Selasa, 31 Maret 2020

CIRI KHAS ULAMA DAN PENGIKUT MUJASIMAH SALAFI/WAHABI

Ada beberapa ciri-ciri yang mudah yang dapat kita lihat untuk
mengetahui bahwa seseorang tersebut menjadi pengikut mujasimah
Salafi/Wahabi.
Perlunya deteksi sejak dini terhadap kelompok mujasimah ini agar kita
sodara teman sanak kita tidak mudah terpapar
penyimpangan ajaran mereka ini.
Dan berikut ini karakter ciri khas para pengikut dan penganut ajaran
mujasimah Salafi/Wahabi.
1. Kata kunci atau tema yang biasa diulang-ulang dan dibahas oleh
ulama berfaham mujasimah Salafi/Wahabi berkisar pada kata bid'ah,
syirik, kufur, syiah rafidhah yang ditujukan kepada kelompok Islam yang
tidak sepemikiran dengan mereka. Kita akan sangat sering menemukan
salah satu dari empat kata tersebut dari setiap kajian atau fatwva
mereka.
2. Dalam memberi fatwa, ulama Salafi/Wahabi cenderung akan
berijtihad sendiri dengan mengutip ayat dan hadits yang mendukung.
Atau kalau pun mengutip pendapat ulama, mereka cenderung mengutip
pendapat lbnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim AI Jauziyah. Selanjutnya
mereka akan membuat fatwa sendiri yang kemudian akan menjadi dalil
para pengikut Wahabi/Salafi. Dengan kata lain, sejatinya para pengikut
Wahabi/Salafi bertaqlid buta pada ulama Wahabi/Salafi.
3. Kalangan ulama Salafi/Wahabi sangat jarang mengutip pendapat
ulama Salaf seperti ulama 4 madzhab dan yang lain kecuali madzhab
Hanbali yang merupakan tempat rujukan asal mereka dalam bidang
fiqih,walaupun tidak mereka akui secara jelas. Hanya pendapat Ibnu
Taimiyah dan lbnu Qoyyim Al Jauziyah yang mereka kutip, khususnya
dalam bidang aqidah mereka akan mengutip pendapat Muhammad bin
Abdul Wahhab pendiri madzhab Wahabi dari Najed itu.
4. Apabila mereka mengutip hadits, mereka cenderung menambahkan
kalimat, "dishahihkan oleh Albani" setelah menyebutkan riwayat hadits
tersebut. Siapa albani? Sebenarnya dia bukan muhadist, akan tetapi
tukang service jam, dan kebetulan dia mempelajari dan membaca kitab-
kitab hadist di perpustakaan dan itu pun tanpa guru, berarti sanad keilmuanya terputus dong, tidak sampai Rosullullah SAW.
5. Di mata ulama Salafi/Wahabi, perayaan Islam yang boleh dilakukan
hanya Idhul Fitri dan Idhul Adha, sedangkan perayaan lain seperti
perayaan Maulid Nabi SAW, perayaan Isra Miraj dan sebgainya
dianggap haram dan bid ah, sesat dan masuk neraka katanya.
6. Gerakan atau organisasi lslam di luar ideologi mujasimah
Salafi/Wahabi yang tidak segaris dengan mereka akan dianggap syirik,
kufur, atau bid'ah bahkan hahal untuk memeranginya. Oleh sebab itu
kita tidak perlu heran, banyak tukang fatwa wahabi di sosmed yang
gemar menyerang urusan amaliyah-amaliyah yang sudah berlaku di
tengah-tengah umat islam dengan terang-terangan, seperti ziarah kubur,
yasinan, zikir, tahlilan, sholawatan dan sebagianya, mereka sesat
sesatkan.
7. Pengikut Salafi/Wahabi tidak mau bertaqlid pada ulama salaf (klasik)
dan khalaf (kontemporer), tapi dengan senang hati bertaqlid pada
pendapat dan fatwa ulama-ulama Wahabi/Salafi yang dikeluarkan oleh
Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal lfta' dan lembaga ulama-ulama
yang menjadi anggota Harah Kibaril Ulama yang nama lengkapnya
adalah Risalah al Ammah lil Buhuts Wal Afta, yang kemudian diluaskan
melaui buku, majalah atau situs mereka.
8. Pengikut Salafi/Wahabi sangat menghormati ulama-ulama mereka
dan selalu menyebut ulama Salafi/Wahabi dengan sebutan Syekh dan
diakhiri dengan rahimahullah atau hafidzahullah. Seperti Syekh
Utsaimin, Syekh Bin Baz, Syekh Albani dil. Tapi menyebut ulama lain
cukup menyebut namanya saja.
9. Apa bila di dunia nyata mereka akan cendrung menyendiri (tidak ada
istilah sosialisasi terhadap sesama manusia) sebab doktrin ngulama
majhul mujasimahnya selalu berfatwa jangan bergaul dengan ahlul
bid'ah. Meskipun bid'ah versi pemikiran mereka sendiri.
Maka dari itu sebenarnya ketika kita membaca buku atau artikel di
internet, tidak terlalu sulit membedakan apakah tulisan itu bernafaskan
Salafi/Wahabi atau tidak. Karena secara garis besar cir-ciri mereka
tidak jauh dari poin-poin di atas.
Namun sangat disayangkan ketidaktahuan ini sering menjadi penyebab
seseorang yang sebenarnya Ahlusunnah Wal Jama'ah kemudian tanpa
sadar ia mengutip fatwa-fatwa Salafi/Wahabi. Hal ini banyak sekali
terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.
Intinya cara termudah mengetahui seorang ulama atau ustadz atau
aktivis apakah dia Salafi/Wahabi adalah bisa dilihat dari latar belakang
pendidikannya, buku atau kitab yang selalu dikutip dan cara dia
menyebut ulama Salafi/Wahabi dan ulama non Salafi/Wahabi.

Senin, 23 Maret 2020

Wahabi Yang Sebenarnya

RUDUD 1

Apabila Wahhabi berkata: "Kami adalah salafi"

Maka katakan:
Kalian pembohong, karena faktanya:
✔️Panutan kalian bukan ulama salaf, Ibnu Taimiyah hidup pada abad ke 7/8 hijriyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada abad ke 12 hijriyah. Sedangkan Salaf itu mereka yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah. 
✔️Aqidah kalian bertentangan dengan Aqidah Salaf. Kalian meyakini Allah berupa jisim dan berada pada tempat dan arah, sedangkan ulama Salaf mensucikan Allah dari semua itu. Al Imam Ahmad bin Hanbal as Salafi (241H) yang kalian klaim sebagai imam kalian berkata:
من قال أن الله جسم لا كالأجسام كفر
"Barangsiapa yang berkata bahwa Allah itu jisim tidak seperti jisim maka dia kufur"

(Diriwayatkan oleh al Imam Badruddin az Zarkasyi dalam kitab Tasynif al Masaami' Syarh Jam'i al Jawami')

RUDUD 2

Apabila Wahhabi berkata:
"Kami bukan Wahhabiy, Wahhabiy itu pengikut Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum bukan pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, karena jika pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab maka nisbatnya pasti Muhammadiy bukan Wahhabiy"

Maka katakan:
Kalian ingin lari dari fatwa para ulama tentang kesesatan kalian.
✔️Penisbatan suatu madzhab kepada nama ayah atau kakek pendiri madzhab adalah sesuatu yang biasa di kalangan umat Islam. Al Imam Ahmad bin Hanbal nama madzhabnya Hanbaliy bukan Ahmadiy, al Imam Muhammad bin Idris nama madzhabnya Syafi’iy bukan Muhammadiy dan seterusnya.
✔️Kenapa para ulama menyebut kalian dengan Wahhabiy bukan Muhammadiy?
👆Agar umat Islam tidak terkecoh oleh kesesatan kalian, menganggap bahwa kalian pengikut Muhammad Rasulullah, padahal faktanya kalian adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi.
✔️ Tokoh panutan kalian mengakui nama Wahhabi sebagai pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata:
اَلْوَهَّابِيَّةُ مَنْسُوْبَةٌ إِلَى الشَّيْخِ الْإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ رَحِمَهُ اللهُ اَلْمُتَوَفَّى سَنَةَ 1206 هـ
"AL-WAHHAABIYYAH dinisbatkan kepada Syeikh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –rahimahullaah- yang wafat tahun 1206 H" (lihat: http://www.saaid.net/monawein/sh/16.htm) 

