Jumat, 29 Maret 2019

Doa dan Wirid Abah Guru Sekumpul

"Assalamualaikum Wr. Wb.

"Beberapa Wirid dan Amalan yang langsung dari Abah Guru Sekumpul(Syaikhona KH.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari).

1. Kata Abah Guru Sekumpul. Apabila membaca Do'a ini Insya Allah dipeliharakan diri dan terpelihara dari segala yang jahat dan segala masalah mudah diatasi.
Bacaannya....

اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ وَمِنْكَ الْفَرْجُ وَ اِلَيْكَ الْمُشْتَكَي وَ بِكَ الْمُسْتَعَان

"Allahumma Lakal Hamdu Waminkal Farju Wa ilaykal Musytaka Wabikal Musta'an".
Dibaca 33x Pagi dan Sore

2. Kata Abah Guru Sekumpul. Wirid sesudah Shalat Shubuh yang Fadhilatnya adalah untuk mudah Hafal,kuat ingatan dan terang Hati(Dipeliharakan Diri dan Harta)."
Bacaannya Adalah....

×يَا قَيُّوْم فَلَا يَفُوُتُ شَيْءٌ مِنْ عِلْمِهِ وَلَايَئُودُهُ  -->  ٢٧

"Yaa Qoyyum Falaa Yafuwtu Syai'un Min 'Ilmihi Walaa Ya'uduh" ---> Dibaca 27x Apabila beserta orang banyak. Dan apabila membacanya sendirian cukup 16x saja.

3. Kata Abah Guru Sekumpul. Wirid Sesudah Shalat Shubuh yang Fhadilatnya adalah supaya dapat manfaat yang tidak terhitung banyaknya Didunia dan Akhirat. Tercapai urusan Dunia dan Akhirat.
Bacaannya Adalah....


  يَا مُبْدِءَ الْبَدَا ءِـعِ لَمْ يَبْغِ فِيْ اِنْشَا ءِـهَا عَوْنًا مِنْ خَلْقِهٖ   ---> ٩٩×

"Yaa Mubdi_al Badaa_i'i Lam Yabghi Fiy Insyaa_ihaa 'Aunan Min Kholqih"---> Dibaca 99x.

4. Kata Abah Guru Sekumpul. Amalan untuk Isteri kita yang mana sering keguguran. Jadi supaya tidak keguguran lagi suruh Isteri kita Membaca....

يَا مُبْدِيْ  --->  ×٢٩

"Yaa Mubdiy"---> Dibaca Sebanyak 29x Sehari Semalam.
Dan Jika Dibaca 1000x Sehari Semalam Maka Fadhilatnya adalah untuk menghilangkan bingung. Bingung dalam memilih.

5. Kata Abah Guru Sekumpul. Barang siapa yang melazimi membaca Do'a ini Insya Allah Bertemu Rasulullah SAW Dalam Keadaan Yaqozatan atau Mimpi.
Bacaannya.....

يَا النُّوْر يَا مُدَبِّرَ الْاُمُوْر

"Yannuur Yaa Mudabbiral Umur"--->Dibaca 100x Sebelum tidur setiap malam.

6. Kata Abah Guru Sekumpul. Amalkan Shalawat Qotadah yang Fadhilatnya Insya Allah Mata kita selalu terang sampai Akhir Umur dan Tidak terkena penyakit Mata.
Bacaannya....

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰي مَنْ عَلٰي كَفَّيْهِ عَيْنُ قَتَادَةَ   --->   ×١٠

"Allahumma Sholli 'Alaa Man 'Alaa Kaffayhi 'Ainu Qotaadah".
Dibaca 10x Setiap Pagi.
Caranya Angkat kedua ibu jari hanya kedua ibu jari didepan Mulut sambil membaca Shalawat itu. Setelah dibaca 10x Maka tiupkan di kedua ibu jari tadi kemudian kedua ibu jari tadi usapkan kedua Mata.

Inilah beberapa Amalan dan Wirid yang langsung dari Abah Guru DiSekumpul.
Dan Beliau berpesan jangan ditinggal Wirid sesudah Shalat Shubuh itu kalau kita tidak dalam keadaan Sakit.
Mudah mudahan kita bisa Mengamalkannya...

Mudah mudahan kita semua diampuni Dosa Dzohir Bathin seumur hidup,Qobul segala Hajat selamat Dunia Akhirat,Husnul Khatimah 'Indal Maut,Masuk Surga Bighoiri Hisaab,terkumpul didalam Surga Bersama Rasulullah SAW,Para Waliyullah dan Orang-orang Sholeh...
Berkat Rasulullah SAW
Berkat Datu Kalampayan
Berkat Guru Bangil
Berkat Guru Semman Mulya
Wabil Khusus Berkat Abah Guru Sekumpul. Aamiin Ya Allah...

KH.Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari. (Abah Guru Sekumpul).

Kenapa Para Sahabat Tidak Meributkan Ayat-Ayat Mutasyabihat?

Banyak yang tergelincir ketika membicarakan ayat-ayat mutasyabihat, karena ketika membicarakan ayat-ayat mutasyabihat, karena apa?

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
بِسۡـــــــــمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِـــــــيم
ٍ
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْن
           
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَّمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا ءَاتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
  
سسوڠڬوهڽ اڤابيلا اكو مناصيحتي كامو، بوكنله برارتي اكوله يڠ ترباءيق دالم كالڠن كامو، بوكن جوڬ يڠ ڤاليڠ صالح دالم كالڠن كامو، كران اكو جوڬ ڤرنه ملمڤاوءي باتس اونتوق ديري سنديري.
سأندايڽ سساورڠ ايت هاڽ داڤت منيمڤأيكن دعوة اڤابيلا دي سمڤورنا، نسچاي تيدق اكن اد ڤندعوه، مك اكن جادي سديكيتله اورڠ يڠ ممبري ڤريڠاتن
Oleh.  
المتواضع الأستاذ محمد نجيب

Karena memang ayat ini diturunkan untuk menguji dan membedakan antara ahlul haq dengan ahlul bathil, antara ahlul makrifat dengan ahlul syahwat. Itulah fungsi alquran sebagai pembeda (al-furqan). Kalau kelezatan duniawiyah yang juga merupakan ayat-ayat Allah telah banyak  menguji ahlu dunya yang nafsunya dipenuhi dengan syahwat, maka ayat-ayat mutasyabihat akan menguji ahlul qur'an yang  hatinya dipenuhi dengan syubhat.

فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

"Maka adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecondongan pada kesesatan maka mereka akan mengikuti kemutsyabihatannya (kesamaran) karena mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwilnya." (Ali-Imran:7)

Ayat mutasyabihat adalah lawan daripada ayat muhkamat. Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas makna dan dilalahnya, tidak ada kesamaran sedikitpun bagi tiap-tiap orang yang membacanya. Seperti ayat:

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ

"Dan Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Satu tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." (albaqarah: 163)

Adapun ayat mutasyabihat adalah ayat yang samar makna dan dilalahnya bagi kebanyakan orang atau bagi sebagian orang. Seperti:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

"Maka kemanapun kamu menghadap di situlah kamu mendapati wajah Allah"(Al-Baqarah: 115)

Maka ayat muhkamat disebut dengan ummul quran karena berfungsi sebagai induk, yaitu asal dan tempat kembali ketika terjadi kesamaran, juga karena dengan ayat-ayat muhkamat yang jelaslah umat Islam berpijak dan berpedoman untuk membangun dasar-dasar aqidahnya, bukan dengan ayat-ayat mutasyabihat yang samar. Kesamaran itu muncul karena ada sesuatu yang lain yang menyerupai.  Seperti ketika terjadi kesamaran dalam menafsirkan ayat:

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ

"Allah berkata: Wahai Iblis apa yang menghalangi kamu untuk sujud kepada apa yang telah aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?"( shad: 71)

Apakah ditafsirkan tangan Allah secara hakiki atau majazi? Kalau kita artikan tangan secara hakiki, maka akan ada kesamaran antara Allah bertangan seperti halnya  makhluk bertangan. Nah orang-orang yang di hatinya ada kecondongan pada kesesatan (gemar mengikuti makna-makna yang rancu) akan memilih untuk mengikuti makna samarnya (tasyabaha) daripada menyerahkan tafsir ayat itu kepada Allah atau menafsirkan dengan tafsiran yang layak bagi Allah, ini hanya bisa dicapai dengan takwil yang shohih. Maka mereka yang mengikuti kesamaran ayat-ayat mutasyabihat inilah yang disebut Allah dengan:.

فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ

"Maka mereka mengikuti kemutasyabihatannya (kesamarannya)" (Ali Imran: 7)

Gak tahu tujuannya apa? Kok gemar sekali terhadap hal-hal yang pelik, sebab terus berkutat pada ketidakjelasan makna di dalam kesamaran dua hal adalah sesuatu hal yang rumit. Tabiat manusia yang sehat tentu akan merasa selesa dan ingin rehat untuk keluar dari kondisi seperti ini. Cobalah anda bayangkan, tenangkah jiwa anda jika anda harus mengartikan ayat tersebut dengan tangan Allah, tetapi di saat yang bersamaan anda takut menyamakannya dengan tangan makhluk hingga kemudian anda memaksakan diri untuk menambahkan kalimat "tidak sama dengan tangan makhluk"?. Sementara di otak anda yang punya tangan itu hanya makhluk.  Jadi anda ingin mengatakan tangan tapi sebenarnya bukan tangan. Suatu hal yang membingungkan. Inilah yang disebut dengan takwil yang khothi' . Takwil yang tidak sesuai dengan kehendak Allah karena takwil yang tidak layak bagi Allah. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah::

ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

"…karena mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwilnya" (Ali Imran: 7)

Yaitu berusaha memalingkan makna dari makna yang dikehendaki Allah kepada makna yang tidak dikehendaki Allah, maksudnya memalingkan makna yang layak bagi Allah kepada makna yang tidak layak bagi Allah. Tentu saja ini akan menimbulkan fitnah besar, yaitu menjebak orang ke dalam penyamaan Allah terhadap makhluk (tasybih).

Orang-orang yang hatinya bersih dari kecondongan terhadap kesesatan tentu akan mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat: Di sinilah saatnya kita menerapkan ayat-ayat muhkamat itu sebagai ummul qur'an. Maka kasus di atas harus kita kembalikan kepada ayat muhkamat berikut:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

"Tidak  serupa dengan-Nya segala sesuatu dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat" (Asy-Syura: 11)

Mafhum dari ayat Asy-Syura di atas adalah Allah tidak sama dengan apapun dalam bentuk apapun, termasuk Allah tidak bersusun (at-tarkib) atau berbahagi-bahagi atas anggota tubuh (al-juzu') karena ini adalah sifat makhluk. Maka haruslah kita berpindah dari ayat yang mafhumnya mengatakan Allah  bertarkib dan berjuzu' kepada ayat yang mafhumnya mengatakan Allah tidak bertarkib dan berjuzu'. Apakah kita akan meninggalkan ayat Shad di atas? Tentu tidak, jika kita tinggalkan secara total demi untuk menafikan sifat tarkib & juzu' daripada Allah maka kita akan terjatuh ke dalam jurang ta'thilnya orang-orang mu'athilah yang membuang sifat-sifat Allah. Dan sebaliknya jangan pula demi terlalunya untuk mengitsbatkan sifat Allah maka kita terjebak dalam perangkap tasybihnya orang-orang mujassimah. Tapi jalan yang paling baik adalah di tengah-tengah (khoirul umur aushothuha), yaitu kita  tidak menafikan sifat-sifat Allah dan tidak pula mengitsbat secara ghuluw sifat-sifat Allah hingga menyerupakan-Nya kepada makhluk, dengan kata lain kita mengitsbatkan sifat-sifat Allah sebagaimana Allah telah menyifati diri-Nya tetapi dengan catatan: sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan layak bagi Allah, artinya kita menempatkan ayat-ayat sifat sebagaimana mestinya dan layaknya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah manhaj yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, tidak menta'thil sebagaimana kaum mu'athilah dan tidak mentasybih sebagaimana kaum mujassimah.

Untuk menerapkan manhaj ahlus sunnah tersebut, salaf daripada sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in radhiyallahu anhum  mempunyai dua metode dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat:

Pertama, mayoritas salaf lebih memilih untuk menyerahkan maknanya kepada Allah Ta'ala , inilah yang disebut dengan tafwidh karena:

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ

"Tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah" (Ali Imran:7)

Kenapa takwil, bukan makna? Karena maksud takwil di situ adalah makna, yaitu makna yang layak bagi Allah (tentulah ini hanya Allah saja yang tahu).

Kedua, golongan salaf yang lebih memilih untuk menafsirkan . Walaupun Allah saja yang tahu, namun tidak tertutup peluang Allah memberitahukannya kepada hamba-hamba-Nya. Sebagaimana di antara mereka ada yang tajam bashirohnya, bersih fitrahnya, cerdas akalnya, baligh lughahnya dan kuat mujahadahnya hingga Allah memberikan mereka kemampuan untuk menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan pertolongan dan nur makrifat yang dibagikan faham oleh Allah.

