼَ ﻧِﺰﺍَﻉٍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍْﻷَﺋِﻤَّﺔِ .

“Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’ad “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/314-315)

Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada:

ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺍُﻫْﺪِﻱَ ﻟِﻤَﻴِّﺖٍ ﺛَﻮَﺍﺏُ ﺻِﻴﺎَﻡٍ ﺍَﻭْ ﺻَﻼَﺓٍ ﺍَﻭْ ﻗِﺮَﺋَﺔٍ ﺟَﺎﺯَ ﺫَﻟِﻚَ

Artinya: “jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an / kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”.

Referensi : (Majmu’ al-Fatawa: XXIV/322)

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi menegaskan;

ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻤْﻜُﺚَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺪُّﻓْﻦِ ﺳَﺎﻋَـﺔً ﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻠْﻤَﻴِّﺖِ ﻭَﻳَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻝُﻩَ. ﻧَـﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ ﻗَﺎﻟﻮُﺍ: ﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَـﻘْﺮَﺃَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺊٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃَﻥِ ﻭَﺍِﻥْ خَتَمُوْا اْلقُرْآنَ كَانَ اَفْضَلَ ) المجموع جز 5 ص 258(

“Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai mengha tamkan al-Qur’an”.

Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini;

ﻭَﻳُـﺴْـﺘَﺤَﺐُّ ﻟِﻠﺰَّﺍﺋِﺮِ ﺍَﻥْ ﻳُﺴَﻠِّﻢَ ﻋَﻠﻰَ ﺍْﻟﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺰُﻭْﺭُﻩُ ﻭَﻟِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺍَﻫْﻞِ ﺍْﻟﻤَﻘْﺒَﺮَﺓِ. ﻭَﺍْﻻَﻓْﻀَﻞُ ﺍَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻭَﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ ﺑِﻤَﺎ ﺛَﺒـَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻭَﻳُﺴْـﺘَـﺤَﺐُّ ﺍَﻥْ ﻳَﻘْﺮَﺃَ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻘُﺮْﺃٰﻥِ ﻣَﺎ ﺗَﻴَﺴَّﺮَ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮْ ﻟَﻬُﻢْ ﻋَﻘِﺒَﻬَﺎ ﻭَﻧَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓﻌِﻰُّ ﻭَﺍﺗَّﻔَﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍْﻻَﺻْﺤَﺎﺏُ. (ﺍﻟﻤﺠﻤﻮﻉ ﺟﺰ 5 ص 258 )

“Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”.

Referensi : (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal

ﻗَﺎﻝَ : ﻭَﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮﺍَﺀَﺓِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍْﻟﻘَﺒْﺮِ . ﻭَﻗَﺪْ ﺭُﻭِﻱَ ﻋَﻦْ ﺍَﺣْﻤَﺪَ ﺍَﻧَّـﻪُ ﻗَﺎﻝَ: ﺍِﺫﺍَ ﺩَﺧَﻠْﺘﻢُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮَ ﺍِﻗْﺮَﺋُﻮْﺍ ﺍَﻳـَﺔَ ﺍْﻟﻜُـْﺮﺳِﻰِّ ﺛَﻼَﺙَ ﻣِﺮَﺍﺭٍ ﻭَﻗُﻞْ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻠﻪ ُﺍَﺣَﺪٌ ﺛُﻢَّ ﻗُﻞْ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍِﻥَّ ﻓَﻀْﻠَﻪُ ِﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺑِﺮِ .

Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

Referensi : (al-Mughny II/566)

Dalam al Adzkar dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini:

ﻭَﺫَﻫَﺐَ ﺍَﺣْﻤَﺪُ ْﺑﻦُ ﺣَﻨْﺒَﻞٍ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍْﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺟَﻤَﺎﻋَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺍَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﺸَّﺎِﻓـِﻌﻰ ﺍِﻟﻰَ ﺍَﻧـَّﻪُ ﻳَـﺼِﻞ
rizqi yang halal dan berkah adalah
TAHLILAN

COVAS

Bantu dakwah like dan share postingan ini

Nabi Muhammad Rasulullah Shalallah Alaihi Wasallah bersabda ;
Barang siapa menyampaikan satu saja ilmu dari ku maka allah akan menyediakan tempat surga untuk nya di hari penghakiman nanti

Walahualam bissawab semoga bermamfaat

Kalam aswaja (ahli sunnah wal jama,ah).