RUDUD 3

Apabila Wahhabi berkata:
"Ayo kembali kepada al Qur'an dan hadits"

Maka katakan:
Perkataan kamu benar, tetapi tujuan kamu dalam mengucapkan perkataan itu keliru. 
كلمة حق اريد بها باطل
✔️Karena tujuan kalian adalah melarang umat Islam taqlid (bermadzhab) pada empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hanbaliy) dan mengalihkannya pada madzhab kalian; madzhab Wahhabi (mengikuti Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi).
✔️Konsekuensi perkataan kalian adalah menyeret umat Islam untuk memahami sendiri al Qur'an dan hadits, meskipun tidak punya kemampuan, atau menyeret mereka untuk taqlid pada para penerjemah al Qur'an dan hadits yang tentunya keilmuan mereka masih sangat jauh di bawah para ulama madzhab empat. Hasilnya adalah penyimpangan dan kesesatan dalam agama. 
✔️Kembali kepada al Qur'an dan hadits yang benar adalah dengan bermadzhab (mengikuti pemahaman para ulama mujtahidin terhadap al Qur'an dan hadits), karena kita bukan orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad sendiri dari al Qur'an dan hadits. Allah berfirman:
(فَسۡـَٔلُوۤا۟ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ)
[Surat An-Nahl 43]
"Bertanyalah kalian kepada ahl adz dzikri (ulama) jika kalian tidak mengetahui".

RUDUD 4

Apabila Wahhabi berkata:
"Ilmu kalam itu ilmu yang tercela, para ulama Salaf tidak pernah ada yang belajar atau mengajarkan ilmu kalam, seandainya ilmu kalam itu penting pasti mereka lebih dulu mempelajarinya"

Maka katakan:
Kalian mencela ilmu kalam karena kalian takut kedok kesesatan kalian terbongkar oleh ilmu kalam.
✔️Jika yang kalian maksud bahwa ulama Salaf itu tidak mengetahui dalil akal tentang adanya Allah dan sifat-sifat-Nya, tetapi keimanan mereka itu hanya sekedar taqlid, maka ini tuduhan yang tercela kepada para ulama Salaf.  Karena Allah telah mencela orang yang taqlid dalam keimanan. Allah berfirman:
 إِنَّا وَجَدۡنَاۤ ءَابَاۤءَنَا عَلَىٰۤ أُمَّةࣲ وَإِنَّا عَلَىٰۤ ءَاثَـٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ
[Surat Az-Zukhruf 23]
✔️Apabila yang kalian maksud bahwa Rasulullah dan para sahabatnya tidak pernah menggunakan istilah-istilah seperti jauhar, Ardl, hajm dan seterusnya *maka itu benar*, tetapi apakah kalian juga akan mengingkari istilah-istilah an Nasikh wal Mansukh, al Muthlaq wa al Muqoyyad, al Am wa al Khosh, hadits shohih, hadits Hasan dan hadits dloif dan istilah disiplin ilmu agama lainya yang juga tidak pernah digunakan Rasulullah dan para sahabatnya?!, pasti kalian tidak berani mengingkarinya, karena kalian juga mempelajarinya. 
✔️Kalian berbohong jika mengatakan para ulama Salaf tidak ada yang belajar dan mengajarkan ilmu kalam. Sebagian ulama Salaf terbukti juga ada yang memiliki perhatian serius terhadap ilmu kalam. Al Imam Abu Hanifah (150 H) mempunyai 5 kitab khusus mengaji ilmu kalam, yaitu al Fiqh al Akbar, al Fiqh al Absath, al Washiyyah, al Alim wa al Muta'allim dan ar Risalah. Al Imam as Syafi’iy (204 H) memiliki dua kitab dalam ilmu kalam, yaitu al Qiyas dan ar Radd ala al Barahimah
✔️Terakhir, perhatikan perkataan al Imam Abu Hanifah ketika ditanya kenapa beliau berbicara panjang lebar tentang ilmu kalam berikut ini:
إنما مثلهم كأناس ليس بحضرتهم من يقاتلهم فلم يحتاجوا إلى إبراز السلاح، ومثلنا كأناس بحضرتهم من يقاتلهم فاحتاجوا إلى إبراز السلاح
"Perumpamaan Mereka (para sahabat) itu seperti orang-orang yang di hadapan mereka tidak ada orang yang memeranginya, sehingga tidak perlu menunjukkan senjata, dan perumpamaan kita itu seperti orang-orang yang di hadapan mereka ada orang yang memeranginya sehingga mereka perlu menunjukkan senjata".

RUDUD 5

Apabila Wahhabi berkata :
Imam Al Asy’ari di akhir hayatnya telah kembali kepada manhaj Salaf (versi Wahhabi) dengan bukti karya terakhirnya al Ibanah 'an ushul ad Diyanah

Maka katakan:
✔️Kitab al Ibanah 'an ushul ad Diyanah tidak dapat dijadikan referensi untuk menilai Aqidah imam al Asy’ari. Karena kitab tersebut telah disisipi (madsus) dengan sesuatu yang bukan berasal dari beliau, dengan bukti:
1⃣Tidak ada murid imam al Asy’ari yang meyakini seperti keyakinan yang di al Ibanah, tentu para murid Imam Al Asy’ari lebih tahu ttg Aqidah gurunya dari pada orang Wahhabi
2⃣ Al Ibanah dicetak dengan banyak nuskhoh yang saling kontradiksi satu dengan yang lain. Seandainya kitab itu tidak madsus pasti tidak ada kontradiksi di antara nuskhoh yang ada. 
3⃣ Al Ibanah tidak populer di kalangan Asy’ariyah, tetapi justru beredar di kalangan Wahhabi.
4⃣ Abu Bakr ibn Furok menulis kitab Mujarrod Maqaalaat al Asy’ariy yang mengumpulkan pendapat imam al Asy’ari yang paling shahih, ternyata sama sekali tidak mengutip perkataan imam al Asy’ari dalam kitab al Ibanah.
✔️ Dikatakan dalam kitab tersebut bahwa di antara do'a umat Islam adalah:
يا ساكن السماء
"Wahai penduduk langit" 

Padahal tidak ada seorang pun umat Islam yg berdo'a sprti itu, karena penduduk langit adalah para malaikat. Rasulullah bersabda :
ما في السّموات مَوضِعُ أربَع أصابِع إلا وفيهِ مَلَكٌ قائِم أو راكِعٌ أو سَاجِد
"Tidak ada di langit tempat empat jari kecuali di situ ada malaikat yang berdiri, rukuk atau sujud (Diriwayatkan oleh al Imam at Thobaroni)

RUDUD 6

Apabila Wahhabi berkata:
Asy’ariyah dan Maturidiyah bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Jika Ahlussunnah wal Jama’ah itu Asy’ariyah dan Maturidiyah berarti umat Islam yang hidup sebelum imam al Asy’ari dan imam al Maturidiy bukan Ahlussunnah wal Jama’ah?!"