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

"Dan tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya" (Ali Imran: 7)

Orang-orang yang rusukh ilmunya mampu tahu akan makna ayat-ayat mutasyabihat karena  Allah memberi petunjuk kepada mereka untuk memahami makna yang layak bagi Allah, memahami makna yang dikehendaki Allah. Mereka diberi petunjuk oleh Allah untuk mentela'ah takwilnya, bukan mencari makna zhohirnya, sebab Allah tahu jika yang dicari  adalah makna zhohirnya maka akan menyebabkan manusia jatuh kepada perangkap tasybih. Itulah sebabnya kenapa ayat menggunakan lafazh takwil, bukan tafsir, bukan:

وَمَا يَعْلَمُ تَفسيرهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ

"Dan tidak ada yang tahu tafsirnya kecuali Allah dan orang-orang yang rusukh ilmunya..."

Sebab tafsir belum tentu takwil tetapi takwil sudah pasti bagian daripada tafsir. Kalau alquran menggunakan lafazh tafsir maka akan terbuka peluang bagi manusia untuk mengartikan ayat-ayat mutasyabihat secara zhohir,  itulah sebabnya kenapa alquran mengkhususkan menggunakan lafazh takwil; untuk menutup peluang kepada manusia daripada mencari arti ayat mustasyabihat  secara zhohir. Maka penggunaan lafazh takwil pada ayat tersebut adalah sudah merupakan isyarat langsung  dari Allah kepada orang-orang yang rusukh ilmunya untuk mencari takwilnya, bukan mencari tafsirnya secara umum yang mencakup makna zhohir. Itulah sebabnya takwil juga merupakan bagian daripada tafsir untuk memilah dan memilih makna yang sebenar daripada lafazh-lafazh yang udzur diartikan secara zhohir. Ini telah maklum dalam ilmu tafsir.

Namun kedua-dua golongan di atas bersepakat untuk mengimani ayat-ayat mutasyabihat, artinya meyakini dan memahami kandungan makna yang ada pada ayat-ayat tersebut sebagaimana yang Allah kehendaki sebagai Pemilik ayat.

يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا

"…mereka berkata kami beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat; semuanya itu adalah dari Tuhan kita" (Ali Imran:7)

"Semuanya itu adalah dari Tuhan kita" adalah ta'bir (ungkapan) bahwa kita memahaminya sebagaimana yang Allah pahami dan kehendaki.  Nah di sinilah repotnya,  bagaimana 'pemahaman' dan kehendak Allah itu? Apakah bisa kita memahami sebagaimana yang dipahami dan diinginkan Allah? Jawabannya tentu saja bisa, sebab tidak ada yang mustahil bagi Allah untuk membagikan faham kepada siapa-siapa yang dikehendaki-Nya. Kemudian orang-orang yang sudah dibagikan faham tersebut juga memberitahukannya kepada murid-muridnya dan murid-muridnya ini memberitahukan kepada yang lainnya dan begitu seterusnya. Dan tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah orang pertama yang diberikan faham tentang tafsir ayat-ayat mutasyabihat dan tidak tertutup kemungkinan Rasulullah juga memberitahukannya kepada para sahabatnya, di antaranya adalah Ibnu Abbas radhiyallahu anhu. Ibnu Abbas adalah sahabat yang terkenal keahliannya dalam tafsir dan takwil. Ibnu Abbas lah yang telah yang mentakwil ayat Allah:

ويبقى وجه ربك (dan kekallah wajah Tuhanmu: Ar-Rahman:27) kepada ويبقى الله (kekallah Allah)

Wajah Allah ditakwilkan kepada Allah. Inilah takwilan yang benar, yaitu takwilan yang sesuai dan layak bagi Allah. Kalau seandainya wajah di situ kita takwilkan dengan muka Allah, maka ini adalah takwil yang fasid, inilah takwil yang diharamkan itu,, takwil yang tidak layak bagi Allah,  kenapa ada takwil yang layak bagi Allah tapi justru kita berpindah kepada takwil yang tidak layak bagi Allah?! Pentakwilan yang rusak seperti ini disebabkan:

ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

"Mencari-cari fitnah dengan mencari-cari takwil"(Ali Imran: 7)

Cobalah toh jika kita memaksakan diri untuk mengartikannya kepada muka Allah, maka kaki Allah akan hancur, tangan Allah akan hancur, betis Allah akan hancur dan semuanya akan hancur kecuali muka-Nya, karena Allah berfirman:

كل شئ هالك إلا وجهه

"Segala sesuatunya akan hancur kecuali muka Allah" (Al-Qashash:88)

Ibnu Abbas telah menyelamatkan kekeliruan banyak orang daripada aqidah yang sesat dengan pentakwilan beliau yang shohih tersebut. Itulah sebabnya masih pada ayat yang sama kenapa Allah memberikan nilai plus dengan memuji hamba-hamba-Nya yang memiliki kemampuan seperti Ibnu Abbas dengan firman-Nya:

. وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

"Dan tidaklah mengambil pelajaran kecuali para ulul albab"(Ali Imran: 7)

Ulul albab itu adalah orang-orang yang hidup ilmu hatinya. Lalu kenapa sahabat-sahabat yang lainnya tidak terdengar dari mereka telah mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat dan memilih untuk diam, mengimani saja dan hingga kita katakan mereka menyerahkan maknanya kepada Allah. Apakah mereka tidak tahu maknanya? Eits…tunggu dulu, belum tentu diam, mereka tidak tahu, sebagaimana anda diam belum tentu anda tidak tahu. Ayat-ayat mutasyabihat ini adalah ayat-ayat yang penuh dengan rahasia Allah. Tidak mesti dipahami lewat akal dan diucapkan lewat lisan, namun hanya mampu dipahami lewat hati (al-qulub) dan berpindah dari hati ke hati. Mungkin ini yang menyebabkan mereka diam. Ditambah lagi memang di waktu itu belum ada sebab yang mendorong para sahabat untuk membeberkan makna ayat-ayat mutasyabihat. Toh mereka semua fitrahnya masih salim, lughahnya masih fashih dan akalnya masih baligh. Mereka faham betul setiap ayat yang diucapkan dari lisan Nabi Muhammad shallallahu alaih wa sallam yang suci dan menyerap betul ilmu yang dituangkan dari dada beliau yang thohur ke dalam dada-dada mereka yang thohir walaupun tanpa harus diungkapkan dan diobral maknanya lewat lisan..

So mustahillah ada ayat alquran yang tidak  dipahami oleh makhluk-Nya. Sebab alquran adalah kitab yang jelas ayat-ayatnya.

تِلْكَ آَيَاتُ الْكِتَابِ الْمُبِينِ

"Itulah kitab yang jelas ayat-ayatnya" (Al-Qashash: 2)

Jelas bagi orang-orang yang rusukh ilmunya, bagi orang-orang yang diberikan faham, bagi orang-orang yang shofa' qulubnya, yang senantiasa hadhir dalam hadhrah nubuwwah, tiada hijab antara hatinya dengan syuhud robbaniyah hingga waridat-waridat ilahiyah Ta'ala turun ke dalam hatinya, ulumul laduniyah menghiasi nuraninya dan mawahib laduniyah terus tercurah ke dalam ruhiyahnya, itulah di antaranya adalah kewudhuhan makna ayat-ayat muhkamat dan kezhuhuran makna ayat-ayat mutasyabihat yang terkadang tidak tertangkap oleh madarikul 'uqul. Itulah sebabnya Allah menyuruh kita untuk membacanya saja, adapun fahamannya nanti bahagian Allah yang bagi tahu.

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآَنَهُ (18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (19)

" Apabila Kami membacanya maka ikutilah bacaannya. Kemudian bahagian kamilah nanti yang akan berikan penjelasannya." (Al-Qiyamah: 18-19)

Adapun kita yang masih awam ini, jika  hati penuh syubhat dan nafsu penuh dengan syahwat dan khusumat. Jauh dari hadhrah ilahiyah dan nubuwwah, tak pernah mentazkiyah nafsiyah dengan mujahadah qalbiyah, bagaimanalah bisa mendapatkan mawarid-mawarid faham dari Allah dan madad nubuwwah dari Rasulullah shallallahi alaihi wa sallam. Jangankan ayat-ayat mutasyabihat, ayat-ayat yang muhkamat sajapun kita tak akan diberi faham. Sehingga seluruh ayat-ayat Allah tak ada yang kita faham.

MAKALAH AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

Al-Qur’an al-karim adalah wahyu ilahi yang diturunkan kepada penutup para nabi, Muhammad ibn Abdullah SAW, baik secara lapaz, makna, maupun gaya bahasa, yang ditulis dalam berbagai mushaf (kitab atau buku lengkap) dan diriwayatkan dirinya secara mutawatir.[1]
        Al-Qur’an merupakan sandaran Islam yang senantiasa dinamis dan mukjizat abadi, yang mampu mengalahkan dan senantiasa mengalahkan kekuatan manusia sepanjang sejarah kehidupan sejarah kehidupan umat manusia. Ia merupakan aturan Islam yang mencakup seluruh aspek dasar kehidupan umat manusia yang sesuai dengan fitrah manusia dan bersumber dari kedalaman hati nurani manusia.
        Al-Qur’an sendiri memiliki kewibawaan yang tak tertandingi jika dibandingkan dengan kewibawaan umat manusia. Ia sama sekali tidak tunduk terhadap kekuatan yang bathil, dan sebaliknya, mampu menjadikan mereka tunduk dan menerima kepemimpinan al-Qur’an yang adil dan bijaksana. Pada akhirnya, dengan mempelajari al-Qur’an, mereka dapat menerima al-Qur’an dengan rasa cinta, kerinduan, dan kesucian.[2] Menurut penulis al-Qur’an kitab suci satu-satunya yang dibaca orang banyak orang, baik yang mengerti  atau yang tidak mengerti akan maknanya, karena dari al-Qur’an terlahir banyak cabang disiplin ilmu yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah, maka dengan adanya makalah sederhana ini mudah-mudahan bisa lebih menambah khazanah dan wawasan kita dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Dalam pembuatan makalah ini juga penulis tidak mencantumkan jumlah dan bilangan ayat muhkam serta mutasyabihat menurut pendapat ulama dikarenakan kurangnya referensi yang kami miliki dan juga tidak adanya kesepakatan para ulama dalam menentukan jumlah bilangan ayat muhkam dan mutasyabihat.

A.    Pengertian ayat muhkam dan mutasyabihat
Menurut etimologi muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah (ma ahkam al-murad bih ‘an al-tabdil wa al-taghyir) adapun mutasyabih adalah ungkapan yang maksud dan maknanya samar (ma khafiya bi nafs al-lafzh).[3]
Sedangkan menurut pengertian terminology, muhkam dan mutasyabih diungkapkan para ulama, seperti: ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara gamblang, baik melalui takwil (metapora) atau tidak.[4] Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dapat diketahui Allah SWT, seperti saat kedatangan hari kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf muqththa’ah.[5]
Muhkam menurut bahasa mempunyai arti yang banyak, seperti kekukuhan, keserupaan, keseksamaan dan keserupaan. Namun, meskipun demikian dapat dikembalikan kepada satu arti saja, yaitu alman’u  (pencegahan). Adapun mutasyabihat menurut pengertian bahasa biasanya dipergunakan untuk sesuatu yang menunjukan kepada kesamaan di dalam keserupaan dan keraguan yang pada galibnya membawa kepada kesamaran,[6]
Muhkam ayat yang mengandung penakwilannya hanya mengandung satu makna, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung pengertian bermacam-macam.[7] Muhkam adalah ayat yang maknanya rasional, artinya dengan akal manusia saja pengertian ayat itu dapat ditangkap. Tetapi ayat-ayat mutasyabih mengandung pengertian yang tidak dapat dirasionalkan. Misalnya bilangan rakaat di dalam sholat lima waktu. Muhkam adalah ayat yang nasikh dan padanya mengandung pesan pernyataan halal, haram, hudud, faraidh dan semua yang wajib di amalkan. Adapun mutasyabih yaitu ayat yang padanya terdapat mansukh, dan qasam serta yang wajib di imani tetapi tidak wajib diamalkan lantaran tidak tertangkapnya makna yang dimaksud.[8]
Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya.[9]
Muhkam ialah ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi  (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah SWT mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat. Pendapat ini di bangsakan Al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.[10]
Al-Qur’an seluruhnya muhkamah, jika yang dimaksud dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafal al-Qur’an dan keindahan Nazmnya. Sungguh sangat sempurna tidak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya.[11] Dengan pengertian inilah Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayat-Nya (Q.s. Hud: 11:1).
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu” (Q.s Hud [11]:1)[12]

Adapun tafsiran ayat tersebut adalah: Inilah, suatu kitab yang agung tuntunannya dan yang ayat-ayatnya di susun dengan rapi oleh Allah SWT, tanpa campur tangan makhluk, kemudian  setelah keistimewaannya yang demikian agung dalam kedudukannya sebagai suatu kitab yang utuh, ia bertambah istimewa lagi karena ayat-ayatnya  di jelaskan secara terperinci juga oleh Allah SWT dan oleh Rasul-Nya yang sejak semula diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu kepadamu, wahai Muhammad, kami menurunkannya demikian itu agar kamu semua, wahai manusia dan jin, tidak menyembuhkan selain Allah.[13]  Setelah menjelaskan keistimewaan al-Qur’an dijelaskannya fungsi Nabi Muhammad, yang menerima dan menyampaikannya, yakni sesungguhnya aku khusus terhadap kamu semua, wahai manusia dan jin, diutus dari-Nya yakni dari Allah SWT, bukan atas kehendakku adalah pemberi peringatan sempurna bagi yang durhaka dan pembawa kabar gembira yang mencapai puncaknya bagi yang taat.[14] Kita juga dapat mengatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah mutasyabihat, jika kehendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan I’jaz dan kesulitan kita memperhatikan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain.[15] Dengan pengertian inilah Allah AWT menurunkan al-Qur’an seperti yang ditandaskan dengan firman-Nya, (Q.s. Al-Zumar [23]: 39)
Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (Q.s. Az-Zumar [39]: 23).[16]