Minggu, 02 Agustus 2020

SEJARAH SINGKAT GERAKAN WAHABI SALAFI

Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangan nya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain. Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam. Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS: An-Nisa 4:115).
Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?” Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan” Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim.” Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.
Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannyadengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.
Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh. Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata : “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai,menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut. Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.
Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur. Demikian juga kubah di atas tanah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta, namun karena gencarnya desakan kaum Muslimin International maka dibangun perpustakaan. Kaum Wahabi benar-benar tidak pernah menghargai peninggalan sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur Islam. Semula AI-Qubbatul Khadra (kubah hijau) tempat Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dimakamkan juga akan dihancurkan dan diratakan dengan tanah tapi karena ancaman International maka orang-orang biadab itu menjadi takut dan mengurungkan niatnya. Begitu pula seluruh rangkaian yang menjadi manasik haji akan dimodifikasi termasuk maqom Ibrahim akan digeser tapi karena banyak yang menentangnya maka diurungkan.
Pengembangan kota suci Makkah dan Madinah akhir-akhir ini tidak mempedulikan situs-situs sejarah Islam. Makin habis saja bangunan yang menjadi saksi sejarah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sahabatnya. Bangunan itu dibongkar karena khawatir dijadikan tempat keramat. Bahkan sekarang, tempat kelahiran Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam terancam akan dibongkar untuk perluasan tempat parkir. Sebelumnya, rumah Rasulullah pun sudah lebih dulu digusur. Padahal, disitulah Rasulullah berulang-ulang menerima wahyu. Di tempat itu juga putra-putrinya dilahirkan serta Khadijah meninggal.
Islam dengan tafsiran kaku yang dipraktikkan Wahabisme paling punya andil dalam pemusnahan ini. Kaum Wahabi memandang situs-situs sejarah itu bisa mengarah kepada pemujaan berhala baru. Pada bulan Juli yang lalu, Sami Angawi, pakar arsitektur Islam di wilayah tersebut mengatakan bahwa beberapa bangunan dari era Islam kuno terancam musnah. Pada lokasi bangunan berumur 1.400 tahun Itu akan dibangun jalan menuju menara tinggi yang menjadi tujuan ziarah jamaah haji dan umrah.
“Saat ini kita tengah menyaksikan saat-saat terakhir sejarah Makkah. Bagian bersejarahnya akan segera diratakan untuk dibangun tempat parkir,” katanya kepada Reuters. Angawi menyebut setidaknya 300 bangunan bersejarah di Makkah dan Madinah dimusnahkan selama 50 tahun terakhir. Bahkan sebagian besar bangunan bersejarah Islam telah punah semenjak Arab Saudi berdiri pada 1932. Hal tersebut berhubungan dengan maklumat yang dikeluarkan Dewan Keagamaan Senior Kerajaan pada tahun 1994. Dalam maklumat tersebut tertulis, “Pelestarian bangunan bangunan bersejarah berpotensi menggiring umat Muslim pada penyembahan berhala.” (Mirip Masonic bukan?)
Nasib situs bersejarah Islam di Arab Saudi memang sangat menyedihkan. Mereka banyak menghancurkan peninggalan-peninggalan Islam sejak masa Ar-Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Semua jejak jerih payah Rasulullah itu habis oleh modernisasi ala Wahabi. Sebaliknya mereka malah mendatangkan para arkeolog (ahli purbakala) dari seluruh dunia dengan biaya ratusan juta dollar untuk menggali peninggalan-peninggalan sebelum Islam baik yang dari kaum jahiliyah maupun sebelumnya dengan dalih obyek wisata. Kemudian dengan bangga mereka menunjukkan bahwa zaman pra Islam telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, tidak diragukan lagi ini merupakan pelenyapan bukti sejarah yang akan menimbulkan suatu keraguan di kemudian hari.
Gerakan wahabi dimotori oleh para juru dakwah yang radikal dan ekstrim, mereka menebarkan kebencian permusuhan dan didukung oleh keuangan yang cukup besar. Mereka gemar menuduh golongan Islam yang tak sejalan dengan mereka dengan tuduhan kafir, syirik dan ahli bid’ah. Itulah ucapan yang selalu didengungkan di setiap kesempatan, mereka tak pernah mengakui jasa para ulama Islam manapun kecuali kelompok mereka sendiri. Di negeri kita ini mereka menaruh dendam dan kebencian mendalam kepada para Wali Songo yang menyebarkan dan meng-Islam-kan penduduk negeri ini.
Mereka mengatakan ajaran para wali itu masih kecampuran kemusyrikan Hindu dan Budha, padahal para Wali itu telah meng-Islam-kan 90 % penduduk negeri ini. Mampukah wahabi-wahabi itu meng-Islam-kan yang 10% sisanya? Mempertahankan yang 90 % dari terkaman orang kafir saja tak bakal mampu, apalagi mau menambah 10 % sisanya. Justru mereka dengan mudahnya mengkafirkan orang-orang yang dengan nyata bertauhid kepada Allah SWT. Jika bukan karena Rahmat Allah yang mentakdirkan para Wali Songo untuk berdakwah ke negeri kita ini, tentu orang-orang yang menjadi corong kaum wahabi itu masih berada dalam kepercayaan animisme, penyembah berhala atau masih kafir. (Naudzu billah min dzalik).
Oleh karena itu janganlah dipercaya kalau mereka mengaku-aku sebagai faham yang hanya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka berdalih mengikuti keteladanan kaum salaf apalagi mengaku sebagai golongan yang selamat dan sebagainya, itu semua omong kosong belaka. Mereka telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah dengan membantai ribuan orang di Makkah dan Madinah serta daerah lain di wilayah Hijaz (yang sekarang dinamakan Saudi). Tidakkah anda ketahui bahwa yang terbantai waktu itu terdiri dari para ulama yang sholeh dan alim, bahkan anak-anak serta balita pun mereka bantai di hadapan ibunya. Tragedi berdarah ini terjadi sekitar tahun 1805. Semua itu mereka lakukan dengan dalih memberantas bid’ah, padahal bukankah nama Saudi sendiri adalah suatu nama bid’ah” Karena nama negeri Rasulullah SAW diganti dengan nama satu keluarga kerajaan pendukung faham wahabi yaitu As-Sa’ud.
Sungguh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memberitakan akan datangnya Faham Wahabi ini dalam beberapa hadits, ini merupakan tanda kenabian beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam memberitakan sesuatu yang belum terjadi. Seluruh hadits-hadits ini adalah shahih, sebagaimana terdapat dalam kitab shahih BUKHARI & MUSLIM dan lainnya. Diantaranya: “Fitnah itu datangnya dari sana, fitnah itu datangnya dari arah sana,” sambil menunjuk ke arah timur (Najed). (HR. Muslim dalam Kitabul Fitan).
“Akan keluar dari arah timur segolongan manusia yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai melewati kerongkongan mereka (tidak sampai ke hati), mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya, mereka tidak akan bisa kembali seperti anak panah yang tak akan kembali ketempatnya, tanda-tanda mereka ialah bercukur (Gundul).” (HR Bukho-ri no 7123, Juz 6 hal 20748). Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, dan Ibnu Hibban.
Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” Para sahabat berkata: Dan dari Najed, wahai Rasulullah, beliau berdo’a: “Ya Allah, berikan kami berkah dalam negara Syam dan Yaman,” dan pada yang ketiga kalinya beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda: “Di sana (Najed) akan ada keguncangan fitnah serta di sana pula akan muncul tanduk syaitan.” Dalam riwayat lain dua tanduk syaitan.
Dalam hadits-hadits tersebut dijelaskan, bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul). Dan ini adalah merupakan nash yang jelas ditujukan kepada para penganut Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia telah memerintahkan setiap pengikutnya mencukur rambut kepalanya hingga mereka yang mengikuti tidak diperbolehkan berpaling dari majlisnya sebelum bercukur gundul. Hal seperti ini tidak pernah terjadi pada aliran-aliran sesat lain sebelumnya. Seperti yang telah dikatakan oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal: “Tidak perlu kita menulis buku untuk menolak Muhammad bin Abdul Wahab, karena sudah cukup ditolak oleh hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu sendiri yang telah menegaskan bahwa tanda-tanda mereka adalah bercukur (gundul), karena ahli bid’ah sebelumnya tidak pernah berbuat demikian.” Al-Allamah Sayyid AIwi bin Ahmad bin Hasan bin Al-Quthub Abdullah AI-Haddad menyebutkan dalam kitabnya Jala’uzh Zholam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abbas bin Abdul Muthalib dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: “Akan keluar di abad kedua belas (setelah hijrah) nanti di lembah BANY HANIFAH seorang lelaki, yang tingkahnya bagaikan sapi jantan (sombong), lidahnya selalu menjilat bibirnya yang besar, pada zaman itu banyak terjadi kekacauan, mereka menghalalkan harta kaum muslimin, diambil untuk berdagang dan menghalalkan darah kaum muslimin” AI-Hadits.
BANY HANIFAH adalah kaum nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad bin Saud. Kemudian dalam kitab tersebut Sayyid AIwi menyebutkan bahwa orang yang tertipu ini tiada lain ialah Muhammad bin Abdul Wahab. Adapun mengenai sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang mengisyaratkan bahwa akan ada keguncangan dari arah timur (Najed) dan dua tanduk setan, sebagian, ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dua tanduk setan itu tiada lain adalah Musailamah Al-Kadzdzab dan Muhammad Ibn Abdil Wahab. Pendiri ajaran Wahabiyah ini meninggal tahun 1206 H / 1792 M.
Diambil dari rubrik Bayan, majalah bulanan Cahaya Nabawiy No. 33 Th. III Sya’ban 1426 H / September 2005 M