Maka katakan:
Itu kesimpulan yang salah. 
✔️Konsekuensi perkataan kalian ini adalah bahwa menurut kalian pengikut madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hanbaliy juga bukan Ahlussunnah wal Jama’ah (pengikut Rasulullah dan para sahabatnya), karena mereka juga menisbatkan diri pada imam madzhab empat. 
👆Padahal faktanya tidak demikian, pengikut empat madzhab tersebut adalah pengikut Rasulullah dan para sahabatnya, sebab para imam madzhab tersebut mengambil ajaran-ajaranya dari al Qur'an dan hadits.
Beranikah kalian mengatakan begitu?!, tentu tidak. 
✔️Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dan Abu Manshur karena jasa kedua imam tersebut yang sangat besar dalam menolong Aqidah Rasulullah dan sahabatnya di saat Aqidah Rasulullah dan sahabatnya dirusak oleh kelompok-kelompok menyimpang seperti Muktazilah, Qodariyah, Jabriyah, Murjiah, Mujassimah dan lainya.
👆Apa yang beliau berdua lakukan?
Beliau berdua tidak membuat aqidah baru, tetapi hanya merumuskan Aqidah Rasulullah dan sahabatnya dengan disertai dalil naqliy (al Qur'an dan hadits) dan diperkuat serta dibuktikan kebenarannya dengan dalil aqli (dalil Rasional), sehingga semua syubhah kelompok-kelompok menyimpang dapat dihilangkan, dan Aqidah Rasulullah dan para sahabatnya dapat dengan mudah dipahami umat Islam.
✔️Aqidah al Imam Al Asy’ari dan al Imam Al Maturidi adalah juga Aqidah imam madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Hanbaliy), terbukti para ulama penganut madzhab empat tersebut dalam bidang Aqidah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.

RUDUD 7

Apabila Wahhabi berkata:
"Tanah Haram (Makkah dan Madinah) berada pada kekuasaan kami, itu menunjukkan bahwa kami dalam kebenaran"

Maka katakan:
Tidak diragukan bahwa tanah haram (Makkah dan Madinah) adalah tanah yang paling mulia di muka bumi ini. Tetapi keberadaan kalian di tanah haram tidak menunjukkan bahwa kalian dalam kebenaran. Salman al Farisi Radliyallahu anhu berkata:
إِنَّ الْأَرْضَ لَا تُقَدِّسُ أَحَدًا. وَإِنَّمَا يُقَدِّسُ الْإِنْسَانَ عَمَلُهُ.
"Sesungguhnya tanah itu tidak mensucikan seseorang, tetapi amal-lah yang mensucikan (bermanfaat bagi) seseorang"
👆Orang yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama’ah meski bertempat tinggal jauh dari tanah haram lebih baik dari orang yang tinggal di tanah haram tetapi beraqidah menyimpang, seperti kalian. 
✔️Perlu juga kalian ingat bahwa sebelum diutusnya nabi Muhammad, Makkah dikuasai oleh orang-orang musyrik seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan lainnya. Meski tinggal di Makkah mereka tidak menjadi mulia, keberadaan mereka di Makkah tidak memberi manfaat sama sekali kepada mereka. 
✔️Perlu juga kalian ingat bahwa sebelum kalian memberontak terhadap khilafah Utsmaniyah dan menjajah tanah haram sekitar dua ratus tahun lalu, berabad-abad lamanya tanah haram sepenuhnya berada di tangan Ahlussunnah wal Jama’ah.
✔️Perlu juga kalian ingat bahwa ketika tanah haram dalam pengurusan kami Ahlussunnah wal Jama’ah, semua atsar Rasulullah dan para sahabatnya tetap terjaga dengan baik. Dan setelah kalian menjajahnya ribuan atsar Rasulullah dan para sahabatnya kalian hancurkan, kehormatan Rasulullah kalian nodai.

RUDUD 8

Apabila Wahhabi berkata:
"Kami tidak bermadzhab, kami mengikuti Rasulullah secara langsung sebagaimana para ulama salaf"

Maka katakan:
Kalian sedang mengigau, tidak mengetahui apa yang kalian katakan. Bagaimana kalian bisa mengikuti Rasulullah secara langsung?! 
✔️Apakah kalian pernah bertemu dengan Rasulullah secara langsung?!, jawabannya pasti tidak.

Jika mereka berkata: "Kami mengikuti Rasulullah dengan memahami sunnah-sunnahnya secara langsung"

Maka katakan:
✔️Apakah anda menguasai bahasa Arab dengan segala alatnya (Nahwu, shorof, balaghoh dan lainya)?
✔️Apakah kamu hafal al Qur'an dan ratusan ribu hadits dg sanadnya?
✔️Apakah kamu paham asbabun nuzul dan asbabul wurud?
✔️Apakah kamu paham an Nasikh wal Mansukh, al Am wal Khosh, al muhkam wal mutasyabih, al muthlaq wal muqayyad, al mujmal wal mubayyan dan seterusnya?
Jawabannya pasti juga tidak.

Jika mereka berkata:
"Kami memahaminya dengan membaca terjemahan al Qur'an dan hadits".

Maka katakan:
Itu namanya taqlid (mengikuti pemahaman) penerjemah. Apakah menurut kalian para penerjemah itu lebih luas ilmunya dari imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i dan imam Ahmad?! Sehingga kalian rela meninggalkan para imam madzhab dan beralih taqlid pada para penerjemah al Qur'an dan hadits.

Apabila mereka berkata:
"Kami mengikuti para ulama dan ustadz-ustadz sunnah".

Maka katakan:
Itulah yang disebut taqlid, tadi kalian katakan mengikuti Rasulullah secara langsung dan sekarang kalian katakan ikut 'ulama sunnah'?! Ini kontradiksi...!!
✔️Perlu kalian ketahui! al Hafidz an Nawawi, al Hafidz Ibnu Hajar al Asqolani, al Hafidz al Bayhaqi, al Imam Al Ghozali dan jutaan ulama lainnya, meskipun dari segi keilmuan mereka jauh lebih tinggi dari kalian tetapi mereka juga bermadzhab.
Aneh.. jika orang-orang seperti kalian tidak mau bermadzhab.
✔️Perkataan kalian bahwa para ulama Salaf tidak ada yang taqlid juga tidak benar, apabila kalian pernah membaca kitab-kitab mushtholahul hadits seperti Tadrib ar Rowi pastilah kalian tahu bahwa para sahabat yang telah mencapai derajat Mufti atau Mujtahid itu hanya ada 200 sahabat [menurut pendapat yang kuat], artinya ratusan ribu sahabat lainya bertaqlid kepada yang dua ratus tersebut.

RUDUD 9

Apabila Wahhabi berkata:
"Perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi, karena itu haram dilakukan"

Maka katakan:
Kesimpulan yang ngawur dan tidak berdasar.
✔️Perbuatan yang dilarang atau diharamkan itu adalah jika ada dalil yang melarang, atau mencela perbuatan tersebut. Allah ta'ala berfirman:
وما ءاتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
"Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia *dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah"*

Allah *tidak* berfirman:
وما تركه فانتهوا عنه
"Dan apa yang ditinggalkan Rasulullah maka tinggalkanlah"

👆Kesimpulannya: Jika tidak ada dalil yang melarang atau mencela suatu perbuatan maka perbuatan tersebut boleh dilakukan.
✔️Berdasarkan ayat di atas para ulama menetapkan sebuah kaidah:
ترك الشيء لا يدل على منعه
"Meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan dilarangnya sesuatu itu"
✔️Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak melakukan suatu perbuatan, maka mengandung beberapa kemungkinan:
1⃣Karena tidak terbiasa melakukanya
2⃣Karena tidak terpikir sama sekali untuk melakukanya
3⃣Karena khawatir perbuatan itu akan diwajibkan sehingga akan memberatkan umatnya
4⃣Karena perbuatan itu sudah masuk dalam keumuman ayat atau hadis
5⃣ Dan kemungkinan lainnya.

🙏Jadi sungguh keliru, jika disimpulkan bahwa setiap yang tidak dilakukan Nabi maka haram untuk dilakukan umatnya.