Di dalam tafsir Al-Maragi diterangkan mengenai ayat di atas” Allah menurunkan perkataan yang terbaik yaitu Al-Qur’an-karim yang sebagiannya menyerupai sebagian yang lain dalam kebenarannya dan hikmat, juga sebagaimana bagian-bagian dari air dan udara saling menyerupai sesamanya, juga sebagaimana bagian-bagian dari tumbuh-tumbuhan dan bunga saling menyerupai sesamanya. Bagian-bagian dari al-Qur’an itu di ulang-ulang kisah-kisahnya, berita-beritanya, perintah-perintahnya, larangan-larangannya, janji dan ancamannya.[17] Apabila dibaca ayat-ayat azab dari al-Qur’an, maka kulit menjadi gemetar dan hati menjadi takut. Sedang apabila dibaca rahmat dan janji, maka kulit menjadi lunak sedang hati menjadi tenang; jiwa menjadi tentram. As-Sajad berkata: Apabila ayat-ayat disebutkan, maka gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Dengan kitab itulah Allah SWT memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, memberi taufik dan beriman. Dan barang siapa yang di hinakan oleh Allah SWT sehingga ia tidak beriman kepada al-Qur’an dan tidak membenarkannya, maka tak ada orang yang dapat mengeluarkan dia dari kesesatan dan tak ada yang dapat memberi taufik kepadanya untuk menempuh jalan yang benar. Kemudian Allah SWT menyebutkan alasan dari hal tersebut, yaitu perbedaan orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang sesat.[18]
Dalam bukunya Ahmad Von Denffer mengatakan kata ahkam  (tunggal, hukum) berasal dari kata hakama, yang berarti memutuskan diantara dua masalah. Apabila kata tersebut dalam bentuk jamak, maka artinya adalah penilaian, keputusan, dan lebih praktis lagi adalah mengambil keputusan dengan merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan hukum yang mengatur, dan juga termasuk menentukan kebenaran dan kekeliruan. Inilah yang disebut ahkam umum. Mutasyabihat (tunggal, mutasyabihat) berasal dari kata syubiha yang artinya meragukan. Dalam verbal noun berbentuk jamak artinya tidak tentu, atau hal yang meragukan. Dalam pengertian praktis, adalah ayat-ayat al-Qur’an yang artinya tidak jelas, atau belum sepenuhnya.[19]
Muhkam menurut bahasa terambil dari ahkamutud debaaah wa ahkamad, artinya melarang. Hukum yaitu pemisah antara dua hal. Hakim melarang orang dzolim dan memisah dua orang yang bermusuhan. Membedakan yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang dusta. Mutasyabuh menurut bahasa terambil dari tasyabih, yaitu yang satu diserupakan dengan yang satu lagi. Sabhatu artinya tidak berbeda yang satu dan yang satu lagi.[20]
Pendapat Ragihib Isfahani mengatakan bahwa mutasyabih adalah ayat yang sulit ditafsirkan karena adanya kesamaran dengan yang lain, baik dari sisi lafazh seperti al-yadd, al-‘ayn dan lain-lain.[21] Mutasyabih dari segi makna adalah seperti sifat-sifat Allah SWT dan sifat-sifat hari kiamat, sebab sifat-sifat tersebut tidak bisa kita vaktualisasikan karena tidak tergambar di dalam jiwa dan bukan genus sehingga kita bisa merasakannya.[22]
Pendapat Asham, muhkam adalah ayat yang dalilnya jelas, seperti dalil-dalil tentang keesaan, kekuasaan, dan hikmah sementara mutasyabih adalah ayat yang membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.[23]
Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya walaupun tanpa dijelaskan dengan ayat-ayat yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat adalah ayat yang masih memerlukan penjelasan dari ayat yang lain karena masih samar-samar.

B.     Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat
1.      Madzab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT sendiri. Mereka menyucikan Allah SWT dari pengertian-pengertian lahir yang musahil Qur’an. diantara ulama yang masuk dalam kelompok ini adalah Imam Malik bagi Allah SWT dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an ketika ditanya tentang istiwa; ia menjawab:  Istiwa itu maklum, sedangkan caranya diketahui, dan mempelajarinya bid’ah. Aku kira engkau adalah orang yang tidak baik. Keluarkanlah ia dari tempatku.
Ibn Ash-Shalah menjelaskan bahwa mazhab salaf ini dianut oleh generasi dan pemuka umat Islam pertama. Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka fiqih. Kepada mazhab ini pulalah, para imam dan pemuka Hadis mengajak para pengikutnya. Tidak ada seorang pun di antara para teolog dari kalangan kami yang menolak mazhab ini.[24]
2.      Mazhab khalaf,  yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Allah SWT sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah SWT. Imam Al-Haramain (w.478 H) pada mulanya termasuk mazhab ini, tetapi kemudian menarik diri darinya. Dalam  Ar- Risalah An-Nizamiyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti mazhab salaf sebab mereka yang memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih. Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibn Daqiq Al-Id mengatakan bahwa apabila penakwilan yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabih dikenal oleh lisan Arab, penakwilan itu tidak perlu di ingkari. Jika dikenal oleh lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawqquf  (tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya) dan mengimani maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka mensucikan Allah SWT. Namun, bila arti lahir ayat-ayat itu dapat di pahami melalui percakapan orang Arab, kita tidak perlu mengambil sikap tawqquf.
Ibn Quthaibah (w.276 H ) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan. Pertama, makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang di akui oleh mereka yang memiliki otoritas. Kedua, arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab yang klasik, syarat yang dikemukakan ini lebih longgar dari pada syarat kelompok Azh-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.[25]

C.    Hikmah Keberadaaan Ayat Mutasyabih Dalam al- Qur’an
Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an dan  ketidak mampuan akal untuk mengetahuinya adalah sebagai berikut:
1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah SWT memberikan cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal merupakan anggota badan paling mulia itu tidak di uji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.[26]
Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah SWT karena kesadarannya akan ketidak mampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.[27] Menurut penulis disini keimanan kita di uji apakah kita percaya atau tidak terhadap ayat-ayat mutasyabih, karena ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang memang masih samar-samar sehingga keimanan kita di uji kembali. Jika seluruh ayat al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka sirnalah ujian keimanan dan amal perbuatan lantaran pengertian ayat-ayat yang jelas dan sebaliknya orang yang tidak tahan uji terhadap cobaan maka mereka akan ingkar terhadap ayat-ayat mutasyabihat.
2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
Sebagai cercaan terhadap orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata” rabbanaa la tuzigh quluubana. [28]Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu laduni. menurut penulis disini Allah memberikan pujian bagi orang yang beriman karena keimanannya dan memberikan petunjuk-Nya. Sementara bagi orang kafir yang suka mengotak-atik ayat-ayat al-Qur’an Allah SWT akan tambah menyesatkan mereka. Adanya ayat muhkam memudahkan manusia mengetahui maksud ayat tersebut dan menghayati untuk diamalkan dalam kehidupan. Disisi lain, adanya mutasyabihat memotivasi manusia untuk senantiasa menggunakan dalil akal di samping dalil naqal.
Allah SWT sengaja menjadikan al-qur’an yang muhkam dan mutasyauh sebagai ajang uji coba atas keimanan hamba-hamba-Nya. Orang yang benar keimanannaya sadr bahwa al-qur’an seluruhnya dari sisi Allah SWT dan segala yang datang dari Allah SWT adalah haq dan tidak tercampur dengan kebathilan atau hal yang bertentangan.
3.      Memberikan pemahaman absrak ilmiah kepada manusia melalui  pemahaman  inderawi yang biasa disaksikannya.
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran inderawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah SWT, sengaja Allah SWT  memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, bahwa dirinya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan[29]. Menurut penulis adanya muhkam dan mutasyabihat sebagai bukti kejelasan al-Qur’an yang memiliki mutu tinggi nilai sasteranya, agar manusia meyakini bahwa itu bukan produk Muhammad SAW, tetapi produk Allah SWT, agar mereka melaksanakan isinya. Kenapa Allah SWT memberikan penggambaran diri-Nya? Hal itu dikarenakan agar manusia dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang Allah SWT. Kita bisa mengambil sebuah contoh dalam al-qur’an di katakana” yadullah fauqa aidihim” yang artinya tangan Allah SWT di atas tangan mereka. Dalam memahami ayat tersebut kita tidak bisa memahami secara tekstual tetapi harus di pahami secara tafsiri, tangan disana kita artikan sebagai kekuasaan, sehingga artinya “ kekuasaan Allah SWT di atas kekuasaan mereka.

     KESIMPULAN
               Muhkam menurut terminologi artinya suatu ungkapan yang maksud dan makna ungkapan lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah.  Sedangkan mutasyabihat adalah ungkapan yang makna lahirnya masih samar. Seperti yang penulis ungkapan pada pengertian muhkam dan mutasyabihat pada pembahasan bab pertama tadi, artinya penulis sepakat bahwa yang dimaksud dengan muhkam adalah sebuah ayat yang maksudnya sudah dapat dipahami tanpa penafsiran lebih detil, sementara yang dimaksud dengan mutasyabihat adalah ayat yang masih samar-samar dan perlu penjelasan lebih detil supaya dalam memahami ayat lebih mudah.
              Adapun pendapat ulama mengenai ayat muhkam tidak ditemukan perbedaan yang sangat mendasar, sementara dalam memahami ayat mutasyabihat para ulama sepakat bahwa dalam memahami ayat tersebut membutuhkan perenungan dan pemikiran untuk menjelaskannya.
              Diantara hikmah keberadaan ayat muhkam dan mutasyabihat dalam al-Qur’an, adalah:
a.       Memperlihatkan kelemahan akal manusia.
b.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak atik ayat mutasyabih.
c.       Memberikan pemahaman abstrak ilmiah kepada manusia melalui pemahaman inderawi yang biasa disaksikannya.

〰♾🌼 *Makna Hadits: خَلَقَ اللهُ تَعَالَى ءَادَمَ (عليه الصلاة والسلام) *عَلَى صُوْرَتِهِ 🌼♾〰

_*Tentang Hadits-Hadits Yang Oleh Kaum Musyabbihah Disebut Sebagai Hadits-Hadits Sifat, Takwil Mereka Dan Takwil Kita Terhadap Hadits-Hadits Tersebut*_

Ketahuilah bahwa dalam hadits-hadits itu terdapat rincian-rincian pemaknaan dan pemahaman-pemahaman yang dapat mengecohkan; yang hal tersebut hanya dapat diketahui oleh para ulama yang benar-benar paham, baik dalam periwayatan hadits-hadits tersebut maupun dalam mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya. [Oleh karena itu meriwayatkan hadits dan mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya adalah tugas para ulama ahlinya, bukan bebas bisa diemban oleh siapapun].

*Hadits Pertama:*

Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab Sahih masing-masing; dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

*خَلَقَ اللهُ تَعَالَى ءَادَمَ (عليه الصلاة والسلام) عَلَى صُوْرَتِهِ*

*[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ~_”Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk-Nya”_~. Makna literal ini seakan menetapkan bahwa Allah memiliki bentuk].*

Pemahaman manusia dalam menyikapi hadits ini ada dua kelompok:

*Kelompok pertama;* tidak mempertanyakan tafsirannya [Artinya mereka mengimani hadits ini tanpa meyakini bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran], sementara kelompok ke dua mempertanyakan maksud dan tujuannya.

*Kelompok ke dua* ini mempermasalahkan kata ganti (Dlamîr); yaitu huruf Hâ’ pada redaksi “صورته”, kembali ke manakah dlamîr tersebut? Ada tiga pendapat:

*1. Kata ganti tersebut kembali kepada manusia yang ada dalam konteks hadits tersebut.* Karena konteks hadits tersebut menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah lewat  di hadapan seorang yang tengah memukul wajah temannya. Orang yang memukul tersebut berkata kepada orang yang dipukul: _“Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”_. Kemudian Rasulullah bersabda: _*“Jika seorang dari kalian memukul saudaranya maka hindarilah untuk memukul wajah karena sesungguhnya Allah telah menciptakan Nabi Adam di atas (seperti) bentuknya”*_.

Dalam hadits ini disebutkan Nabi Adam secara khusus adalah karena beliau manusia pertama dengan bentuk wajah (dan fisik) yang kemudian “diwarisi” turun-temurun oleh semua orang sesudahnya.* Dalam hadits itu Rasulullah seakan berkata: _*“Engkau telah menghinakan wajah Nabi Adam padahal engkau berasal dari keturunannya”*_, dengan demikian uangkapan Rasulullah ini sebagai peringatan yang sangat kuat dan mendalam. Kesimpulannya, dalam pendapat pertama ini, kata ganti (dlamîr) dalam redaksi hadits di atas kembali kepada orang yang berada dalam konteks hadits tersebut.

Adalah pemahaman yang sangat buruk jika dipahami bahwa dlamîr dalam hadits di atas kembali kepada Allah [seperti pemahaman kaum Musyabbihah yang menyimpulkannya bahwa Allah memiliki bentuk], karena dalam konteks tersebut bahwa orang yang memukul berkata: _*“Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”*_; dengan demikian jika dipahami bahwa dlamîr dalam hadits tersebut kembali kepada Allah maka berarti dalam pemahaman yang rusak ini ~Allah berwajah jelek~, [di samping kesesatannya menetapkan anggota wajah bagi Allah].