Walahualam bissawab
Semoga betmamfaat

Wassalam kalam Aswaja.

Selasa, 28 Juli 2020

MEMPERBANYAK MENGAMALKAN SHALAWAT KEPADA NABI SAW SEBAGAI JALAN PALING DEKATMENUJU WUSHUL ILAALLAH

 Al-Allamah al-Arif Billah Syaikh Yusuf al-Nabhani, dalam kitab _Afdhal al-Shalawat_, menulis:

*أَقْرَبُ الطُرُقِ إِلَى اللهِ فِي أَخِرِ الزَمَانِ خُصُوصًا عَلَى المُسْرِفِ كَثْرَةُ الإِسْتِغْفَارِ والصَلاَةِ عَلَى النَبي صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.*

   Thariqat (jalan/metode yang ditempuh) yang paling dekat menuju kepada Allah SWT, di akhir zaman khususnya bagi orang-orang yang berlumuran dosa, adalah dengan memperbanyak istighfar dan bershalawat kepada Nabi SAW.

   Al-Imam Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith berkata:

*في آخر الزمان يفقد الشيخ المربي فالصلاة على النبي تقوم مقام الشيخ المربي في إيصال المريد إلى الله*
 
   Di akhir zaman, jumlah Murabbi (Pembimbing Ruhani Sejati) akan terus menyusut (berkurang), karena itu bershalawat kepada Nabi SAW, dapat dijadikan sebagai pengganti kedudukan Murabbi (Pembimbing Ruhani Sejati) bagi murid dalam mencapai wushul (sampai ke hadirat) Allah SWT.

   Syaikh Hasan al-Adawiy dalam mensyarah kitab _Dalail al-Khairat_, ia menukil dari al-Imam al-Sanusi dan Sayyidi Ahmad Zarruq sebagai berikut:

*أن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم تنور القلوب وتوصل من غير شيخ.*

   Bahwasanya (seseorang yang mengamalkan) shalawat kepada Nabi SAW, dapat menerangi hati (nya) dan dapat mengantarkannya menuju wushul (sampai ke hadirat Allah SWT) tanpa seorang Syaikh (Pembimbing Ruhani).