RUDUD 10

Apabila Wahhabi berkata:
"Setiap bid'ah itu sesat berdasarkan hadits:
 وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" 

Maka katakan:
Kalian memahami hadits berdasarkan hawa nafsu, tidak berdasarkan ilmu dan penjelasan para ulama. 
✔️Apakah kalian merasa lebih paham tentang hadits ini dari pada al Imam an Nawawi (pensyarah kitab Shahih Muslim) ?!
Al Imam an Nawawi dalam kitab "Syarh Shahih Muslim" mengatakan:
هذا عامٌّ مخصوص، والمراد: غالب البدع
"Hadits ini lafadznya umum, maknanya dikhususkan, maksudnya adalah kebanyakan bid'ah"
🙏Jadi makna hadits itu: "Kebanyakan bid'ah itu sesat, bukan setiap bid'ah itu sesat" 
✔️Apakah menurut kalian al Imam as Syafi’iy yang hafal ratusan ribu hadits beserta sanadnya tidak mengetahui hadits ini atau mengetahui tetapi tidak memahaminya? Sehingga beliau berkata:
البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم
"Bid'ah itu ada dua, bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Bid'ah yang sesuai dengan sunnah maka terpuji dan bid'ah yang bertentangan dengan sunnah maka tercela". (Lihat kitab Hilyatul Awliya') 
✔️Apakah menurut kalian al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani (pensyarah kitab Shahih al Bukhari) tidak mengetahui atau tidak memahami hadits ini?! Sehingga beliau dalam kitab Fath al Bari berkata:
وكل ما لم يكن في زمنه– صلى الله عليه وسلم –  يسمى بدعة، لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك
"Dan setiap sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam itu disebut bid'ah, tetapi di antara bid'ah ada yang baik dan di antaranya juga yang tidak baik". 

⭕Jika kalian mengatakan bahwa para ulama itu tidak memahami hadits tersebut dan hanya kalian yang memahaminya maka ini menjadi bukti kebodohan dan fanatisme dan kecintaan kalian terhadap Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga membutakan dan menulikan kalian dari melihat kebenaran. Keadaan kalian seperti sabda Nabi:
«حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ»
"Kecintaan kamu terhadap sesuatu membutakan dan menulikan"

RUDUD 10

Apabila Wahhabi berkata:
"Setiap bid'ah itu sesat berdasarkan hadits:
 وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ" 

Maka katakan:
Kalian memahami hadits berdasarkan hawa nafsu, tidak berdasarkan ilmu dan penjelasan para ulama. 
✔️Apakah kalian merasa lebih paham tentang hadits ini dari pada al Imam an Nawawi (pensyarah kitab Shahih Muslim) ?!
Al Imam an Nawawi dalam kitab "Syarh Shahih Muslim" mengatakan:
هذا عامٌّ مخصوص، والمراد: غالب البدع
"Hadits ini lafadznya umum, maknanya dikhususkan, maksudnya adalah kebanyakan bid'ah"
🙏Jadi makna hadits itu: "Kebanyakan bid'ah itu sesat, bukan setiap bid'ah itu sesat" 
✔️Apakah menurut kalian al Imam as Syafi’iy yang hafal ratusan ribu hadits beserta sanadnya tidak mengetahui hadits ini atau mengetahui tetapi tidak memahaminya? Sehingga beliau berkata:
البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم
"Bid'ah itu ada dua, bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah madzmumah (tercela). Bid'ah yang sesuai dengan sunnah maka terpuji dan bid'ah yang bertentangan dengan sunnah maka tercela". (Lihat kitab Hilyatul Awliya') 
✔️Apakah menurut kalian al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani (pensyarah kitab Shahih al Bukhari) tidak mengetahui atau tidak memahami hadits ini?! Sehingga beliau dalam kitab Fath al Bari berkata:
وكل ما لم يكن في زمنه– صلى الله عليه وسلم –  يسمى بدعة، لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك
"Dan setiap sesuatu yang tidak ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam itu disebut bid'ah, tetapi di antara bid'ah ada yang baik dan di antaranya juga yang tidak baik". 

⭕Jika kalian mengatakan bahwa para ulama itu tidak memahami hadits tersebut dan hanya kalian yang memahaminya maka ini menjadi bukti kebodohan dan fanatisme dan kecintaan kalian terhadap Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, sehingga membutakan dan menulikan kalian dari melihat kebenaran. Keadaan kalian seperti sabda Nabi:
«حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ»
"Kecintaan kamu terhadap sesuatu membutakan dan menulikan"

RUDUD 12

"Apabila Wahhabi berkata:
Takwil tidak boleh, karena tidak ada ulama salaf yang mentakwil"

Maka katakan:
Kalian telah dibodohi para ustadz wahhabi berkedok 'sunnah'. Jika yang kalian maksud adalah takwil tafshili memang kebanyakan salaf tidak melakukannya, tetapi banyak juga yang melakukannya, di antaranya:
1⃣ Sahabat Abdullah Ibnu Abbas mentakwil ayat:
يوم يكشف عن ساق) (سورة القلم:42)
beliau berkata:
 عن شدة من الأمر
"dahsyatnya dan beratnya urusan (pada hari kiamat).
(Diriwayatkan oleh al Imam Ibnu Hajar al Asqolani dalam kitab Fathul bari Syarh Shahih al Bukhari) 
2⃣ Al Tabi'i Mujahid (murid Ibnu Abbas) mentakwil ayat:
فأينما تولوا فثمّ وجه الله (سورة البقرة:115)
beliau berkata:
قبلة الله 
"maksudnya adalah kiblat Allah" 
(Diriwayatkan oleh al Hafidz al Bayhaqi dalam Al Asma wa as Shifat) 
3⃣Al Imam Al Bukhari dalam kitab  Shahih al Bukhari mentakwil ayat:
كل شىء هالك إلا وجهه (سورة القصص:88)
beliau berkata:
  إلا ملكه ويقال إلا ما أريد به وجه الله. ا.هـ.
"kecuali kekuasaannya dan dikatakan kecuali sesuatu yang dimaksudkan karena mencari ridlo Allah"
4⃣Al Imam Ahmad bin Hanbal mentakwil firman Allah:
وجآء ربك (سورة الفجر:22)
- beliau mengatakan:
 أنه جاء ثوابه
"datang pahalanya" 

(Diriwatkan oleh Ibnu Katsir dalam al Bidayah wa an Nihayah) 
- Dalam riwayat al Imam al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad, al Imam Ahmad berkata:
اي جاءت قدرته 
 "datang kekuasaannya"

✔️Perlu kalian pahami, semua para ulama; baik Salaf maupun kholaf itu melakukan takwil terhadap ayat atau hadits mutasyabihat yang makna dhahirnya mengindikasikan bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya.
👆Takwil yang mereka terapkan ada dua macam, yaitu:
1⃣Takwil ijmaliy yang sering disebut dengan istilah tafwidl, yaitu mengalihkan makna ayat atau hadits mutasyabihat dari makna dzahirnya, tanpa menentukan maknanya.
♦️Contoh takwil ini adalah seperti yang dikatakan oleh al Imam Malik ketika ditanya tentang QS Thoha:5, beliau berkata:
الرحمن على العرش استوى كما وصف نفسه، ولا يقال كيف، وكيف عنه مرفوع
"Allah istawa 'ala al Arsy sebagaimana Dia mensifati Dzat-Nya dengan tanpa dikatakan kaif (disifati dengan sifat makhluk) dan Kaif (sifat makhluk) itu mustahil (bagi Allah)" . 
♦️Di sini al Imam Malik menjelaskan bahwa makna istawa dalam ayat tersebut itu bukan sifat makhluk, artinya bukan duduk atau bersemayam yang merupakan makna dzahirnya, karena keduanya merupakan sifat makhluk.
♦️Karena tidak memakai makna dzahirnya maka disebut takwil. 
2⃣Takwil tafshili, yaitu mengalihkan makna ayat atau hadits mutasyabihat dari makna dzahirnya dengan menentukan maknanya secara langsung.
♦️Meskipun kebanyakan Salaf tidak menerapkan jenis takwil ini, tetapi sebagaimana kita uraikan di atas, tidak sedikit juga ulama salaf yang mentakwil secara tafshili dan tidak ada satupun dari mereka yang melarangnya.