Adapun redaksi Imam Muslim tentang riwayat ini adalah; Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

إذَا قَاتَلَ أحَدُكُمْ فَلْيَجْتَنب اْلوَجْهَ فَإنّ اللهَ تَعَالَى خَلقَ ءَادم عَلى صُوْرَتِه

*2. Bahwa dlamîr “Ha” pada kata “صورته” untuk mengungkapkan dua nama yang nyata sebagai makhluk yang memiliki bentuk (shûrah).* Oleh karenanya tidak benar jika dimaksudkan dengan dlamîr tersebut adalah Allah, karena telah tetap dalil bahwa Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dengan demikian yang dimaksud “صورة” dalam hadits tersebut adalah kembali kepada Nabi Adam. Maka makna hadits tersebut adalah: _“Sesungguhnya Allah telah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk (shûrah) sempurna seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya pada diri Nabi Adam tersebut, tidak melalui proses; dari air mani, lalu segumpal darah (‘Alaqah), dan lalu segumpal daging (Mudlghah), artinya penciptaannya itu bukan lewat proses seperti pada penciptaan anak cucunya”_. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Sulaiman al-Khathabi, juga telah disebutkan oleh Imam Tsa’labah dalam kitab al-Amâlî.

*3. Bahwa dlamir “Ha” pada kata “صورته” kembali kepada Allah.* Dalam makna ini terdapat dua pemahaman berikut;

*Pemahaman pertama:* dalam pengertian milik, artinya bahwa bentuk (shûrah) Nabi Adam tersebut adalah ciptaan dan milik Allah [sebagaimana seluruh alam ini adalah ciptaan Allah dan milik-Nya]. Dalam makna ini penyandaran kata shûrah kepada dlamir “Ha” (Allah) mengandung dua makna. *Pertama; penyandaran untuk tujuan memuliakan (Idlâfah at-Tasyrîf)*, contoh seperti ini dalam firman Allah:

وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطّائِفِيْنَ

Pengertian “بيتي” [yang secara literal bermakna “rumah-Ku”; yang dimaksud ka’bah] dalam ayat ini bukan artinya Allah berada di dalam ka’bah, tetapi dalam pengertian bahwa rumah tersebut (Ka’bah) adalah rumah yang dimuliakan oleh Allah (Bait Musyarraf Alâ Allâh).  *Kedua;* penyandaran untuk tujuan mengungkapkan bahwa Allah yang menciptakan bentuk Nabi Adam tersebut di mana bentuk tersebut tidak pernah ada sebelumnya.

*Pemahaman ke dua:* bahwa makna “الصورة” dalam hadits tersebut dalam pengertian “الصفة” (sifat). Dalam bahasa Arab jika dikatakan: “هذا صورة هذا الأمر” maka maknanya adalah “صفة الأمر” [arti perkataan tersebut; “Ini adalah gambaran (sifat) dari masalah itu”]. Dalam pemahaman ini maka makna hadits di atas adalah bahwa Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah [dari segi lafazhnya], seperti sifat hidup (al-Hayât), berilmu (al-‘Ilm), memiliki kemampuan (al-Qudrah), mendengar (as-Sama’), melihat (al-Bashar), dan berkehandak (al-Irâdah). [Artinya; sifat-sifat ini serupa dengan sifat-sifat Allah dari segi lafazh-nya saja, tentu dari segi makna berbeda, ini yang disebut dengan Ittifâq Bi al-Lafzh Dûna al-Ma’nâ]. Dengan sifat-sifat inilah Allah menjadikan Nabi Adam memiliki keistimewaan dibanding makhluk lainnya, bahkan diistimewakan di atas para Malaikat sehingga Allah memerintahkan mereka untuk sujud hormat [bukan sujud ibadah] kepadanya. Dengan demikian pemahaman kata “shûrah” di sini secara maknawi, bukan dalam pengertian fisik yang berarti bentuk, susunan, dan benda.

Sementara itu Abu Muhammad ibn Qutaybah memahami hadits ini dengan pemahaman yang sangat buruk, ia berkata: ~“Allah memiliki bentuk, dan bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk, dan Allah menciptakan Nabi Adam seperti bentuk-Nya tersebut”~.

Pemahamannya ini tidak logis dan sangat rancu, padahal ungkapan seperti itu sama saja dengan mengatakan bahwa ~_Allah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk seperti bentuk Allah_~. _Na’ûdzu billâh_.

Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim dalam memahami hadits ini berkata: _~“Kita katakan bahwa Allah memiliki bentuk yang tidak menyerupai segala bentuk, sebagaimana kita mengatakan Allah adalah Dzat yang tidak menyerupai segala dzat”~_

Ungkapan Abu Ya’la ini juga tidak logis dan sangat rancu. Sesungguhnya makna “الذات” secara bahasa adalah “الشىء” [artinya “sesuatu”], sementara makna “الصورة” dalam bahasa adalah bentuk, susunan, dan tataan yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunan tersebut. Perkataan [Ibnu Qutaybah dan Abu Ya’la]:

“...bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk” adalah kata-kata yang menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah bentuk”. Perkataan ini persis seperti ungkapan: “Allah adalah tubuh (jism) yang tidak menyerupai segala tubuh” [Jelas ungkapan yang kontradiktif]. Padahal tubuh (jism) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu yang tersusun dari dua benda (jawhar) atau lebih. Karena itu ungkapan: “...tubuh-Nya tidak menyerupai segala tubuh” jelas menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah tubuh”.

⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜

🎦📡 *Abou Fateh YouTube Channel* Kajian Tauhid Dan Fiqh Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah | Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.youtube.com/c/aboufateh

🌐🕌 *Pondok Pesantren Nurul Hikmah* Untuk Menghafal al-Qur'an Dan Kajian Ilmu Agama Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Asy'ariyyah Maturidiyyah Asuhan Dr. H. Kholilurrohman, MA | www.nurulhikmah.ponpes.id

📱 *Fb Page :* facebook.com/nurulhikmah.ponpes.id
📷 *Instagram :* instagram.com/nurulhikmah.ponpes.id
🖥 *Twitter :* twitter.com/ppnurulhikmah

⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜⚜

📌📌

❤ *ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH* ❤

❗ *APAPUN YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU TENTANG ALLAH, MAKA ALLAH TIDAK SEDEMIKIAN ITU*  ❗

Hidup Di Akhir Hayat

*KALAULAH SEMPAT ..?*
-----------------------------------

_(Ketika BJ Habibie berpidato diKairo, beliau berpesan "Saya diberikan kenikmatan oleh Allah ilmu technology sehingga saya bisa membuat pesawat terbang, tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama itu lebih manfaat untuk umat Islam. Kalo saya disuruh memilih antara keduanya maka saya akan memilih ilmu Agama.")_

Seorang laki-laki tua duduk di teras rumahnya......

Rumah yang besar, mewah dan megah...

Namun sepi penghuni... Istri sudah meninggal...

Tangan menggigil karena lemah... Penyakit menggerogoti sejak lama... duduk tak enak, berjalan pun tak nyaman... Untunglah seorang kerabat jauh mau tinggal bersama menemani beserta seorang pembantu...

Tiga anak, semuanya sukses... Berpendidikan tinggi sampai ke luar negeri... » Ada yang sekarang berkarir di luar negeri... » Ada yang bekerja di perusahaan asing dengan posisi tinggi... » dan ada pula yang jadi pengusaha ... Soal Ekonomi, saya angkat dua jempol » semuanya kaya raya...

Namun.... Saat tua seperti ini dia 'Merasa Hampa', ada 'Pilu Mendesak' disudut hatinya......

Tidur tak nyaman... » dia berjalan memandangi foto-foto masa lalunya ketika masih perkasa & enegik yang penuh kenangan... »

Foto laki-laki gagah dengan keluarganya berlatar belakang Great Wall, Eiffel Tower, Big Ben, Sydney Opera House dan berbagai belahan bumi lainnya yang telah dijelajahinya..

Diabadikan dengan foto dibingkai bagus yang tak mampu lagi dilihat karena 'Pandangannya Sudah Mengabur'.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Di rumahnya yang besar dia merasa kesepian, tiada suara anak, cucu, hanya detak jam dinding yang berbunyi teratur...

Punggungnya terasa sakit, sesekali air liurnya keluar dari mulutnya....

Dari sudut mata ada air yang menetes..

Rindu dikunjungi anak2nya...

Tapi semua anaknya sibuk dan tinggal jauh di kota atau negara lain...

Ingin pergi ke tempat ibadah namun badan tak mampu berjalan....

Sudah terlanjur melemah.... Begitu lama waktu ini bergerak, tatapannya hampa, jiwanya kosong, hanya gelisah yang menyeruak ... Sepanjang waktu ....

• Laki-laki renta itu, barangkali adalah Saya....

• Atau barangkali adalah Anda yang membaca tulisan ini suatu saat nanti......

• Hanya menunggu sesuatu yg tak pasti...

• Yang pasti hanyalah KEMATIAN.

» Rumah Besar tak mampu lagi menyenangkan hatinya...

» Anak Sukses tak mampu lagi menyejukkan rumah mewahnya yang ber AC...

» Cucu-cucu yang hanya seperti orang asing bila datang...

» Asset-asset produktif yang terus menghasilkan, entah untuk siapa .?

Kira-kira jika malaikat 'Datang Menjemput', akan seperti apakah kematiannya nanti

» Siapa yang akan memandikan ?
» Dimana akan dikuburkan ??

» Sempatkah anak kesayangan dan menjadi kebanggaannya datang mengurus jenazah dan menguburkan?

» Apa amal yang akan dibawa ke akhirat nanti?

» Rumah akan di tinggal, asset juga akan di tinggal pula...

• Anak-anak entah apakah akan ingat berdoa untuk kita atau tidak ???

• Sedang ibadah mereka sendiri saja belum tentu dikerjakan ???

• Apa lagi jika dulu anak tak sempat dididik sesuai tuntunan agama???

• Ilmu agama hanya sebagai sisipan saja...

🍀 'Kalau lah Sempat' menyumbang yang cukup berarti di tempat ibadah, Rumah Yatim, Panti Asuhan atau ke tempat2 di Jalan Allah yang lainnya...

🍀 'Kalau lah Sempat' dahulu membeli sayur dan melebihkan uang pada nenek tua yang selalu datang......

🍀 'Kalau lah Sempat' memberikan sandal untuk disumbangkan ke tempat ibadah agar dipakai oleh orang yg memerlukan.....

🍀 'Kalau lah Sempat' membelikan buah buat tetangga, kenalan, kerabat dan handai taulan......

🍀 Kalau lah kita tidak kikir kepada sesama, mungkin itu semua akan menjadi 'Amal Penolong' nya ......

🍀 Kalaulah dahulu anak disiapkan menjadi 'Orang yang Shaleh', dan 'Ilmu Agama' nya lebih diutamakan....

🍀 Ibadah dan sedekahnya di bimbing / diajarkan dan diperhatikan, maka mungkin senantiasa akan 'Terbangun Malam', 'Meneteskan Air Mata' medoakan orang tuanya.

🍀 Kalaulah sempat membagi ilmu dengan ikhlas pada orang sehingga bermanfaat bagi sesama ....

*"KALAULAH SEMPAT"*

Mengapa kalau sempat ?

Mengapa itu semua tidak jadi perhatian utama kita ? Sungguh kita tidak adil pada diri sendiri. Kenapa kita tidak lebih serius 'Menyiapkan Bekal' untuk menghadap-NYA dan 'Mempertanggung Jawabkan' kepadaNya?

Semoga tulisan kecil Ini menjadi nasihat bagi kita semua khususnya bagi yang sudah berstatus "SIMATUPANG" (Siang Malam hanya Tunggu Panggilan) Dekatkan diri kepada-NYA sejak usia muda, bersungguhlah mempersiapkan diri menghadapi kematian, dan kehidupan akhirat yang kekal abadi

Jangan terbuai dengan 'Kehidupan Dunia' yang bisa melalaikan.......

🌸 Kita boleh saja giat berusaha di dunia....tapi jadikan itu untuk bekal kita pada perjalanan panjang dan kekal di akhir Hidup kita....

( yang menulis dan menyebarkan catatan ini semoga menjadi sodaqoh ilmu dan ladang amal Shaleh).

Teruslah menjadi Pejuang Dakwah dan menabur Kebajikan selama hayat masih dikandung badan meski hanya dgn sepotong Ayat Al-Quran atau Hadist...

Semoga Bermanfaat...!

Ya ALLAH...
✔ Muliakanlah orang yang membaca dan membagikan status ini
✔ Entengkanlah kakinya untuk melangkah ke masjid
✔ Lapangkanlah hatinya
✔ Bahagiakanlah keluarganya
✔ Luaskan rezekinya seluas lautan
✔ Mudahkan segala urusannya
✔ Kabulkan cita-citanya
✔ Jauhkan dari segala Musibah
✔ Jauhkan dari segala Penyakit,Fitnah,Prasangka Keji,Berkata Kasar dan Mungkar.
✔ Dan dekatkanlah jodohnya untuk orang yang
membaca dan membagikan status ini.
Aamiin ya Rabbal'alamin

Semoga yang membagikan dan bilang aamiin Diberi rezeki yg melimpah aamiin.