   Al-Allamah al-Arif Billah Syaikh Yusuf al-Nabhani, dalam kitab _Sa’adat al-Darayn_, menulis:

*وَبِالجُمْلَةِ أَنَّ الصَلاَةَ عَلَى النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوصِلُ إِلَى عَلاَّمِ الغُيُوْبِ مِنْ غَيْرِ شَيْخٍ. لِأَنَّ السَنَدَ وَالشَيْخَ صَاحِبُهَا لِأَنَّهَا تُعْرَضُ عَلَيْهِ وَيُصَلِّي اللهُ عَلَى المُصَلِّي. بِخِلاَفِ غَيْرِهَا مِنَ الأَذْكَارِ فَلاَ بُدَّ فِيْهَا مِنَ الشَيْخِ العَارِفِ وَإِلاَّ دَخَلَهَا الشَيْطَانُ وَلاَ يَنْتَفِعُ بِهَا صَاحِبُهَا.*

   Pada intinya, sesungguhnya shalawat kepada Nabi SAW, dapat mengantarkan pengamalkan wushul (sampai ke hadirat Allah) Dzat Yang Maha Gaib tanpa guru. Karena sanad dan Syaikh (dalam shalawat) adalah pemilik shalawat (Rasulullah SAW). Sesungguhnya shalawat diperlihatkan kepadanya serta Allah bershalawat kepada orang yang bershalawat (mushalli). Berlainan dengan (wirid) yang lain dari beberapa dzikir, yang di dalamnya harus ada Mursyid yang Arif (Billah). Jika tidak, maka setan masuk di dalam wirid/dzikir tersebut, dan tidak memberikan manfaat kepada pengamalnya.

*نقل العلامة السيد أحمد زينى دحلان في كتابه تقريب الوصول وتسهيل الوصول عن سيدي عبد الرحمن بن مصطفى العيدروس أنه ذكر في كتابه المسمى مرآة الشموس في مناقب آل العيدروس أنه يعدم المربون في آخر الزمن ويصير ما يوصل الى الله إلا الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم مناما ويقظة.*

   Al-Allamah al-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan telah menukil dalam kitabnya _Taqrib al-Wushul wa Tashil al-Wushul_, bersumber dari Sayyidi Abd al-Rahman bin Musthafa Alaydrus bahwasanya ia menyebutkan dalam kitabnya _Mar’at al-Syumus Fiy Manaqib Ali Alaydrus_ bahwa untuk menemukan Murabbi (Pembimbing Ruhaniah Sejati) di akhir zaman ini sangatlah sulit, dan untuk memudahkan jalan menuju wushul (sampai ke hadirat) Allah SWT, tidak ada jalan lain kecuali dengan mengamalkan shalawat kepada Nabi SAW, baik dalam keadaan (sebagaimana) orang tidur/hati lalai maupun dengan penuh kesadaran/sepenuh hati.

   Al-Arif Billah Taj al-Din bin Athaillah al-Sakandari dalam kitabnya _Taj al-Arus al-Hawiy Li Tahdzib al-Nufus_, menulis:

*من فاته كثرة الصيام والقيام فليشغل نفسه بالصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم فإنك لو فعلت في جميع عمرك كل طاعة ثم صلى الله عليك صلاة واحدة رجحت تلك الصلاة الواحدة على كل ما عملته في عمرك كله من جميع الطاعات لأنك تصلي على قدر وسعك وهو يصلي على حسب ربوبيته هذا إذا كانت صلاة واحدة فكيف إذا صلى عليك عشراً بكل صلاة كما جاء في الحديث الصحيح فما أحسن العيش إذا أطعت الله فيه بذكر الله تعالى أو الصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم. من صلى عليه ربنا صلاة واحدة كفاه هم الدنيا والآخرة.*

   Barangsiapa yang (merasa dirinya) tidak memiliki amalan puasa (selain puasa Ramadhan) dan shalat malam (qiyam al-lail) yang banyak untuk menghadap Allah SWT, maka hendaknya ia memperbanyak mengamalkan shalawat dan salam kepada Nabi SAW. Dia bisa jadi termasuk orang yang beruntung jika sepanjang hidupnya dalam ketaatan beribadah, kemudian ia menerima balasan shalawat dari Allah setiap kali ia bershalawat kepada Nabi SAW, karena 1x balasan shalawat dari Allah SWT, untuknya lebih baik dari dunia dan akhirat seisinya. Apalagi ketika ia bershalawat kepada Nabi SAW, 1x dibalas dengan shalawat dari Allah sebanyak 10x sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang shahih bahwa, “Tidak ada kehidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan ketika Allah SWT, menjadikannya istiqamah dalam berdzikir atau bershalawat kepada Rasulullah SAW, (karena) barangsiapa yang mendapatkan balasan shalawat dari (Allah SWT) Tuhan kita 1x saja itu lebih baik dari dunia dan akhirat.”