RUDUD 13

Apabila Wahhabi berkata:
"Saya ada dan saya bertempat, kamu ada dan kamu juga bertempat, bumi ada dan bumi juga bertempat, langit ada dan langit juga bertempat, Allah ada maka Allah juga pasti bertempat, sebab tidak mungkin sesuatu yang ada itu tidak bertempat"

Maka katakan:
✔️Itu wahm (khayalan dan fatamorgana) kalian. Kalian seperti orang yang berdiri di pantai pada saat matahari tenggelam, kemudian kalian mengatakan, *mataharinya tenggelam ke dalam laut*. 
✔️Kesalahan terbesar kalian adalah tidak mau memakai akal, sebaliknya lebih senang memakai wahm (khayalan) belaka. Mari kita sedikit menggunakan akal. Jawablah beberapa pertanyaan berikut:
✔️Tempat seperti Arsy, langit, bumi dan seterusnya itu makhluk (diciptakan) atau bukan?!.
➡️ Apabila kalian menjawab, tempat bukan makhluk maka kalian telah mensekutukan Allah dengan makhluk-Nya yaitu tempat, dalam hal sama-sama sebagai pencipta yang azali (tidak berpermulaan), bukan makhluk. Allah telah berfirman:
(هَلۡ مِنۡ خَـٰلِقٍ غَیۡرُ ٱللَّهِ)
[Surat Fathir 3]
"Katakanlah, tidak ada pencipta selain Allah"
➡️Apabila kalian menjawab, tempat itu makhluk (diadakan dari tidak ada menjadi ada), maka di mana Allah sebelum terciptanya tempat?!. Di sini tidak ada jawaban bagi kalian selain mengatakan: *"Allah ada tanpa tempat"*. Jika menurut kalian, logis (bisa diterima akal) adanya Allah tanpa tempat sebelum terciptanya tempat, lalu kenapa akal kalian tidak bisa menerima adanya Allah tanpa tempat setelah terciptanya tempat?! Berfikirlah...
Apabila kalian meyakini bahwa setelah menciptakan tempat Allah berubah menjadi bertempat, maka sesungguhnya kalian telah mensifati Allah dengan tanda terbesar makhluk yaitu berubah. Para ulama berkata:
التغير أكبر علامات الحدوث
"Berubah adalah tanda terbesar kebaharuan (makhluk)".
Argumentasinya:
♦️Setiap yang berubah pasti ada yang menjadikannya berubah dan sesuatu yang dijadikan disebut makhluk. 
♦️Setiap yang berubah pasti membutuhkan pada yang merubah dan sesuatu yang membutuhkan pada yang lain adalah lemah, dan yang lemah itu bukan Tuhan, tetapi makhluk. 
🙏Maka mustahil Allah itu berubah.

Apabila Wahhabi berkata:
Kami tidak mau menggunakan akal.

Maka katakanlah:
Inilah musibah terbesar bagi kalian, bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk berfikir tentang makhluk agar kita mengenal Allah?!, Allah berfirman:
(وَفِیۤ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ)
[Surat Adz-Dzariyat 21]
"Dan pada diri kalian apakah kalian tidak berfikir)
✔️Apabila kalian tetap mengkufuri nikmat akal, maka sebenarnya penjelasan tentang adanya Allah tanpa tempat sebelum adanya tempat telah disampaikan oleh Rasulullah dalam haditsnya:
كان الله ولم يكن شيء غيره
" Allah ada (pada azal) dan belum ada sesuatupun selainnya"
(Diriwayatkan oleh al Imam Al Bukhari) 
♦️Artinya pada azal Allah ada dan belum tercipta Arsy, langit, bumi dan tempat lainnya.
Dan bagaimana setelah terciptanya tempat?!, Sayyidina Ali bin Abi Tholib Radliyallahu menjelaskan :
كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان
"Pada azal Allah ada tanpa tempat dan sekarang (setelah terciptanya tempat) tetap seperti semula (ada tanpa tempat)" (Diriwayatkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bain al Firaq).

RUDUD 14

Apabila Wahhabi berkata:
"Allah itu duduk tidak seperti duduk kita, Allah itu jisim tidak seperti jisim kita"

Maka katakan:
✔️Perkataan kalian "tidak seperti duduk kita dan tidak seperti jisim kita" tidak bisa menyelamatkan kalian dari paham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)
✔️Perkataan kalian ini berbeda dengan perkataan sebagian ulama:
الله استوى لا كاستوائنا، لله عين لا كأعيننا، لله يد لا كأيدينا، لله وجه لا كوجوهنا
dengan argumentasi sebagai berikut:
1⃣Penisbatan julus (duduk) dan jisim tidak ada dalam al Qur'an dan hadits, berbeda dengan istiwa', 'ain, yad dan wajh yang penisbatanya pada Allah ada dalam Al Qur'an dan hadits. 
2⃣Julus (duduk) dan jisim adalah sifat yang khusus untuk makhluk dan tidak layak bagi Allah. 
✔️Duduk secara bahasa diperuntukkan untuk sesuatu yang memiliki dua bagian tubuh atas dan bawah, yaitu ketika pantat menempel pada tempat yang diduduki. Karenanya tidak dikatakan: "Pohon itu duduk" , karena pohon tidak memiliki lekukan badan bagian bawah dan pantat. 
✔️Jisim secara bahasa artinya sesuatu yang memiliki panjang, lebar dan kedalaman, atau dengan kata lain jisim adalah benda yang tersusun.

Berbeda dengan kata Istiwa', wajh, 'ain dan yad. Dalam bahasa Arab kata-kata tersebut memiliki makna lebih dari satu, yang sebagian maknanya layak bagi Allah dan sebagian lagi tidak layak bagi Allah. 
☑️Istiwa' memiliki 15 makna, di antaranya adalah duduk, bersemayam, menguasai, sempurna, tegak lurus, berlabuh, masak dan lainnya.
☑️Wajh memiliki beberapa makna, di antaranya adalah muka anggota badan, dzat, kiblat, ketaatan dan lainya
☑️Yad memiliki beberapa makna, di antaranya adalah tangan anggota badan, kekuasaan, janji dan lainya
☑️Ain memiliki beberapa makna, di antaranya adalah mata anggota badan, mata-mata, penjagaan, sumber air dan lainnya 
✔️Sehingga:
- ketika dikatakan استوى لا كاستوائنا berarti bukan duduk atau bersemayam, karena jika diartikan duduk atau bersemayam maka akan sama dengan istiwa' manusia. 
- Ketika dikatakan يد لا كأيدينا berarti bukan tangan anggota badan, karena jika diartikan tangan anggota badan maka akan sama dengan yad manusia 
- Ketika dikatakan وجه لا كوجوهنا berarti bukan muka anggota badan, karena jika diartikan muka anggota badan maka akan sama dengan wajh manusia
- Ketika dikatakan عين لا كأعيننا berarti bukan mata anggota badan, karena jika diartikan mata anggota badan maka akan sama dengan 'ain manusia. 
🙏Dengan demikian Perkataan kalian (Allah duduk tidak seperti duduk kita dan Allah itu jisim tidak seperti jisim kita) itu seperti perkataan: "Allah tidur tidak seperti tidur kita, Allah itu ngantuk tidak seperti ngantuk kita, Allah itu lemah tidak seperti lemahnya kita".
Dan wajar apabila al Imam Ahmad bin Hanbal Radliyallahu anhu berkata:
من قال الله جسم لا كالأجسام كفر
"Barangsiapa yang berkata: Allah itu jisim tidak seperti jisim maka dia kufur"