Rabu, 27 Maret 2019

TIDAK PERLU OBAT DAN KE DOKTER, ISTRI PUN BISA CEPAT HAMIL

Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda: Jibril mengajariku sebuah obat yg tdk usah butuh pd obat lain dan dokter.

Kemudian Sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, bertanya Obat apa itu wahai Rasulullah? Sesungguhnya kami membutuhkan obat itu, Lalu Nabi Muhammad ﷺ bersabda : Ambillah sedikit air hujan dan bacakanlah surat Al-Fātihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, An-Nās, dan ayat Al-Kursiy. Masing² dibaca sebanyak 70X. Dan diminum waktu pagi dan sore selama 7 hari.

Demi Dzat yg telah mengutusku dg hak sbagai seorang Nabi, sungguh Jibril telah berkata kepadaku: ” Sesungguhnya, barangsiapa yg minum air tersebut, maka Allah akan menghilangkan segala penyakit dari tubuhnya dan Allah akan menyembuhkan dari semua sakit dan penyakit, dan barang siapa yg meminumkan air tersebut pd istrinya, lalu tidur bersamanya, maka istri akan bisa hamil dg idzin Allah.
Dan air tersebut jg bisa menyembuhkan mata, menghilangkan sihir, menghilangkan dahak, menyembuhkan sakit dada, sakit gigi, pencernaan, sembelit, kencing tidak lancar dan tidak butuh dibekam (cantuk) dan banyak kemanfaatan lain yg tak dpat menghitungnya kecuali Allah Ta'ala.
Annawadir 142.

( ﻓﺎﺋﺪﺓ ‏) ﺭﻭﻱ ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻤﻨﻲ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﺩﻭﺍﺀ ﻻ ﺃﺣﺘﺎﺝ ﻣﻌﻪ ﺇﻟﻰ ﺩﻭﺍﺀ ﻭﻻ ﻃﺒﻴﺐ ﻓﻘﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﻭﻣﺎ ﻫﻮ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ؟ ﺇﻧﺎ ﺑﻨﺎ ﺣﺎﺟﺔ ﺇﻟﻰ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺪﻭﺍﺀ ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺆﺧﺬ ﺷﻴﺊ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ ﺍﻟﻤﻄﺮ ﻭﺗﺘﻠﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺳﻮﺭﺓ ﺍﻹﺧﻼﺹ ﻭﺍﻟﻔﻠﻖ ﻭﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﺁﻳﺔ ﺍﻟﻜﺮﺳﻲ ﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﻣﺮﺓ ﻭﻳﺸﺮﺏ ﻏﺪﻭﺓ ﻭﻋﺸﻴﺔ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺑﻌﺜﻨﻲ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﻧﺒﻴﺎ ﻟﻘﺪ ﻗﺎﻝ ﻟﻲ ﺟﺒﺮﻳﻞ ﺇﻧﻪ ﻣﻦ ﺷﺮﺏ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻦ ﺟﺴﺪﻩ ﻛﻞ ﺩﺍﺀ ﻭﻋﺎﻓﺎﻩ ﻣﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﻣﺮﺍﺽ ﻭﺍﻷﻭﺟﺎﻉ ﻭﻣﻦ ﺳﻘﻲ ﻣﻨﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻭﻧﺎﻡ ﻣﻌﻬﺎ ﺣﻤﻠﺖ ﺑﺈﺫﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻳﺸﻔﻲ ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﻦ ﻭﻳﺰﻳﻞ ﺍﻟﺴﺤﺮ ﻳﻘﻄﻊ ﺍﻟﺒﻠﻐﻢ ﻭﻳﺰﻳﻞ ﻭﺟﻊ ﺍﻟﺼﺪﺭ ﻭﺍﻷﺳﻨﺎﻥ ﻭﺍﻟﺘﺨﻢ ﻭﺍﻟﻌﻄﺶ ﻭﺣﺼﺮ ﺍﻟﺒﻮﻝ ﻭﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺣﺠﺎﻣﺔ ﻭﻻ ﻳﺤﺼﻰ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻊ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻟﻪ ﺗﺮﺟﻤﺔ ﻛﺒﻴﺮﺓ ﺍﺧﺘﺼﺮﻧﺎﻫﺎ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ .

Senin, 25 Maret 2019

DUA TANDA CINTA DAN BENCI ALLAH KEPADA MANUSIA

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahawa Nabi Musa berkata sesuatu kepada ALLAH :
“Wahai Tuhanku, bagaimana saya dapat membedakan antara orang yang Engkau cintai dengan orang yang Engkau benci?’

ALLAH Yang Maha Pengasih menjawab,
"Hai Musa, sesungguhnya jika aku mencintai seorang hamba, maka aku akan menjadikan dua tanda kepadanya."

Musa bertanya,
"Wahai Tuhanku, apa kedua tanda itu?"

ALLAH menjawab,
"Aku akan mengilhamkan kepadanya agar ia berdzikir kepada-Ku agar Aku dapat menyebutnya di kerajaan langit dan Aku akan menahannya dari lautan murka-Ku agar ia tidak terjerumus ke dalam azab dan siksa–Ku."

Lalu ALLAH berkata lagi,
"Hai Musa, jika Aku membenci seorang hamba, maka Aku akan menjadikan dua tanda kepadanya."

Musa bertanya,
"Wahai Tuhanku, apa kedua tanda itu?"

ALLAH Yang Maha Pengampun menjawab,
"Aku akan melupakannya berzikir kepada-Ku dan Aku akan melepaskan ikatan antara dirinya dan jiwanya, sehingga ia terjerumus ke dalam lautan murka-Ku sehingga ia merasakan siksa-Ku.’”

Memahami Doktrin #Kembali_ke_Khittah_1926"

Banyak warga NU keliru memahami doktrin kembali ke Khittah 1926. Terutama keliru memahami tujuan hakiki dari Khittah itu sendiri berdasarkan konteks sosio-politik munculnya doktrin tersebut. Jadinya seperti orang memahami teks Hadits tetapi tidak melihat konteks kesejarahan munculnya Hadits tersebut, atau biasa dikenal dengan 'asbabul wurud'.

Sebagai contoh, sebuah Hadits riwayat Imam Lima (akhrajahu al-khamsah) berikut yang artinya:

"Ada seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Nabi: Ya Rasulallah, saya di tengah shalat menyentuh kemaluan saya, apakah shalat saya batal dan harus berwudlu'? Rasulullah kemudian menjawab: Tidak, karena kemaluan adalah bagian dari tubuhmu."

Bagi yang memahami hadits tersebut secara apa adanya (tekstual) tentu akan berpendapat bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu'. Dan kalau pendapat itu yang menjadi pilihan, maka hal tersebut jelas merupakan suatu kekeliruan yang fatal karena pemahaman seperti itu pemahaman tanpa konteks, tanpa memahami 'asbabul wurud'-nya hadits.

Di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah pemahaman hadits tersebut setidaknya harus dilihat dari dua konteks, agar sampai kepada pemahaman yang sahih. Pertama, Imam Bukhari berpendapat bahwa ada banyak hadits yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudlu'. Dan yang paling sahih adalah hadits-hadits yang menyatakan menyentuh kemaluan membatalkan wudlu'. Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka wajib baginya untuk berwudlu'." Dalam hal ihwal menyentuh kemaluan, menurut Imam Bukhari, hadits ini (yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudlu') adalah hadits yang paling sahih.

Kedua, dalam kitab Subulus Salam (syarahnya Bulughul Marom), disebutkan bahwa hadits di atas (yang menyatakan menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu'), turun dari konteks yang khusus dan mengandung unsur perkecualian. Latar belakang (asbabul wurud) hadits tersebut adalah suatu kondisi tertentu di mana ada seorang laki-laki yang berprofesi sebagai penggembala kambing yang tiap hari hidup di padang pasir yang tidak ada air, dan dia terkena penyakit gatal (Jawa: gudhigen). Ketika dia bertanya kepada Rasulullah SAW apakah menggaruk-garuk kemaluan membatalkan wudlu'? Nabi dengan sifat kasihnya memberi 'rukhsah' kepadanya, yaitu khusus bagi dia yang sehari-hari hidup di padang tandus tidak ada air, dan terkena penyakit gudhig, menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu'.

Jadi hadits di atas berlaku sangat terbatas dan tertentu. Orang yang mau menggunakan hadits tersebut harus memenuhi dua syarat sekaligus: hidup di daerah yang sulit air dan terkena penyakit gatal akut.

Sebagaimana hadits tersebut, doktrin kembali ke Khittah 1926 juga mempunyai konteks sosio-politik yang khas. Khittah 1926 tidak bisa dipahami keluar dari konteks latar belakang yang menjadi faktor kelahirannya. Jika dipahami di luar konteksnya, maka memahami khittah akan jatuh fatal seperti memahami hadits di atas.

Menurut KH. A. Hasyim Muzadi seperti ditulis dalam buku Membangun NU Pasca Gus Dur: Dari Sunan Bonang Sampai Paman Sam (1999), doktrin kembali ke Khittah lahir dalam suasana politik Orde Baru yang sangat otoriter, sentralistik dan monolitik. Ormas adalah panggung opera.  Partai politik juga penggenap saja. Inti kekuasaan ada di tangan Presiden Soeharto yang didukung penuh oleh militer (ABRI- Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Partai politik manapun pada waktu itu hakikatnya tidak bisa membentuk kekuasaan, karena semua jaringan partai telah dikuasai pemerintah.

Dalam kondisi seperti itu, para kiai NU melihat bahwa partai politik tidak ada gunanya. Menitipkan aspirasi politik di partai manapun akan mempengaruhi kediktatoran rezim Orde Baru. Sebesar apapun suara yang diraih oleh NU, tetap tidak akan bisa melawan sentralisme kekuasaan Soeharto. Maka dengan tekad yang bulat, NU menyatakan keluar dari partai politik dengan doktrin kembali ke Khittah 1926. Atau dalam bahasa KH Achmad Shiddiq; "NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana." NU ingin mandiri sambil terus menjadi kekuatan moral bagi perubahan rezim di masa depan.

Itulah konteks lahirnya doktrin kembali ke khittah. Setelah reformasi, kondisi sosial-politik bangsa berubah. Partai politik bisa berdiri secara mandiri dan ikut menentukan arah kehidupan bangsa serta merumuskan kebijakan politik strategis. Di sinilah para ulama NU memikirkan kembali posisi NU dalam percaturan politik nasional pasca Orde Baru.

Menurut KH. Hasyim Muzadi, di era reformasi yang multi partai, menyebarkan tokoh-tokoh dan ke berbagai partai politik jelas akan merugikan NU. Mengapa? Karena kekuatan NU tidak mungkin tumbuh dalam sebuah aliran politik yang kepentingannya berbeda secara diametral, baik yang terkait dengan ideologi maupun perbedaan bentuk dan visi perjuangan. Bahkan kalau hal itu dibiarkan, suara dan aspirasi warga NU yang disalurkan ke parpol lain, bukan tidak mungkin akan membesarkan pihak yang justeru akan menyulitkan dan merugikan perjuangan NU sendiri.

Sejarah telah memberikan pelajaran berharga ketika NU menitipkan aspirasinya kepada Masyumi. Semuanya berakhir tragis di mana NU hanya dimanfaatkan. Dan akhirnya NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952.

Dalam kondisi dan latar belakang sejarah seperti itu, para ulama memandang doktrin kembali ke khittah kehilangan konteksnya. Karena itulah, pada tahun 1998, para ulama dan PBNU memutuskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi NU kecuali membuat wadah resmi sebagai tempat menyalurkan kepentingan dan aspirasi warga NU. Wallahu a'lam.

Dikutip dari buku Pedoman Berpolitik Warga NU karya Muh. Hanif Dhakiri.

Source : Pena Santri 879

Selasa, 12 Maret 2019

Rokok

PARA WALI YANG MENDIDIK DENGAN ROKOK

Di dunia ini terdapat banyak hal yang meluluh lantakkan nalar kita sebagai manusia. Salah satunya adalah bagaimana cara kiai mendidikan umat manusia untuk mengetahui lebih dalam atas beberapa hal kasat mata. Keghaiban-keghaiban yang sering kiai pertontonkan adalah bentuk pengajaran dan pendidikan yang dapat menuntun manusia menuju alam berpikir yang lebih dalam.

Soal kretek atau rokok, misalnya, di tengah khilafiyah yang terus menerus terjadi. Ada yang pro ada pula yang kontra, banyak kiai yang memberikan isyarat terhadap satu barang yang sjatinya baik untuk bangsa dan negara, meski selalu dipertentangkan karena banyak kepentingan di dalamnya. Berikut kisah-kisah para sufi dan aulia’ yang gemar merokok dan mengajarkan pelajaran lewat asap-asapnya:

Mbah Abdul Jalil Mustaqim

Pernah Kiai Jamaluddin Jombang bersama seorang santrinya sowan kepada sang guru, yaitu Mbah Abdul Jalil Mustaqim Tulungagung. Ketika dalam perjalanan Kiai Jamaluddin dawuh pada santrinya: “Le (Nak), kamu saya ajak sowan ke Romo Kiai Abdul Jalil. Beliau termasuk bagian dari wali Allah. Nanti kalau di sana kamu tidak perlu banyak tanya, cukup dengarkan dawuh-dawuhnya.” Jawab si santri, “Iya, Kiai.