   Dalam kitab _al-Anwar al-Qudsiyah_, bab Sanad al-Qaum, dijelaskan sebagai berikut:

*أَنَّ جَمَاعَةً بِبِلاَدِ اليَمَنِ لَهُمْ سَنَدٌ بِتَلْقِيْنِ الصَلاَةِ وَالسَلاَمِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ فَيُلَقِّنُونَ المُرِيْدَ ذَالِكَ, وَيَشْغِلُونَ بِالصَلاَةِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ, فَلاَ يَزَالُ مِنْهَا حَتَّى يَصِيْرَ يَجْتَمِعَ بِالنَبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ يَقَظَةً وَمُشَافَهَةً. وَيَسْاَلُهُ عَنْ وَقَائِعِهِ كَمَا يَسْاَلُ المُرِيْدُ شَيْخَهُ فِي الصُوفِيَةِ. وَأَنَّ مُرِيْدَهُمْ يَتَرَقَّي بِذَالِكَ فِي أَيَّامٍ قَلاَئِلَ. وَيُسْتَغْنَى عَنْ جَمِيْعِ الأَشْيَاخِ بِتَرْبِيَتِهَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ.*

   Sesungguhnya di Yaman terdapat Jama’ah Shalawat, di mana para murid pengamal shalawat memiliki sanad shalawat dengan talqin (ijazah) shalawat kepada Rasulullah SAW. Para Mursyid mentalqin murid dengan talqin shalawat. Para murid menyibukkan diri dengan memperbanyak mengamalkan shalawat kepada Rasulullah SAW. Mereka tidak henti-hentinya dengan shalawat tersebut hingga dapat berkumpul bersama dengan Nabi SAW secara jaga dan tatap muka. Mereka menanyakan kepada (Nabi SAW), tentang keadaan mereka sebagaimana murid bertanya kepada Gurunya dalam ilmu tasawuf. Dan murid tersebut dapat naik (keimanannya) dalam waktu yang tidak lama. Para murid tidak membutuhkan Guru Ruhani lagi, disebabkan mendapat pendidikan langsung dari Rasulullah SAW.

   Al-Syaikh al-Imam al-Arif Billah Abd al-Wahab al-Sya’raniy dalam _“al-Yawaqit Wa al-Jawahir”_ dan _“al-‘Ahud al-Muhammadiyyah,”_ menulis:

*واعلم يا أخي أن طريق الوصول إلى حضرة الله من طريق الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم "من أقرب الطرق." فمن لم يخدم النبي صلى الله عليه وسلم الخدمة الخاصة به وطلب دخول حضرة الله فقد رام المحال. ولا يمكنه حجاب الحضرة أن يدخل وذلك لجهله بالأدب مع الله تعالى. فحكمه حكم الفلاح إذا طلب الاجتماع بالسلطان بغير واسطة فافهم.*

   Ketahuilah wahai saudaraku! Bahwasanya jalan yang engkau tempuh untuk bisa sampai (wushul) ke hadirat Allah SWT, melalui Shalawat kepada Nabi SAW, adalah salah satu jalan yang paling dekat. Siapa gerangan yang tidak menghidmahkan dirinya secara khusus kepada Baginda Nabi, kemudian dia berangan-angan untuk dapat masuk ke Hadhratillah, maka sungguh mustahillah angan-angannya itu (dapat terwujud). Tidak mugkin (Malaikat) para penjaga Hadratillah mau mempersilahkan dia masuk disebabkan ketiadaan adabnya kepada Allah Ta’ala. Sama halnya dia itu seperti seorang petani yang ingin bertemu langsung dengan Raja tanpa melalui perantara khusus (orang-orang dekat) Sang Raja, maka fahamilah hal ini.

   Dalam kitab _Lawaqih al-Anwar al-Qudsiyyah_, al-Imam al-Arif Billah Abd al-Wahhab al-Sya'rani ra., juga menulis:

*فإن أكثرت من الصلاة والسلام عليه صلى الله عليه وسلم فربما تصل إلى مقام مشاهدته صلى الله عليه وسلم، وهي طريق الشيخ نور الدين الشوني، والشيخ أحمد الزواوي، والشيخ محمد بن داود المنزلاوي، وجماعة من مشايخ اليمن، فلا يزال أحدهم يصلي على رسول الله صلى الله عليه وسلم ويكثر منها حتى يتطهر من كل الذنوب، ويصير يجتمع به يقظة أي وقت شاء ومشافهة، ومن لم يحصل له هذا الاجتماع فهو إلى الآن لم يكثر من الصلاة والتسليم على رسول الله صلى الله عليه وسلم الإكثار مطلوب ليحصل له هذا المقام .*

   Jika engkau memperbanyak mengamalkan shalawat dan salam kepada Rasul SAW, maka tidak mustahil engkau dapat mencapai maqam musyahadah (menyaksikan keberadaan/kehadiran) Rasul SAW. Hal ini sebagaimana yang dilakukan dalam thariqat (jalan yang ditempuh) oleh Syaikh Nur al-Din al-Syuni, Saikh Ahmad al-Zawawi, Syaikh Muhammad bin Dawud al-Manzilawi dan Jama’ah Masyaikh di Yaman, mereka terus menerus mengamalkan shalawat kepada Rasul SAW, seraya memperbanyaknya sehingga menjadi bersih dari segala dosa dan bisa berkumpul dengan Nabi SAW, dan berdialog dengannya secara sadar di waktu kapanpun yang diinginkan. Tegasnya, barangsiapa yang berkeinginan agar dapat mencapai maqam ini hendaklah ia memperbanyak mengamalkan shalawat dan salam kepada Rasul SAW. Barangsiapa yang tidak berhasil mencapai maqam ini padahal ia telah mengamalkan shalawat sampai sekarang, menunjukkan bahwa dia belum termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang memperbanyak shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW.