(Diriwayatkan oleh al Imam Badruddin az Zarkasyi dalam kitab Tasynif al Masaami bi Syarh Jam'i al Jawami')

RUDUD 14

Apabila Wahhabi berkata:
"Allah itu duduk tidak seperti duduk kita, Allah itu jisim tidak seperti jisim kita"

Maka katakan:
✔️Perkataan kalian "tidak seperti duduk kita dan tidak seperti jisim kita" tidak bisa menyelamatkan kalian dari paham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)
✔️Perkataan kalian ini berbeda dengan perkataan sebagian ulama:
الله استوى لا كاستوائنا، لله عين لا كأعيننا، لله يد لا كأيدينا، لله وجه لا كوجوهنا
dengan argumentasi sebagai berikut:
1⃣Penisbatan julus (duduk) dan jisim tidak ada dalam al Qur'an dan hadits, berbeda dengan istiwa', 'ain, yad dan wajh yang penisbatanya pada Allah ada dalam Al Qur'an dan hadits. 
2⃣Julus (duduk) dan jisim adalah sifat yang khusus untuk makhluk dan tidak layak bagi Allah. 
✔️Duduk secara bahasa diperuntukkan untuk sesuatu yang memiliki dua bagian tubuh atas dan bawah, yaitu ketika pantat menempel pada tempat yang diduduki. Karenanya tidak dikatakan: "Pohon itu duduk" , karena pohon tidak memiliki lekukan badan bagian bawah dan pantat. 
✔️Jisim secara bahasa artinya sesuatu yang memiliki panjang, lebar dan kedalaman, atau dengan kata lain jisim adalah benda yang tersusun.

Berbeda dengan kata Istiwa', wajh, 'ain dan yad. Dalam bahasa Arab kata-kata tersebut memiliki makna lebih dari satu, yang sebagian maknanya layak bagi Allah dan sebagian lagi tidak layak bagi Allah. 
☑️Istiwa' memiliki 15 makna, di antaranya adalah duduk, bersemayam, menguasai, sempurna, tegak lurus, berlabuh, masak dan lainnya.
☑️Wajh memiliki beberapa makna, di antaranya adalah muka anggota badan, dzat, kiblat, ketaatan dan lainya
☑️Yad memiliki beberapa makna, di antaranya adalah tangan anggota badan, kekuasaan, janji dan lainya
☑️Ain memiliki beberapa makna, di antaranya adalah mata anggota badan, mata-mata, penjagaan, sumber air dan lainnya 
✔️Sehingga:
- ketika dikatakan استوى لا كاستوائنا berarti bukan duduk atau bersemayam, karena jika diartikan duduk atau bersemayam maka akan sama dengan istiwa' manusia. 
- Ketika dikatakan يد لا كأيدينا berarti bukan tangan anggota badan, karena jika diartikan tangan anggota badan maka akan sama dengan yad manusia 
- Ketika dikatakan وجه لا كوجوهنا berarti bukan muka anggota badan, karena jika diartikan muka anggota badan maka akan sama dengan wajh manusia
- Ketika dikatakan عين لا كأعيننا berarti bukan mata anggota badan, karena jika diartikan mata anggota badan maka akan sama dengan 'ain manusia. 
🙏Dengan demikian Perkataan kalian (Allah duduk tidak seperti duduk kita dan Allah itu jisim tidak seperti jisim kita) itu seperti perkataan: "Allah tidur tidak seperti tidur kita, Allah itu ngantuk tidak seperti ngantuk kita, Allah itu lemah tidak seperti lemahnya kita".
Dan wajar apabila al Imam Ahmad bin Hanbal Radliyallahu anhu berkata:
من قال الله جسم لا كالأجسام كفر
"Barangsiapa yang berkata: Allah itu jisim tidak seperti jisim maka dia kufur"

(Diriwayatkan oleh al Imam Badruddin az Zarkasyi dalam kitab Tasynif al Masaami bi Syarh Jam'i al Jawami')

RUDUD 15

Apabila Wahhabi berkata:
"Allah itu berada di atas langit, buktinya ketika berdo'a kita menghdapkan telapak tangan bagian dalam ke arah langit"

Maka katakanlah:
Itu dalih bukan dalil. Dalih seperti itu sangat mudah dibantah, katakan kepada mereka:
1⃣ Bukankah ketika berdo'a istisqa' kalian menghadapkan telapak tangan bagian dalam ke arah bawah?!.
☑️Jawabannya ya, karena telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika berdo'a istisqa' (meminta hujan), beliau menjadikan bagian dalam telapak tangannya ke arah bumi dan bagian luarnya ke arah langit.
👆Apakah menurut kalian Allah berubah menjadi berada di arah bawah dalam do'a Istisqa'?! حاشا لله
2⃣Ketika kalian sholat, bukankah kalian menghadap Ka'bah?!, jawabannya ya, karena menghadap ka'bah adalah syarat sah sholat.
👆Apakah menurut kalian Allah berubah menjadi berada di dalam Ka'bah hanya karena kita menghdapkan badan kita ke sana ketika sholat ?! حاشا لله 
3⃣Bukankah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang orang yang sholat untuk mengangkat kepalanya ke arah langit?! jawabannya, ya. 
☑️Seandainya Allah itu berada di langit pastilah Rasulullah tidak melarang umat Islam mengangkat kepalanya ke arah langit ketika sholat. 
4⃣ Bukankah ketika mengangkat jari telunjuk dalam sholat, bersamaan dengan mengucapkan الا الله dalam tasyahud, dalam sebagian riwayat dianjurkan untuk sedikit membongkokkan jari tersebut ke arah bawah?!, jawabannya ya. 
☑️Seandainya Allah berada di langit pastilah Nabi mengangkat jari telunjuknya ke arah langit dan bukan membengkokkanya ke arah bawah.

✔️Ketahuilah!! sesungguhnya 
Umat Islam menghadapkan telapak tangan bagian dalam ke arah langit ketika berdo'a itu karena dua hal:
1⃣ Langit adalah qiblat do'a, sebagaimana Ka'bah itu qiblat sholat.
👍Sebagaimana ketika kita menghadap Ka'bah dalam sholat tidak menunjukkan Allah di dalam Ka'bah, demikian juga ketika kita menghadapkan telapak tangan bagian dalam ke arah langit, tidak menunjukkan Allah ada di langit.
👍Menghadap Ka'bah ketika sholat dan menghadapkan telapak tangan bagian dalam ke arah langit ketika berdo'a adalah murni ta'abbud (menjalankan perintah Allah), bukan karena keduanya memiliki keistimewaan berupa menjadi tempat tinggal Allah. 
2⃣Langit adalah tempat turunnya rahmat dan keberkahan.
👍Langit adalah tempat tinggal para malaikat, sebagian mereka diperintahkan Allah menurunkan rahmat dan keberkahan-Nya kepada umat manusia, berupa air hujan, rizki dan lainnya. 

Catatan:
Keterangan di atas di antaranya dijelaskan oleh al Imam Abu Manshur al Maturidiy dalam kitab at Tauhid, al Hafidz Murtadlo az Zabidi dalam Ithaf as Sadah al Muttaqin, al Hafidz Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fath al Bari, al Imam Al Bayadli dalam Isyarat al Maram dan para ulama lainya.
Silahkan dibaca bagi yang ingin memastikan...

RUDUD 16

Apabila Wahhabi berkata:
"Allah itu bertempat di atas langit, buktinya Nabi dimikrajkan ke atas langit untuk bertemu dengan Nya".