Sesampai di kediaman Kiai Abdul Jalil, dan cukup lama berbincang-bincang, pada waktu itu pula Kiai Abdul Jalil menghisap rokok tanpa henti. Habis sebatang nyambung lagi dan terus begitu sampai habis berbatang-batang rokok.

Dalam hati si santri berperasangka dan bertanya seakan tidak percaya, “Katanya kiai ini seorang wali. Dari awal saya bertamu sampai sekarang rokoknya kok ngebut, habis satu langsung nyulut habis lagi nyulut lagi tanpa henti. Di mana letak kewalianya? Ah, kayaknya tidak mungkin!”

Dengan spontan Kiai Abdul Jalil berkata: “Kiai Jamal, lebih baik merokok tapi selalu ingat Allah daripada tidak merokok tapi suka ngurusin orang lain yang sedang menikmati rokok tapi hatinya lalai pada Allah.”

“Njih, leres Kiai” (Ya benar, Kiai), jawab Kiai Jamaluddin.

Habib Ali

Para Auliya, biasa menetralkan keadaan spritual mereka dengan Tanawulul muba~hat (melakukan perbuatan -perbuatan yang mubah), sehingga mereka kembali kepada kekuatan basyariyyah sebagaimana manusia biasa.

Toh merokok hukum yang paling kuat adalah makruh, dan makruh masih dalam batas Mubahat juga . Apalagi, trik-trik Mula~matiyyatul Kha~l itu bahkan bisa menggunakan sesuatu yang secara kasat mata Haram, seperti yang dilakukan oleh Syekh Bisyr al Khafi di kisah beliau yang masyhur itu. Ini cerita Ustadh Alwi tentang beliau:

” Abah itu perokok berat . Saat kami Ziarah ke Hadromut , ana bilang sama Abah: Bah , tolong. Untuk kali ini saja , selama di Hadhromut Abah jangan merokok. Bukannya melarang, tetapi bagi para Sayyid, merokok di sini adalah Aib”

Abahnya beliau, Yakni Habib Ali menjawab: ” O, begitu ya? Kalau memang Alwi pengen begitu , Abah siap . Ini Rokok Abah simpen saja”

Singkat cerita sesudah sekian jam mulai dari Bandara Jakarta, Habib Ali tidak lagi menyulut batang Rokoknya . Padahal biasanya seperti lokomotif saja beliau.Saat sudah mendarat, dengan mobil mereka meneruskan perjalanan menuju Sewun. Menuju makam kakek beliau, penulis Simthud Duror, Sayyidinal Imam Ali bin Muhammad bin Husain al Habasyi.

Tetapi di tengah perjalanan mobil berenti. Mogok tidak mau jalan. Mesin di buka, tidak ada yang salah. Bensin masih ada, aki mobil masih bagus . Tetapi setiap kali di stater mobil tidak mau menyala mesinnya.

Satu jam, dua jam begitu . Montir yang dipanggil datang pun kebingungan, ”Ini mesin gak ada masalah, kenapa mobil tidak mau jalan??? ” Kata Montir .

Ustadh Alwi mulai gelisah. Lebih gelisah lagi abahnya yang sedari tadi di jok depan mobil tampak tidak jenak duduknya. Habib Alwi kemudian berpikir, ”Ini pasti ada hubungannya dengan Abah. Abah tampak tidak nyaman mungkin sebabnya sudah satu hari menahan diri untuk tidak merokok”. Ustadh segera menghampiri Abahnya :

”Abah … Sudah, Alwi menyerah. Kalau Abah mau merokok , ya silahkan”

Mendengar putranya berkata sepert itu , Raut muka Habib Ali tampak berbuncah riang .Kata beliau :
” Kalau Alwi bilang begitu, baiklah . Sekarang Abah merokok dulu”

Begitu terlihat asap sudah mengepul di sela-sela bibir Habib Ali, maka Ustadh Alwi berkata kepada sopir, ” Bang , coba sekarang stater mobilnya”. Benar juga , kontak di putar, mesin langsung menyala …

Al-Imam al-Quthb al-Aqthab al-Habib Abdullah bin Muchsin al-Athas

Al-Imam al-Quthb al-Aqthab al-Habib Abdullah bin Muchsin al-Athas Maula Kramat Empang Bogor mempunyai “kebiasaan merokok”. Menurut Guru kami yang pernah berkhidmat padanya yaitu Syaikhina al-Ustadz al-Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf berkata, “Habib Keramat Bogor, Habib Abdullah bin Muchsin, itu merokok. Dan rokoknya adalah rokok kawung.”

Pernah satu kali murid beliau yaitu al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang mengunjunginya dan pada waktu itu Habib Abdullah bin Muchsin baru saja mendapat hadiah rokok mahal dari pembesar Belanda. Melihat kedatangan Habib Ali ke Empang Habib Abdullah sangat senang dan berkata sambil memberikan hadiah untuknya, “Ya Habib Ali, ini rokok mahal buat engkau.”

Mengetahui hal tersebut Habib Ali mau tidak mau menerimanya dan ditaruh di kantongnya karena beliau tidak merokok. Lalu Habib Abdullah bin Muchsin berkata, “Ya Habib, mata ini kalau tidak karena rokok melihat manusia akan apa adanya. Mungkin kalau tidak merokok akan jadi susah manusia menemuiku. Supaya mereka bisa bertemu saya, ya saya begini (merokok, red.).”

Mereka hal (tingkah) para wali Allah (Auliya) memang ada yang suka merokok. Namun selesai merokok mereka akan cuci tangan dan memakai wangi-wangian, lebih-lebih kalau ingin buka kitab mereka sampai menempelkan minyak wangi di bibir mereka.

Pernah satu kali ada yang datang untuk membaca kitab pada Ustadzuna al-Habib Abdurrahman Assegaf. Sewaktu beliau duduk orang tersebut disuruh berwudhu. Setelah berwudhu orang tersebut disuruh pakai minyak wangi dan beliau berkata,
“Itu mulut ente masih bau rokok, pakein biar wangi. Ente ini mau baca kitab ulama bau rokok begitu. Biar hormat ente sama ilmu yang ditulis oleh ulama biar dapat barakahnya.”

Kiai Khoirul Mustajab Banyuwangi

Dengan penuh tanda tanya yang sudah menggunung di dalam hati, saya memberanikan diri bertanya pada beliau, “Kok rokoknya njenengan ngebut banget Kiai, apa tidak merasa sesak dadanya njenengan” ?.

Beliau tersenyum “kalau sudah biasa ya nggak lah, kalau belum terbiasa pasti akan mati hehehe”.

“Kata kebanyakan orang dari pada uangnya dibelikan rokok, kan lebih baik dibelikan yang lain atau ditabung saja Kyai ?” tanya saya.

“Hahaha, itu kan pendapat orang yang tidak merokok Mas, kalau bagi yang merokok yo gak kiro ngunu hehe. Allah itu memberikan rizki pada masing-masing makhluknya itu tidak sama Mas, ada yang cukup hanya membeli beras saja dan ada yang cukup membeli beras dan rokoknya juga hehe, mungkin saya golongan yang kedua ini Mas, soalnya selama saya merokok dapur saya juga ngebul kok”

Benar juga sih kalau dipikir, banyak juga kok orang yang suka merokok masih bisa menabung dan tidak sedikit pula orang yang tidak merokok malah kesulitan untuk menyisihkan uangnya.

Rokok merupakan salah satu pendapatan terbesar di negara ini. “Yang penting jangan merokok disembarang tempat Mas, saya memang perokok berat mulai saat dipesantren, tapi saya gak suka merokok ditempat teman-teman yang gak suka rokok’an meski mereka baik2 saja, saya tidak merokok disana gak enak Mas, saya juga tergolong perokok yang pasif lo Mas” tambah Kyai Khoirul.

“Lo kok bisa perokok pasif Kyai ?” tanya saya.

“Lah iya saya kalau merokok sambil jalan-jalan itu gak enak alias gak bisa menikmati Mas, jadi kalau saya merokok itu ya begini, sambil duduk dan ngopi hehe” jawab beliau. Hahaha saya dan seisi ruangan kecil itu ikut tertawa.

Rokok kretek adalah rokok yang menggunakan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan dengan saus cengkeh dan saat dihisap terdengar bunyi kretek-kretek. Rokok kretek berbeda dengan rokok yang menggunakan tembakau buatan. Jenis cerutu merupakan simbol rokok kretek yang luar biasa, semuanya alami tanpa ada campuran apapun, dan pembuatannya tidak bisa menggunakan mesin. Masih memanfaatkan tangan pengrajin.

Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup dikalangan para pekerja pabrik rokok, riwayat kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok.

Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan “rokok obat” ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”. Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.

Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamhari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek “Tjap Bal Tiga”. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.

🤝🌹👏😅🙏🙏

Jumat, 08 Maret 2019

Istilah Kafir dan Non Muslim

Penggunaan istilah “non-Muslim” dalam Bahtsul Masail NU sebetulnya bukan suatu hal yang baru dan asing. Bahtsul Masail NU sudah menggunakan istilah “non-Muslim” sebagai ganti istilah “kafir” sejak puluhan tahun yang lalu.

Berdasarkan pengamatan terhadap hasil-hasil Bahtsul Masail NU, terutama PBNU dan PWNU Jawa Timur, diperoleh data sebagai berikut:

(1) Bahtsul Masail PBNU menggunakan istilah “kafir” ketika menyebut penganut agama selain Islam sejak edisi tahun 1927 hingga edisi tahun 1960.

(2) Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur menggunakan istilah "kafir" sejak edisi tahun 1979 hingga edisi tahun 1982.

(3) Sejak edisi tahun 1979 (PBNU) dan edisi tahun 1982 (PWNU Jawa Timur), Bahtsul Masail NU mulai menggunakan istilah “non-Muslim”, meskipun teks kitab kuning yang dikutip sebagai referensi tetap menggunakan istilah “kafir”.

Perubahan trend penggunaan istilah tersebut tidak terlepas dari gaung wacana toleransi dan gerakan dialog antarumat beragama di kalangan kiai pembaru NU sejak dekade 1970-an. Salah satu pelopornya adalah Kiai Akhmad Siddiq (w. 1991) yang merumuskan konsep tiga matra persaudaraan, yaitu: (1) persaudaraan seiman (ukhuwwah Islamiyyah), (2) persaudaraan kewarganegaraan (ukhuwwah wathaniyyah), dan (3) persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah).

Konsep itu beliau rumuskan dalam buku “Khittah NU” pada tahun 1979, dan dijadikan sebagai salah satu acuan dalam Muktamar NU 1984 di Situbondo. Pada Munas NU tahun 1987, konsep itu beliau sampaikan lagi pada saat menyampaikan pidato Rois Aam PBNU.

Konsep itu kemudian menjadi bagian penting dari wawasan kebangsaan NU yang dirumuskan pada Muktamar tahun 1994 dan 1999. Pada Munas NU tahun 2006, konsep itu juga menjadi acuan salah satu prinsip Fikrah Nahdliyyah, yaitu prinsip toleransi (tasamuhiyyah).

Dengan demikian, fatwa hasil Bahtsul Masail Munas NU tahun 2019 yang viral tentang penggunaan istilah “non-Muslim” dalam konteks relasi sosial kehidupan beragama yang majemuk di Indonesia sebetulnya tidak lahir dari “ruang hampa”. Fatwa itu berakar pada dua hal penting, yaitu: (1) sejarah penggunaan istilah “kafir” dan “non-Muslim dalam Bahtsul Masail, dan (2) wawasan kebangsaan NU dan Fikrah Nahdliyyah sendiri.

-----

Entah terinspirasi oleh konsep Kiai Achmad Siddiq di atas ataukah tidak, SyekhYusuf al-Qaradhawi pada tahun 2004 menulis buku berjudul “Khithabuna al-Islami fi ‘Ashr al-‘Aulamah” (Wacana keislaman kita di Era Globalisasi).

Dalam bukunya itu (halaman 47-48), al-Qaradhawi menulis konsep yang sama dengan tawaran Kiai Achmad Siddiq, yaitu (1) persaudaraan seagama (ukhuwwah diniyyah), (2) persaudaraan sesama warga negara atau sesama suku-kelompok masyarakat (ukhuwwah wathaniyyah atau qaumiyyah), dan (3) persaudaraan sesama manusia yang universal (ukhuwwah insaniyyah ‘ammah).

Selain itu, dalam bukunya itu pula (halaman 44-47), beliau juga menyatakan bahwa dalam konteks globalisasi saat ini, istilah “non-Muslim” dan “warga negara” adalah lebih tepat untuk menyebut umat agama selain Islam daripada istilah “kafir”.

Pada bagian pendahuluan dari bukunya itu (halaman 9), beliau menyatakan sudah lama berpendirian moderat seperti ini, yakni sejak kali pertama menekuni penulisan karya ilmiah. Hal ini bisa dibuktikan, tegasnya, pada buku yang dia tulis pada tahun 1960, yakni “al-Halal wa al-Haram fi al-Islam”, di mana pada buku itu dia sudah menganjurkan penggunaan istilah “non-Muslim” dan “warga negara” untuk menyebut umat agama selain Islam.

Dari sini, muncul dalam benak saya sebuah pertanyaan: “Adakah jalinan komunikasi dan kaitan pemikiran antara Kiai Achmad Siddiq dan Syekh Yusuf al-Qaradhawi?”.