   Al-Allamah al-Arif Billah Yusuf al-Nabhani, dalam kitab _Sa’adat al-Darayn_, menulis:

*وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تَعالى, وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ, وَمِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ*

   Dan telah diketahui bersama (kaum ahli makrifat), bahwa sesungguhnya, barangsiapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah SAW, maka ia akan merasakan nikmatnya wushul kepada Allah SWT. Dan barangsiapa yang memisahkan kedua wushul ini, maka ia tidak akan merasakan makrifat sejati. Seagung-agungnya jalan wushul adalah ta’alluq (menyandarkan diri) dengan sifat Sang Kekasih Allah SWT, yaitu dengan memperbanyak bershalawat kepada Nabi SAW.

*وأخبرني الشيخ أحمد الزواوي أنه لم يحصل له الاجتماع بالنبي صلى الله عليه وسلم يقظة حتى واظب الصلاة عليه سنة كاملة يصلي كل يوم وليلة خمسين ألف مرة ، وكذلك أخبرني الشيخ نور الدين الشوني أنه واظب على الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم كذا وكذا سنة كل يوم يصلي ثلاثين ألف صلاة .*

   (Al-Imam al-Arif Billah Abd al-Wahhab al-Sya'rani ra., berkata) telah mengkhabarkan kepadaku bahwa Syaikh Ahmad al-Zawawi berkata bahwasanya seseorang (pengamal shalawat) tidak akan berhasil berkumpul bersama Nabi SAW, secara sadar kecuali dalam sehari semalam ia memperbanyak mengamalkan shalawat sebanyak 50,000x selama 1 tahun penuh. Begitu juga Syeh Nuruddin al-Syuniy menghabarkan kepadaku bahwasanya beliau berkosentrasi memperbanyak mengamalkan shalawat ini dan itu (ragam shalawat) kepada Nabi SAW, setiap harinya sebanyak 30,000x shalawat selama 1 tahun penuh.

*وسمعت سيدي عليا الخواص رحمه الله يقول : لا يكمل عبد في مقام العرفان حتى يصير يجتمع برسول الله صلى الله عليه وسلم أي وقت شاء، قال : وممن بلغنا أنه كان يجتمع بالنبي صلى الله عليه وسلم يقظة ومشافهة من السلف، الشيخ أبو مدين شيخ الجماعة، والشيخ عبد الرحيم القناوي، والشيخ موسى الزولي، والشيخ أبو الحسن الشاذلي، والشيخ أبو العباس المرسي، والشيخ أبو السعود بن أبي العشائر، وسيدي إبراهيم المتبولي*

   Aku mendengar Sayyid Ali al-Khawwas berkata, "Seorang hamba tidak akan sempurna dalam mencapai maqam 'irfan sampai ia dapat berkumpul bersama Rasul SAW, pada waktu kapanpun yang diinginkan." Sayyid Ali berkata, "Dan sebagian dari ulama' salaf yang telah menyampaikan berita kepadaku bahwasanya di antara mereka pernah berkumpul bersama Rasul SAW, secara sadar dan berdialog, mereka adalah: Syaikh Abu Madyan, Syaikh Abd al-Rahim al-Qunawi, Syaikh Musa al-Zuliy, Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili, Syaikh Abu al-Abas al-Mursi al-Syadziliy, Syaikh Abu al-Su'ud bin Abi al- 'Asya'ir, dan Sayyid Ibrahim al-Matbuli.

*والشيخ جلال الدين الأسيوطي، كان يقول : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم واجتمعت به نيفا وسبعين مرة . وأما سيدي إبراهيم المتبولي فلا يحصى اجتماعه به لأنه كان في أحواله كلها ويقول : ليس لي شيخ إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان الشيخ أبو العباس المرسي يقول : لو احتجب عني رسول الله صلى الله عليه وسلم ساعة ما عددت نفسي من جملة المؤمنين .*

   Syaikh Jalal al-Din al-Suyuthi pernah berkata, "Aku pernah melihat Nabi SAW, dan berkumpul dengan beliau sebanyak lebih dari 70 kali." Adapun Sayyid Ibrahim al-Matbuli, maka tidak dapat dihitung berapa kali beliau berkumpul bersama Nabi SAW, karena sesungguhnya dalam seluruh keadaannya (ahwal) dulu beliau berkata: "Tiada guru bagiku kecuali Rasulullah SAW." Syaikh Abu al-Abbas al-Mursyi pernah berkata, "Jikalau Rasulullah SAW, terhijab dariku walaupun sesaat, maka aku tidak akan menganggap diriku ke dalam kelompok orang-orang yang beriman."