Maka katakanlah:
Kalian Asbun (asal bunyi), tidak ada satu ayat atau hadits nabi yang membenarkan pernyataan kalian dan tidak ada perkataan para ulama' yang mendukung pernyataan kalian.
Al Qur'an telah menjelaskan bahwa tujuan Isra' dan Mi'raj adalah untuk memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah.
Tentang Isra', Allah ta'ala berfirman:
(سُبۡحَـٰنَ ٱلَّذِیۤ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَیۡلࣰا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِی بَـٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ *لِنُرِیَهُۥ مِنۡ ءَایَـٰتِنَاۤۚ* إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ)
[Surat Al-Isra' 1]
"Maha suci Dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya pada waktu malam dari masjidil haram ke masjid al aqsha yang kami berkahi sekelilngnya *untuk aku perlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaanku,* sesungguhnya Maha Mendengar dan Maha Melihat"
Tentang Mi'raj, Allah berfirman:
(لَقَدۡ رَأَىٰ مِنۡ ءَایَـٰتِ رَبِّهِ ٱلۡكُبۡرَىٰۤ)
[Surat An-Najm 18]
"Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat sebagian tanda-tanda kekuasaan Tuhannya yang paling besar". 

Apabila Wahhabi berkata:
"Bukankah Nabi bertemu Allah di atas langit ke tujuh?!"

Maka katakanlah:
Itu tidak benar, yang benar adalah Allah memperdengarkan kalam-Nya yang azali dan abadi, bukan bahasa, huruf dan suara kepada Nabi Muhammad ketika beliau berada di atas langit ke tujuh.
✔️Tetapi itu tidak menunjukkan bahwa Allah bertempat di atas langit ke tujuh. Rasulullah berada di atas langit ke tujuh tetapi Allah ada tanpa tempat dan arah, Allah tidak berada di depan, belakang, atas, bawah, kanan dan kiri Nabi.
✔️Kejadian ini sama dengan yang dialami nabi Musa 'alayhisaalam, Allah memperdengarkan kalam-Nya kepada Nabi Musa ketika nabi Musa di bumi, di bukit Thursaina'. Nabi Musa berada di bumi tetapi Allah ada tanpa tempat dan arah, tidak berada di depan, belakang, atas, bawah, kanan atau kiri nabi Musa.

"Apabila Wahhabi berkata:
Bukanlah Rasulullah melihat Allah ketika di atas langit ke tujuh?! "

Maka katakanlah:
Benar, tetapi Nabi melihat Allah dengan hatinya, tidak dengan mata kepala. Sebab Allah tidak dilihat dengan mata kepala di dunia, berdasarkan firman Allah :
(لَّا تُدۡرِكُهُ ٱلۡأَبۡصَـٰرُ وَهُوَ یُدۡرِكُ ٱلۡأَبۡصَـٰرَۖ )
[Surat Al-An'am 103]
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan (di dunia), sedangkan Dia melihat sesuatu yang terlihat"
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :
واعلموا أنكم لن تروا ربكم حتى تموتوا
"Ketahuilah sesungguhnya kalian tidak akan melihat tuhan kalian sampai kalian mati". 
✔️Tetapi ini tidak menunjukkan bahwa Allah bertempat di atas langit ke tujuh. Ketika Nabi melihat Allah dengan hatinya, beliau berada di atas langit ke tujuh, tetapi Allah ada tanpa tempat dan arah, tidak berada di depan, belakang, atas, bawah, kanan atau kiri Nabi Muhammad.
✔️Kejadian ini seperti yang diyakini oleh umat Islam bahwa di akhirat, penduduk surga (orang-orang mukmin) akan melihat Allah tanpa disifati dengan sifat-sifat makhluk. Orang-orang mukmin berada di dalam Surga, sementara Allah tidak berada di dalam atau di luar Surga, Allah ada tanpa tempat, tidak berada di depan, belakang, atas, bawah, kanan atau kiri mereka.
👆Al Imam Abu Hanifah Rahimahullah berketa:
والله تعالى يُرى في الآخرة، ويراه المؤمنون وهم في الجنة بأعين رؤوسهم بلا تشبيه ولا كميّة، ولا يكون بينه وبين خلقه مسافة
"Dan Allah ta’ala bisa dilihat di akhirat, orang-orang mukmin melihat-Nya dan mereka berada di dalam surga dengan mata kepala mereka dengan tanpa tasybih (menyerupakan Allah) dan tanpa kammiyyah (berukuran) tidak ada jarak antara Allah dan makhluk-Nya" (Lihat: Al Fiqh al Akbar).

Apabila Wahhabi berkata:
"Bukankah Allah mendekat kepada Nabi berdasarkan firman Allah:
(ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّىٰ ۝  فَكَانَ قَابَ قَوۡسَیۡنِ أَوۡ أَدۡنَىٰ)
[Surat An-Najm 8 - 9]"

Maka katakanlah:
Ayat tersebut sudah dijelaskan oleh sayyidah Aisyah Radliyallahu anha, beliau menjelaskan: "Itu adalah Jibril yang mendatangi Rasulullah, dan kali ini dia mendatangi Rasulullah dalam bentuknya yang asli, maka ufuk langit pun tertutup oleh Jibril".
👆Makna ayat di atas bukan bahwa Allah mendekati Rasul hingga jarak antara keduanya seukuran dua hasta atau lebih pendek.

RUDUD 17

Apabila Wahhabi berkata:
"Tauhid terbagi menjadi tiga, Rububiyah, Uluhiyah dan al Asma' wa as Shifat"

Maka katakanlah:
✔️Ini adalah bid'ah dlolalah (bid'ah sesat) dari Ibnu Taimiyah pada abad ke 7 hijriyah yang diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi. 
👍Tidak ada Nash dari al Qur'an dan hadits yang secara eksplisit menjelaskan adanya pembagian tauhid tersebut.
👍Tidak ada juga para sahabat, tabi'in dan para ulama salaf yang membagi tauhid seperti yang kalian lakukan, bahkan al Imam Ahmad bin Hanbal Radliyallahu 'anhu yang kalian klaim sebagai panutan kalian (padahal beliau terbebas dari Aqidah rusak kalian) juga tidak pernah ditemukan menjelaskan pembagian tauhid ini.
✔️Pembagian tauhid ini tergolong sebagai bid'ah sesat karena bertentangan dengan syara'. Penjelasannya sebagai berikut:
☑️ Dengan konsep tauhid Rububiyah kalian mengatakan bahwa orang-orang kafir itu bertauhid Rububiyah, karena itu para Nabi diutus oleh Allah untuk menyeru pada tauhid Uluhiyah.
👍Pernyataan ini bertentangan dengan al Qur'an, hadits dan akal.
1⃣Dalam Al Qur'an, Allah ta'ala berfirman:
مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِیُقَرِّبُونَاۤ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰۤ 
[Surat Az-Zumar 3]
"Tidaklah kami beribadah kepada mereka (berhala-berhala) kecuali agar mereka mendekatkan diri kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya"
👆Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak bertauhid Rububiyah, karena ketika menyembah berhala, mereka meyakini bahwa berhala itu bisa menciptakan hidayah dan pendekatan diri mereka kepada Allah.
 
Dalam ayat yang menceritakan tentang Fir'aun yang mengaku sebagai Rabb, Fir'aun berkata:
انا ربكم الاعلى
"Aku adalah Tuhan kalian yang maha tinggi"
(an Naziat: 24)
👆Ayat ini menunjukkan bahwa Fir'aun tidak bertauhid Rububiyah sebagaimana kalian klaim. 
Fir'aun juga mengaku sebagai Ilaah:
وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡمَلَأُ مَا عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَـٰهٍ غَیۡرِی
[Surat Al-Qashash 38]
"Dan Fir'aun berkata, Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui bagi kalian ilaah selain aku"
👆Ayat ini menunjukkan bahwa Fir'aun tidak bertauhid Uluhiyah.
♦️Dua ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada beda antara tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Karena di satu ayat Fir'aun mengaku sebagai Rabb dan di satu ayat Fir'aun mengaku sebagai ilaah. 