#Dari_santri_untuk_dunia

Puasa Rajab

*اَلسَّـــــــلَامُ عَلَيۡـــــــكُمۡ وَرَحۡمَـــــــۃُ اللّٰـــــــهِ وَبَرَكَـــاتُــــهۡ*

*بِسۡـــــــــمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِـــــــيم*

*URAIAN ILMIAH HUKUM PUASA RAJAB*

*_SUNNAH ATAU BID’AH?_*

Oleh: Buya Yahya 
(Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon)

بسم الله الرحمن الرحيمالحمد لله رب العلمين..
وبه نستعين على أمور الدنيا والدين..
وصلى الله على سيدنا محمد وآله صحبه وسلم أجمعين..
قال الله تعالى :
*”إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السماوات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة واعلموا أن الله مع المتقين“* الأية..
وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
*”فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى ‏ ‏محمد ‏وشر الأمور ‏ ‏محدثاتها ‏ ‏وكل بدعة ضلالة..“*
أما بعد

*PENDAHULUAN*

Ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam membahas masalah puasa Rajab.

*Pertama*
Tidak ada riwayat yang benar dari Rasûlullâh ﷺ  yang melarang puasa Rajab.

*Kedua*
Banyak riwayat-riwayat tentang keutamaan puasa Rajab yang tidak benar dan palsu.
Dan di dalam masyarakat kita terdapat 2 kutub ekstrim.

— *Pertama:*
Adalah sekelompok kecil kaum muslimin yang menyuarakan dengan lantang bahwa puasa bulan Rajab adalah bid’ah.

— *Kedua:*
Sekelompok orang yang biasa melakukan atau menyeru puasa Rajab akan tetapi tidak menyadari telah membawa riwayat-riwayat tidak benar dan palsu.

Maka dalam risalah kecil ini kami ingin mencoba menghadirkan riwayat yang benar sekaligus pemahaman para ulama 4 madzhab tentang puasa di bulan Rajab.

*Sebenarnya masalah puasa Rajab sudah dibahas tuntas oleh ulama-ulama terdahulu dengan jelas dan gamblang*.

Akan tetapi karena adanya kelompok kecil hamba-hamba Allah ﷻ yang biasa *MENUDUH BID’AH ORANG LAIN* menyuarakan dengan lantang bahwa amalan puasa di bulan Rajab adalah sesuatu yang bid’ah.

Dengan Risalah kecil ini mari kita lihat hujjah para ulama tentang puasa bulan Rajab dan mari kita juga lihat perbedaan para ulama di dalam menyikapi hukum puasa di bulan Rajab.

*Yang jelas bulan Rajab adalah termasuk bulan Haram yang 4*
(Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharrom dan Rajab)
*Dan bulan haram ini dimuliakan oleh Allah ﷻ sehingga tidak diperkenankan untuk berperang di dalamnya dan masih banyak keutamaan di dalam bulan-bulan haram tersebut khususnya bulan Rajab*.

Dan di sini kami hanya akan membahas masalah puasa Rajab, untuk masalah yang lainnya seperti hukum merayakan Isro’ Mi’roj dan sholat malam di bulan Rajab akan kami hadirkan pada risalah yang berbeda.

Tidak kami pungkiri adanya hadits-hadits dho’if atau palsu (Maudhu’) yang sering dikemukakan oleh sebagian pendukung puasa Rajab.

Maka dari itu wajib bagi kami untuk menjelaskan agar jangan sampai ada yang membawa hadits-hadits palsu biarpun untuk kebaikan seperti memacu orang untuk beribadah hukumnya adalah HARAM dan DOSA BESAR sebagaimana ancaman Rasûlullâh ﷺ dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim,

*”مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار“*

*“Barang siapa sengaja berbohong atas namaku maka hendaknya mempersiapkan diri untuk menempati neraka”*.

Dan perlu diketahui bahwa dengan banyaknya hadits-hadits palsu tentang keutamaan puasa Rajab itu bukan berarti tidak ada hadits yang benar yang membicarakan tentang keutamaannya bulan Rajab.

*DALIL-DALIL TENTANG PUASA RAJAB*

1. Dalil Tentang Puasa Rajab Secara Umum adalah untuk memperbanyak puasa kecuali di *hari-hari* yang diharamkan yang 5.
*Dan bulan Rajab adalah bukan termasuk hari-hari yang diharamkan*.
Dan juga anjuran-anjuran memperbanyak di hari-hari seperti puasa hari senin, puasa hari Kamis, puasa hari-hari putih, puasa Daud dan lain-lain yang itu semua bisa dilakukan dan tetap dianjurkan walaupun di bulan Rajab.

Berikut ini adalah riwayat-riwayat tentang keutamaan puasa.
Hadits Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori No.5472:

*”كُلُّ عَمَلِ ابْنِ أَدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامُ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ“*

*“Semua amal anak adam (pahalanya) untuknya kecuali puasa maka aku langsung yang membalasnya”*.

Hadits Yang diriwayatkan oleh Imam Muslim No.1942:

*”لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“*

*“Bau mulutnya orang yang berpuasa itu lebih wangi dari misik menurut Allah ﷻ kelak di hari qiamat”*.

Yang dimaksud Allah akan membalasnya sendiri adalah pahala puasa tak terbatas hitungan tidak seperti pahala ibadah sholat jama’ah dengan 27 derajat.
Atau ibadah lain yang satu kebaikan dilipat gandakan menjadi 10 kebaikan.

Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori No.1063 dan Imam Muslim No.1969 :

*”إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ كَانَ يَصُوْمُ يَوْمًا وَ يُفْطِرُ يَوْمًا“*

*“Sesungguhnya paling utamanya puasa adalah puasa saudaraku Nabi Daud as, beliau sehari puasa dan sehari buka”*.

2. Dalil-dalil Puasa Rejab Secara Khusus ialah Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ حَكِيْمٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ:
سَأَلْتُ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صَوْمِ رَجَبَ..؟
وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِيْ رَجَبَ..
فَقَالَ:
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ:
*”كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلَ لاَ يَصُوْمُ“*

Sesungguhnya Sayyidina Ustman Ibn Hakim Al-Anshori, berkata:
*_Aku bertanya kepada Sa’id Ibn Jubair tentang puasa di bulan Rajab dan ketika itu kami memang di bulan Rajab_*
Maka Sa’id menjawab:
*_Aku mendengar Ibnu ‘Abbas berkata:_*
*“Nabi Muhammad Rasûlullâh ﷺ berpuasa (di bulan Rajab) hingga kami katakan beliau tidak pernah berbuka di bulan Rajab..*
*Dan beliau juga pernah berbuka di bulan Rajab, hingga kami katakan beliau tidak berpuasa di bulan Rajab..”*

Dari riwayat tersebut di atas bisa dipahami bahwa Nabi ﷺ pernah berpuasa di bulan Rajab dengan utuh, dan Nabi ﷺ pun pernah tidak berpuasa dengan utuh.

Artinya di saat Nabi ﷺ meninggalkan puasa di bulan Rajab itu menunjukan bahwa puasa di bulan Rajab bukanlah sesuatu yang wajib.
Begitulah yang difahami para ulama tentang amalan Nabi ﷺ.
*Jika Nabi melakukan satu amalan kemudian Nabi meninggalkannya itu menunjukan amalan itu bukan suatu yang wajib, dan hukum mengamalkannya adalah sunnah*.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah

عَنْ مُجِيْبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيْهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ:
أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالَتُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَا تَعْرِفُنِيْ..
قَالَ:
وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيِّ الَّذِيْ جِئْتُكَ عَامَ اْلأَوَّلِ
قَالَ:
فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ
قَالَ:
مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلاَّ بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ..
ثُمَّ قَالَ:
صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
قَالَ:
زِدْنِيْ فَإِنَّ بِيْ قُوَّةً..
قَالَ:
صُمْ يَوْمَيْنِ
قَالَ:
زِدْنِيْ
قَالَ:
صُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ
قَالَ:
زِدْنِيْ
قَالَ:
صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ
وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلاَثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا..
رواه أبو داود
2/322
Dari Mujibah Al-Bahiliah dari ayahnya atau pamannya sesungguhnya ia (ayah atau paman) datang kepada Rosulullah ﷺ kemudian berpisah dan kemudian datang lagi kepada Rosulullah ﷺ setelah setahun dalam keadaan tubuh yang berubah (kurus), dia berkata:
*_“Yaa Rosulullah apakah engkau tidak mengenalku..?”_*
Rosulullah ﷺ menjawab:
*“Siapa Engkau..?”*
Diapun berkata:
*_“Aku Al-Bahili yang pernah menemuimu setahun yang lalu..”_*
Rosulullah ﷺ bertanya:
*“Apa yang membuatmu berubah sedangkan dulu keadaanmu baik-baik saja (segar-bugar)..”*
Ia menjawab:
*_“Aku tidak makan kecuali pada malam hari (yakni berpuasa) semenjak berpisah denganmu..”_*
Maka Rosulullah ﷺ bersabda:
*“Mengapa engkau menyiksa dirimu, berpuasalah di bulan sabar dan sehari di setiap bulan..”*
Lalu ia berkata:
*_“Tambah lagi (yaa Rosulullah ﷺ).._*
*_Sesungguhnya aku masih kuat..”_*
Rosulullah ﷺ berkata:
*“Berpuasalah 2 hari (setiap bulan)..”*
Diapun berkata:
*_“Tambah lagi ya Rosulullah ﷺ..”_*
Rosulullah ﷺ berkata:
*“Berpuasalah 3 hari (setiap bulan)..”*
iapun berkata:
*_“Tambah lagi (Yaa Rosulullah ﷺ)..”_*
Rosulullah SAW bersabda:
*“Jika engkau menghendaki berpuasalah engkau di bulan-bulan haram (Rajab, Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah dan Muharrom)..*
*Dan jika engkau menghendaki maka tinggalkanlah, beliau mengatakan hal itu tiga kali sambil menggenggam 3 jarinya kemudian membukanya..”*

Imam Nawawi menjelaskan hadits tersebut.

قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" صُمْ مِنَ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ" إنما أمره بالترك ; لأنه كان يشق عليه إكثار الصوم كما ذكره في أول الحديث . فأما من لم يشق عليه فصوم جميعها فضيلة..
المجموع 6/439

Sabda Rosulullah ﷺ:

*”صم من الحرم واترك“*

*“Berpuasalah di bulan haram kemudian tinggalkanlah”*

Sesungguhnya Nabi ﷺ memerintahkan berbuka kepada orang tersebut karena dipandang puasa terus-menerus akan memberatkannya dan menjadikan fisiknya berubah.

Adapun bagi orang yang tidak merasa berat untuk melakukan puasa, maka berpuasa dibulan Rajab seutuhnya adalah sebuah keutamaan.
“Majmu’ Syarh Muhadzdzab juz 6 hal. 439

Hadits riwayat Usamah Bin Zaid

قال قلت :
يا رسول الله لم أرك تصوم شهرا من الشهور ما تصوم من شعبان
قال ذلك شهر غفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم..
رواه النسائي 4/201

Aku berkata kepada Rosulullah ﷺ:
*_“Yaa Rosulullah ﷺ aku tidak pernah melihatmu berpuasa sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban..”_*
Rosulullah ﷺ menjawab:
*“Bulan Sya’ban itu adalah bulan yang dilalaikan di antara bulan Rajab dan Ramadhan, dan bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal kepada Allah ﷻ dan aku ingin amalku diangkat dalam keadaaan aku berpuasa”*.
HR. Imam An-Nasa’I Juz 4 Hal. 201

Imam Syaukani menjelaskan

ظاهر قوله في حديث أسامة :
إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان
أنه  يستحب صوم رجب ; لأن الظاهر أن المراد أنهم يغفلون عن تعظيم شعبان بالصوم كما يعظمون رمضان ورجبا به..
نيل الأوطار 4/291

Secara tersurat yang bisa dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Usamah, Rosulullah ﷺ bersabda:
*“Sesungguhnya Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan manusia di antara Rajab dan Ramadhan”*
ini menunjukkan bahwa puasa Rajab adalah sunnah sebab bisa difahami dengan jelas dari sabda Nabi ﷺ bahwa mereka lalai dari mengagungkan Sya’ban dengan berpuasa karena mereka sibuk mengagungkan Ramadhan dan Rajab dengan berpuasa..
Naylul Author juz 4 hal 291

*KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG PUASA RAJAB*

Dalam menyikapi tentang puasa dibulan Rajab pendapat ulama terbagi menjadi 2, akan tetapi 2 pendapat ini tidak sekeras yang kita temukan di lapangan pada saat ini yaitu dengan membi’dahkan dan memfasiqkan para pelaku puasa Rajab.

Jumhur Ulama dari Madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad Bin Hanbal mereka mengatakan bahwasannya disunnahkan puasa di bulan Rajab semuanya dan juga ada riwayat lain dari Imam Ahmad Bin Hanbal bahwasannya makruh mengkhususkan melakukan puasa sebulan penuh di bulan Rajab.

Akan tetapi di dalam Madzhab Imam Ahmad Bin Hanbal dijelaskan bahwasannya kemakruhan ini akan hilang dengan 4 hal :
1) Dibolong (berbuka) 1 hari di bulan Rajab, atau
2) Disambung dengan puasa di bulan sebelum Rajab, atau
3) Disambung dengan puasa di bulan setelah Rajab,
4) Dengan puasa di hari apapun di selain bulan Rajab.