*واعلم أن مقام مجالسة رسول الله صلى الله عليه وسلم عزيزة جدا، وقد جاء شخص إلى سيدي علي المرصفي وأنا حاضر فقال : يا سيدي قد وصلت إلى مقام صرت أرى رسول الله صلى الله عليه وسلم يقظة أي وقت شئت ، فقال له : يا ولدي بين العبد وبين هذا المقام مائتا ألف مقام، وسبعة وأربعون ألف مقام، ومرادنا تتكلم لنا يا ولدي على عشر مقامات منها، فما درى ذلك المدعي ما يقول وافتضح فاعلم ذلك .والله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم.*

   (Al-Imam al-Arif Billah Abd al-Wahhab al-Sya'rani ra., berkata): Ketahuilah bahwa sesungguhnya maqam mujalasah (duduk bersama) Rasulullah SAW, sangat langka sekali, seseorang telah datang kepada Sayyid Ali al-Mursifi dan aku (al-Imam al-Arif Billah Abd al-Wahhab al-Sya'rani ra., berkata) saat itu hadir, orang tersebut berkata: "Ya Sayyidiy, aku telah mencapai maqam di mana aku dapat melihat Rasulullah SAW, secara sadar di waktu kapanpun yang aku inginkan." Sayyidi Ali al Mursifi berkata: "Wahai anakku, di antara seorang hamba dan maqam tersebut ada 240,000 maqam, dan yang engkau maksudkan yaitu berbicara dengan kami itu baru 1/10 dari maqam-maqam itu." Orang yang mengaku-ngaku tersebut tidak tahu apa yang diucapkan dan dia malu sendiri. Ketahuilah bahwa Allah menunjukkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. 

   Syeh Ahmad al-Zawawi pernah mengatakan:

*طَرِيْقُنَا أَنْ نُكَثِّرَ مِنَ الصَلاَةِ عَلَى النَبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يَصِيْرَ يُجَالِسُنَا وَنَصْحَبُهُ مِثْلَ الصَحَابَةِ وَيَسْأَلُهُ عَلَى أُمُورِ دِيْنِنَا*

   Jalan/thariqah kita (untuk menuju Allah SWT) dengan memperbanyak bershalawat kepada Nabi SAW, hingga Beliau menjadi teman duduk kita secara jaga, dan kita bersahabat dengannya sebagaimana persahabatan para sahabatnya, dan kita bisa bertanya kepadanya tentang urusan agama kita.

Wallahu a'lam.

#IndonesiaCintaSholawat

Rabu, 08 Juli 2020

Resep Cepat Hamil

Alhamdulillah Hamil Minum Resep ini
1 Kunyit ibu jari
1 Jahe ibu jari
2 serai
1/2 lemon / jeruk Nipis
3 sendok makan madu
Cuci semua bahan di alir yang mengalir , jahe dan kunyit iris tipis-tipis , potong jeruk menjadi dua .
Tuang air 700ml masukan jahe , kunyit , serai
Masak hingga mendidih , tunggu hangat dan saring peras jeruk nipis dan tuangkan madu .
Bismillah duduk dan minum tangan kanan .
Doa ini di baca selesai sholat lima waktu :
1. Doa Nabi Ibrahim As:
ﺭَﺏِّ ﻫَﺐْ ﻟِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴﻦَ
RABBI HABLII MINASH SHOOLIHIIN
Artinya :Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS: As-Shaffat: 100)
ﺭَﺏِّ ﻟَﺎ ﺗَﺬَﺭْﻧِﻲ ﻓَﺮْﺩًﺍ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻮَﺍﺭِﺛِﻴﻦَ
Rabbi laa tadzar nii fardaw wa anta khayrul waa ritsiin
Artinya: “Ya Tuhanku janganlah engkau biarkan aku hidup seorang diri dan engkaulah pewaris yang paling baik.” (QS.Al-Anbiya:89)
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻛْﺜِﺮْ ﻣَﺎﻟَﻪُ ﻭَﻭَﻟَﺪَﻩُ ﻭَﺑَﺎﺭِﻙْ ﻟَﻪُ ﻓِﻴﻪِ
Allahumma aktsir maa lahu wawaladahuu wabaariklahu fiihi
Artinya: “Ya Allah! Perbanyakkanlah hartanya dan perbanyakkanlah anak-anaknya serta berikanlah keberkatan kepadanya” (H.R. Bukhari Muslim).
Maka jika doa itu dibaca untuk diri sendiri atau suami istri, kalimatnya menjadi:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻛْﺜِﺮْ ﻣَﺎِﻟﻲ ‏( ﻟَﻨَﺎ ‏) ﻭَﻭَﻟَﺪِﻱ ‏( ﻧَﺎ ‏) ﻭَﺑَﺎﺭِﻙْ ﻟﻲ ‏( ﻟَﻨَﺎ ‏) ﻓِﻴﻪِ
Allahumma aktsir maa lii (lanaa) wawaladii (naa) wabaaRiklii (lanaa) fiihi
“Ya Allah! perbanyakkanlah hartaku dan perbanyakkanlah anak-anakku serta berikanlah keberkahan kepadaku di dalamnya”.
2. Doa Nabi Zakaria AS
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻫَﺐْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻨَﺎ ﻭَﺫُﺭِّﻳَّﺎﺗِﻦَﺍ ﻗُﺮَّﺓَ ﺃَﻋْﻴُﻦٍ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ
Artinya :Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74).
ﻫُﻨَﺎﻟِﻚَ ﺩَﻋَﺎ ﺯَﻛَﺮِﻳَّﺎ ﺭَﺑَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺏِّ ﻫَﺐْ ﻟِﻲ ﻣِﻦ ﻟَّﺪُﻧْﻚَ ﺫُﺭِّﻳَّﺔً ﻃَﻴِّﺒَﺔً ﺇِﻧَّﻚَ ﺳَﻤِﻴﻊُ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀ
hunaalika da’aa zakariyyaa rabbahu qaala rabbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thayyibatan innaka samii’u ddu’aa
Di sanalah Zakaria mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendenganr do’a”. (Ali Imron : 38).
Semoga di berikan keturunan yang Sholeh dan Sholeha
#Herbal_Ruqyah_Indonesia
Barakallahufiikum