Mungkin ada yang mendengar dari salah satu siaran radio atau selebaran yang dibagi-bagi yang mengatakan bahwasannya,
*“Puasa Rajab adalah Bid’ah Dholalah”*
dengan membawa Riwayat dari Nabi ﷺ yang melarang puasa Rajab atau riwayat dari Sayyidina Umar Bin Khottob yang mengatakan,
*“Kami akan memukul orang yang melakukan puasa di bulan Rajab”*.

*Padahal riwayat tersebut adalah tidak benar dan palsu* dan sungguh sangat aneh orang yang membid’ahkan puasa bulan Rajab dengan tuduhan riwayat puasa Rajab adalah hadits-haditsnya palsu akan tetapi mereka sendiri tidak sadar bahwa justru riwayat yang melarang puasa bulan Rajab adalah palsu.

Secara singkat para ulama empat madzhab tidak ada yang mengatakan puasa bulan Rajab adalah bid’ah.
Bahkan mereka sepakat kalau puasa bulan Rajab adalah sunnah termasuk dalam madzhab Imam Ahmad bin Hambal.

Berikut ini uraian ulama empat tentang puasa Rajab:

*1. Pendapat Ulama’ Madzhab Hanafi·*

Disebutkan dalam Fatawa Al-Hindiyah Juz 1 Hal. 202 :

المرغوبات من الصيام أنواع ( أولها صوم المحرم والثاني صوم رجب والثالث صوم شعبان وصوم عاشوراء ). اهـ
Puasa yang disunnahkan itu bermacam-macam:
— *Puasa Muharrom*,
— *Puasa Rajab*,
— *Puasa Sya’ban*, dan
— *Puasa ‘Asyuro’*
(tanggal 10 Muharrom)

*2. Pendapat dari Ulama’ Madzhab Maliki·*

Disebutkan dalam Syarh Al-Khorsyi ‘Ala Kholil Juz 2 Hal. 241:

أنه يستحب صوم شهر المحرم وهو أول الشهور الحرم , ورجب وهو الشهر الفرد عن الأشهر الحرم.
اهـ

*“Sesungguhnya disunnahkan puasa di bulan Muharrom dan puasa di bulan Rajab”*.

Disebutkan dalam Hasyiah dari Syarh Al-Khorsyi ‘Ala Kholil :

بل يندب صوم بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذو القعدة فالحجة ). اهـ

*“Disunnahkan puasa di bulan-bulan haram yang 4, paling utamanya adalah puasa di bulan Muharrom kemudian Rajab, Duzl Qo’dah dan Dzul Hijjah”*.

Disebutkan dalam Muqoddimah Ibnu Abi Zaid serta syarah Lil Fawaakih Al-Dawani juz 2 hal. 272 :

التنفل بالصوم مرغب فيه وكذلك , صوم يوم عاشوراء ورجب وشعبان ويوم عرفة والتروية وصوم يوم عرفة لغير الحاج أفضل منه للحاج.
اهـ

*“Melakukan puasa disunnahkan begitu juga puasa dihari ‘Asyuro’, bulan Rajab, bulan Sya’ban, Hari ‘Arafah dan Tarwiyah sedangkan puasa di hari ‘Arafah itu lebih utama bagi orang yang tidak haji”*.

Disebutkan dalam Syarh Ad-Dardir, syarah Muhtashor Kholil juz 1 hal. 513 :

وندب صوم المحرم ورجب وشعبان وكذا بقية الحرم الأربعة وأفضلها المحرم فرجب فذوالقعدة والحجة).
اهـ

*“Dan disunnahkan puasa Muharrom, Rajab, Sya’ban begitu juga bulan-bulan haram lainnya yang 4..*
*Dan paling utamanya adalah puasa Muharrom kemudian Rajab, Duzl Qo’dah dan Dzul Hijjah”*.

Disebutkan dalam At-Taj Wa Al-Iklil juz 3 hal. 220 :

والمحرم ورجب وشعبان لو قال والمحرم وشعبان لوافق المنصوص . نقل ابن يونس : خص الله الأشهر الحرم وفضّلها وهي : المحرم ورجب وذو القعدة وذو الحجة.
اهـ

*“Dan disunnahkan Puasa Muharrom, Rajab dan Sya’ban, (andaikan beliau berkata) Puasa Muharrom dan Sya’ban disunnahkan maka akan mencocoki Nashnya”*
Dinukil dari Ibnu Yunus bahwasannya,
*“Allah Subhanahu Wa Ta'ala ﷻ mengkhususkan bulan-bulan haram dan mengutamakannya yaitu : Muharrom dan Rajab, Dzul Qo’dah dan Dzul Hijjah”*.

*3. Pendapat dari Ulama’ Madzhab Syafi’i*

Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Al-Majmu’ (Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab) juz 6 hal. 439 :

قال أصحابنا : ومن الصوم المستحب صوم الأشهر الحرم , وهي ذوالقعدة وذوالحجة والمحرم ورجب , وأفضلها المحرم.
اهـ

Berkata Ulama’ kami :
*“Dan dari puasa yang disunnahkan adalah puasa bulan-bulan haram yaitu Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharrom dan Rajab sedangkan yang paling utama adalah Muharrom”*.

Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshori menyebutkan dalam Asna Al-Mathollib juz 1 hal. 433

وأفضل الأشهر للصوم( بعد رمضان الأشهر( الحرم ( ذو القعدة وذو الحجة والمحرم ورجب )وأفضلها المحرم( لخبر مسلم * أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ( ثم  اقيها) وظاهره استواء البقية والظاهر تقديم رجب خروجا من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ).
اهـ

*“Paling utamanya bulan-bulan untuk puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan-bulan Haram yaitu Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharrom dan Rajab sedangkan paling Utamanya adalah Muharrom”*
berdasarkan riwayat dari Imam Muslim,
*“Paling utamanya puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharrom kemudian bulan haram yang lainnya..”*
Secara dhohir keutamaan diantara bulan haram yang lainnya itu sama (selain Muharrom).
Dan secara dhohir mendahulukan keutamaan Rajab agar keluar dari Khilafnya ulama yang mengunggulkannya melebihi bulan-bulan Haram..

Imam Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fatawa-nya juz 2 hal. 53 :

... وأما استمرار هذا الفقيه على نهي الناس عن صوم رجب فهو جهل منه وجزاف على هذه  لشريعة المطهرة فإن لم يرجع عن ذلك وإلا وجب على حكام الشريعة المطهرة زجره وتعزيره التعزير البليغ المانع له ولأمثاله من المجازفة في دين الله تعالى ويوافقه إفتاء العز بن عبد السلام  إنه سئل عما نقل عن بعض المحدثين من منع صوم رجب وتعظيم حرمته وهل يصح نذر صوم جميعه فقال في جوابه : نذر صومه صحيح لازم يتقرب إلى الله تعالى بمثله والذي نهى عن صومه جاهل بمأخذ أحكام الشرع وكيف يكون منهيا عنه مع أن العلماء الذين دونوا الشريعة  لم يذكر أحد منهم اندراجه فيما يكره صومه بل يكون صومه قربة إلى الله تعالى. اهـ

*“Orang yang melarang puasa Rajab maka itu adalah kebodohan dan ketidak tahuan terhadap hukum syariat..*
*Apabila ia tidak menarik ucapannya itu maka wajib bagi hakim atau penegak hukum untuk menghukumnya dengan hukuman yang keras yang dapat mencegahnya dan mencegah orang semisalnya yang merusak agama Allah ﷻ..”*

*Izzuddin Abdus Salam,*
Sesungguhnya beliau ditanya dari apa yang dinukil dari sebahagian Ahli Hadits tentang larangan puasa Rajab dan pengharamannya, dan apakah sah orang yang bernadzar puasa Rajab sebulan penuh maka beliau menjawab,
*“Nadzar puasa Rajab itu sah dan bisa mendekatkan diri kepada Allah ﷻ..*
*Adapun larangan puasa Rajab itu adalah pendapat orang yang bodoh akan pengambilan hukum-hukum syariat..”*

Bagaimana bisa dilarang sedangkan para Ulama’ yang dekat dengan syariat tidak ada yang menyebutkan tentang dimakruhkannya puasa Rajab bahkan dikatakan puasa Rajab adalah mendekatkan diri kepada Allah ﷻ (sunnah)..

Disebutkan dalam Mughni Al-Muhtaj juz 2 hal. 187 :

أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم , وأفضلها المحرم لخبر مسلم* أفضل الصوم بعد رمضان شهر الله المحرم ثم رجب , خروجا من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ثم باقيها ثم شعبان ).
اهـ

*“Paling utamanya bulan-bulan untuk melakukan puasa setelah Ramadhan adalan bulan-bulan haram..”*
Sedangkan paling utamanya adalah Muharrom berdasarkan Hadits riwayat Imam Muslim,
*“Paling utamanya puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharrom, kemudian Rajab agar keluar dari Khilaf tentang keutamaan Rajab terhadap bulan-bulan haram lainnya kemudian Sya’ban”*

Disebutkan dalam Nihayah Al-Muhtaj juz 3 hal. 211 :

اعلم أن أفضل الشهور للصوم بعد رمضان الأشهر الحرم وأفضلها المحرم ثم رجب خروجا  من خلاف من فضله على الأشهر الحرم ثم باقيها وظاهره الاستواء ثم شعبان.
اهـ

*“Ketahuilah sesungguhnya paling utamanya bulan-bulan untuk melakukan puasa setelah Ramadhan adalah puasa bulan-bulan Haram..*
*Sedangkan paling utamanya adalah Muharrom kemudian Rajab agar keluar dari Khilaf tentang keutamaannya atas bulan-bulan Haram yang lainnya..*
*Yang jelas keutamaannya sama dengan bulan-bulan haram yang lainnya kemudian Sya’ban”*

*4. Pendapat dari Ulama’ Madzhab Hanbali*

Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Al-Mughni juz 3 hal. 53 :

فصل : ويكره إفراد رجب بالصوم . قال أحمد : وإن صامه رجل , أفطر فيه يوما أو أياما , بقدر ما لا يصومه كله ... قال أحمد : من كان يصوم السنة صامه , وإلا فلا يصومه متواليا , يفطر فيه ولا يشبهه برمضان ).
اهـ
Fasal :
*_Dan dimakruhkan mengkhususkan Rajab dengan puasa, Imam Ahmad berkata,_*
*“Apabila seseorang berpuasa bulan Rajab maka berbukalah sehari atau beberapa hari sekiranya ia tidak puasa sebulan penuh”*
Imam Ahmad berkata,
*“Barangsiapa terbiasa puasa setahun penuh maka boleh berpuasa sebulan penuh kalau tidak biasa puasa setahun penuh janganlah berpuasa terus-menerus..*
*Dan jika ingin puasa Rajab sebulan penuh hendaknya ia berbuka di bulan Rajab (biarpun sehari) agar tidak menyerupai Ramadhan..”*.

Dari keterangan tersebut sangat jelas bahwa Imam Ahmad tidak membidahkan puasa Rajab.

Disebutkan dalam Al-Furu’ Karya Ibn Muflih juz 3 hal. 118 :

فصل : يكره إفراد رجب بالصوم نقل ابن حنبل : يكره , ورواه عن عمر وابنه وأبي بكرة , قال أحمد : يروى فيه عن عمر أنه كان يضرب على صومه , وابن عباس قال : يصومه إلا يوما أو أياما. وتزول الكراهة بالفطر أو بصوم شهر آخر من السنة.
اهـ
Fasal :
*_Dimakruhkan mengkhususkan Rajab dengan berpuasa berdasarkan apa yang dinukil dari Imam Ahmad Bin Hanbal dan diriwayatkan oleh Umar dan puteranya dan Abi Bakrah_*.
Imam Ahmad berkata,
*_Diriwayatkan dari Sayyidina Umar Ra,_*
*Sesungguhnya beliau memukul orang yang berpuasa Rajab sebulan penuh*
Dan berkata Ibnu Abbas,
*“Hendaknya berpuasa Rajab dengan berbuka sehari atau beberapa hari”*.
Dan kemakruhan puasa bulan Rajab akan hilang dengan berbuka (walaupun sehari) atau dengan berpuasa di bulan lain selain bulan Rajab.

*KESIMPULAN*

Dari penjelasan dari ulama empat madzhab sangat jelas bahwa puasa bulan Rajab adalah sunnah hanya menurut madzhab Imam Ahmad saja yang makruh.
Dan ternyata kemakruhan puasa Rajab menurut madzhab Imam Hanbali itupun jika dilakukan sebulan penuh.

Adapun kalau berbuka satu hari saja atau di sambung dengan sehari sebelumnya atau sesudahnya.
Atau dengan melakukan puasa di selain bulan Rajab maka kemakruhannya akan hilang .

Dan mereka tidak mengatakan puasa Rajab bid'ah sebagaimana yang marak akhir-akhir ini disuarakan oleh kelompok orang dengan menyebar selebaran, siaran radio atau internet.

Wallohua'lam bishshowab

*۞اَللّٰهُـــــمَّ صَلِّ عَلَی سَيِّـــــدِنَا مُحَمَّـــــدٍ وَعَلَی آلِ سَيِّـــــدِنَا مُحَمَّـــــدٍ۞*
‎▬▬▬▬oஜ۩۞۩ஜo▬▬▬▬

*دركــــــۃ يا اهــل المديـــنه*
*يـــا تريــــــم واهــــــلــــــها*

*وَالسَّـــــــلَامُ عَلَيۡـــــــكُمۡ وَرَحۡمَـــــــۃُ اللّٰـــــــهِ وَبَرَكَـــاتُــــهۡ*