Sabtu, 04 Juli 2020

BONGKAR SEJARAH HITAM WAHABI​

KEZALIMAN DILAKUKAN OLEH WAHHABI DI KOTA THOIF
Wahhabi menyerang kota thoif setelah menawan pemerintahan asy-syarif gholib hakim mekah pada zul qaedah tahun 1217h bersamaan 1802m kemudian wahhabi membunuh penduduk thoif termasuk wanita dan kanak-kanak dan wahhabi turut menyembelih bayi yang masih dipangkuan ibunya.
Wahhabi membunuh umat islam di dalam masjid-masjid & rumah-rumah dan wahhabi bertindak mengejar sesiapa yang lari dari serangan mereka lalu membunuh kebanyakan mereka yang lari itu, wahhabi juga mengumpul sebahagian mereka tadi dalam satu kawasan malangnya kemudian dipukul leher mereka (bunuh) dan sebahagian mereka dibawa oleh wahhabi ke satu lembah bernama wadi aluj lantas wahhabi meninggalkan mereka di wadi yang kosong itu yang jauh dari perkampungan dalam keadaan mereka dibogelkan tanpa pakaian antara lelaki dan perempuan.
Semasa kebangkitan wahhabi di kota thoif mereka turut bertindak ganas terhadap ulama islam di kota thoif dan ulama islam yang berada berhampiran dengannya termasuk ulama islam di mekah dan madinah mati dibunuh oleh wahhabi berdasarkan fakta sejarah tepat. Pada masa itu wahhabi telah membunuh dan menyembelih ulama islam terlalu ramai antara ulama islam yang dibunuh oleh wahhabi adalah:

Mufti mekah al-mukarramah waktu yang sama merupakan seorang mufti mekah dalam mazhab asy-syafi’iyyah bernama syeikh abdullah az-zawawi telah mati dibunuh oleh wahhabi dengan kejam dihadapan rumahnya dengan cara menyembelih mufti tersebut.

Seorang qodhi (tuan kadi) bernama abdullah abu al-khoir juga mati dibunuh oleh wahhabi ketika itu.
Syeikh ja’far asy-syaiby dan beberapa ulama islam bersamanya dibunuh oleh wahhabi dengan cara penyembelihan kejam oleh ketua dan bala tentera wahhabi ketika itu.

Kesemua peristiwa kejam tadi berlaku pada tahun 1217h bersamaan 1802m.

Setelah Wahhabi menyerang kota Thoif dan membunuh umat Islam dan ulamanya disana. Wahhabi menyerang tanah yang mulia Mekah Al-Mukarramah pula tahun 1803M : 1218H seperti yang dinyatakan oleh pengkaji sejarah Abdullah bin Asy-Syarif Husain dalam kitabnya berjudul Sidqul Akhbar Fi Khawarij Al-Qorni Thaniy ‘Asyar. Manakala pengkaji sejarah Wahhabi bernama Uthman Ibnu Basyir Al-Hambaly An-Najdy menyatakan kejadian tersebut berlaku pada tahun 1220H dalam kitabnya Tarikh Najad. Dalam kedua-dua kita sejarah tadi menceritakan kezaliman Wahhabi di tanah suci Mekah antaranya:

KEZALIMAN DILAKUKAN OLEH WAHHABI DI KOTA MEKAH
Pada bulan Muharram 1220H bersamaan 1805M Wahhabi di Mekah membunuh umat Islam yang menunaikan ibadah haji. Ibu-ibu penduduk kota Mekah dipaksa menjual harta hak milik masing-masing untuk menebus kembali anak-anak mereka yang masih kecil ditangkap oleh Wahhabi.
Penduduk Mekah kelaparan kerana keadaan begitu zalim dilakukan oleh Wahhabi sehingga kanak-kanak mati kelaparan berkelimpangan mayat-mayat mereka.
Pengkaji sejarah & merupakan golongan Wahhabi juga (Uthman An-Najdy) menyatakan bahawa Wahhabi menjual daging-daging keledai dan bangkai kepada penduduk Islam Mekah dengan harga yang tinggi dalam keadaan mereka kelaparan. Sungguh dihina umat Islam Mekah ketika itu.
Membongkar Fakta Sejarah Hitam Wahhabi Bertindak Membunuh Umat Islam. Imam Ibnu Asakir, Imam al-Khatib dan Imam al-Hafiz al-Mizzi meriwayatkan sebuah hadis yang berbunyi: “Apabila akhir umat ini melaknat (generasi) awalnya, maka hendaklah orang-orang yang mempunyai ilmu pada ketika itu menzahirkan ilmunya, sesungguhnya orang yang menyembunyikan ilmu pada waktu tersebut seumpama seseorang yang menyembunyikan apa yang telah diwahyukan kepada baginda Muhammad SAW!!!” Allahuma’amin. Allahu’alam.
Rujukan :

Kitab Kasyfu Al-Irtiyab

Kitab Sofahaat Min Tarikh Al-Jazirah Al-Arabiyah Al-Hadithah pada m/s 178

Kitab  Al-Awroq Al-Baghdadiyyah Fi Al-Hawadith An-Najdiyyah

Kitab  Inwan Al-Majdy Fi Tarikh Najad Juzuk 1 Mukasurat 135