2⃣Dalam hadits tentang pertanyaan kubur oleh dua malaikat, Munkar dan Nakir. Pertanyaan keduanya adalah:
من ربك؟
- Seandainya Tauhid Rububiyah itu beda dengan tauhid Uluhiyah dan bahwa tauhid Rububiyyah tanpa tauhid Uluhiyah tidak cukup untuk menjadikan seseorang beriman maka pertanyaannya pasti berbunyi:
من إلهك؟
atau kedua-duanya
من ربك ومن إلهك؟ 
3⃣Secara akal tidak mungkin orang yang meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur alam semesta itu menyembah selain-Nya, yang dia ketahui bukan pencipta dan bukan pengatur alam semesta ini. 

☑️Dengan konsep tauhid Uluhiyah, kalian mengatakan bahwa orang yang melakukan tawassul, tabarruk dan Istighotsah dengan nabi dan para wali itu musyrik (beribadah kepada Nabi dan wali)
👍Ini adalah tuduhan syirik terhadap Nabi yang telah mengajarkan tawassul pada seorang sahabat buta, tuduhan syirik terhadap para sahabat seperti sahabat Umar ibn al Khaththab, Abu Ayyub al Anshori, Bilal Ibnu Harits al Muzani, Bilal bin Robah, Abdullah bin Umar dan para sahabat lainnya yang telah mempraktikkan tawassul dengan nabi dan para wali. Ini juga tuduhan syirik terhadap para ulama salaf dan mayoritas umat Islam yang senantiasa melakukan tawassul dengan nabi dan para wali.
👍Dalam tawassul tidak ada unsur ibadah kepada selain Allah, karena tawassul itu berdo'a kepada Allah dengan keagungan seorang Nabi atau Wali, bukan berdo'a kepada Nabi atau wali.
♦️Tidak ada seorang muslim-pun ketika bertawassul yang meyakini bahwa Nabi atau Wali itu adalah pencipta manfaat atau madlorrot, tetapi penyebutan nama mereka dalam doa kepada Allah adalah sebab syar'i dari dikabulkannya do'a seseorang. 
☑️ Konsep tauhid al Asma' wa as Shifat adalah cara kalian untuk menyembunyikan Aqidah tasybih dan tajsim. Kalian mengatakan: "kami tidak mensifati Allah kecuali dengan sifat  yang Allah sifatkan pada Dzat-Nya". Dengan konsep ini kalian juga mengkafirkan mayoritas umat Islam yang mentakwil ayat-ayat sifat mutasyabihat yang makna dzahirnya mengindikasikan bahwa Allah serupa dengan makhluk.
👍Dengan dalih pernyataan itu kalian mensifati Allah dengan duduk (julus), bersemayam (istiqror), padahal Allah tidak pernah mensifati Dzat-Nya dengan sifat itu.

"Teori dan prakteknya berbeda"

RUDUD 18

Apabila Wahhabi berkata:
"Do'a dengan bertawassul adalah syirik karena tergolong ibadah kepada selain Allah"

Maka katakanlah:
Seluruh umat Islam meyakini bahwa tidak ada yang diibadahi dengan benar selain hanya Allah (لا إله إلا الله). Dalam hal ini kami tidak berbeda dengan kalian, Allah ta'ala berfirman:
(إِیَّاكَ نَعۡبُدُ)
[Surat Al-Fatihah 5]
"Hanya kepadamu kami beribadah".

✔️Akar kesalahan kalian adalah *kebodohan kalian terhadap makna ibadah* yang ada dalam ayat di atas. 
✔️Kalian memaknai ibadah dengan sekedar tawassul, tabarruk, Istighotsah, ketaatan, memanggil (nida'), takut (khouf), berharap (raja'). 
👆 Selama kalian masih memahami makna ibadah secara salah seperti itu, maka kalian akan tetap membabi buta  mensyirikkan mayoritas umat Islam yang melakukan do'a tawassul. 
والعياذ بالله 
✔️Ketahuilah...
Para ulama tidak memahami ibadah dalam ayat tersebut seperti yang kalian pahami. Mereka memaknai ibadah dengan puncak perendahan diri, puncak ketundukan dan puncak kekhusyuan.
👆Pakar bahasa Arab; az Zajaj dalam kitab tafsirnya, ketika menafsirkan ayat إياك نعبد berkata:
معنى العبادة في اللغة الطاعة مع الخضوع... فمعنى إياك نعبد نطيع الطاعة التي يخضع معها
"Makna Ibadah dalam bahasa adalah ketaatan yang disertai dengan ketundukan, maka makna إياك نعبد adalah kami ta'at dengan ketaatan yang disertai ketundukan" 
👆Pemaknaan seperti itu, juga disampaikan oleh para pakar bahasa dan tafsir lainnya seperti al Farra', al Azhari, as Subkiy dan Az Zabidiy.
♦️Al Hafidz Abul Faraj Abdurrahman ibn al Jawzi mengatakan dalam kitab Nuzhatul A'yun:
 هي الأفعال الواقعة على نهاية ما يمكن من التذلُّلِ والخضوع لله
"Ibadah adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan disertai puncak perendahan diri (penghambaan)".

✔️Perlu kalian camkan...!!
Diriwayatkan bahwa sahabat Mu'adz bin Jabal bersujud (untuk hormat) kepada Rasulullah tanpa meminta izin sebelumnya. Meskipun sujud adalah bentuk perendahan diri yang besar, tetapi Nabi tidak mengkafirkan sahabat Mu'adz. Beliau hanya melarangnya, agar tidak mengulangi perbuatan itu, karena dalam syariat Islam, sujud kepada manusia meski untuk tujuan memuliakan hukumnya haram.
👆Lalu bagaimana kalian mengkafirkan umat Islam hanya karena berdo'a tawassul yang sama sekali tidak ada unsur ibadahnya?! Sungguh gegabah... 

Apabila Wahhabi berkata:
Bukanlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الدعاء هو العبادة؟

Maka katakanlah:
Pemahaman hadits tersebut bukan seperti yang kalian sangka. Ibadah dalam hadits ini maknanya berbeda dengan ibadah dalam ayat إياك نعبد. Ibadah di sini artinya *amal kebaikan yang bisa mendekatkan diri seseorang kepada Allah*.
🙏Makna hadits: Do'a adalah amal kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
👆Makna Ibadah dalam hadits di atas sama dengan ibadah dalam hadits :
انتظار الفرج عبادة
"Menunggu kelapangan adalah amal kebaikan" (HR at Tirmidzi). 

Apabila Wahhabi berkata:
"Allah melarang kita memanggil selain Allah dalam berdo'a, Allah berfirman:
(فَلَا تَدۡعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدࣰا)
[Surat Al-Jinn 18]" 

Maka katakanlah:
Memahami al Qur'an semaunya sendiri, itulah kalian. Do'a dalam al Qur'an itu terkadang memiliki makna ibadah (puncak perendahan diri). Ayat yang kalian sebutkan adalah salah satu contohnya, makna ayat tersebut adalah: "Maka janganlah kalian beribadah pada seorangpun bersama Allah", bukanlah maknanya: "Janganlah kalian berdo'a (memanggil) seseorang bersama Allah". 
Contoh lain, firman Allah ta'ala:
(قُلۡ إِنَّمَاۤ أَدۡعُوا۟ رَبِّی وَلَاۤ أُشۡرِكُ بِهِۦۤ أَحَدࣰا)
[Surat Al-Jinn 20]
- Makna ayat ini adalah: "Katakanlah, sesungguhnya aku beribadah kepada tuhanku dan aku tidak mensekutukannya dengan seseorangpun"
- Maknanya bukan seperti yang kalian katakan: "Katakanlah, sesungguhnya aku berdo'a kepada tuhanku dan aku tidak mensekutukannya dengan seseorangpun"

RUDUD 19

Apabila Wahhabi berkata :
"Kenapa kalian tidak berdo'a langsung saja kepada Allah?! tidak perlu tawassul dengan Nabi atau wali" 

Maka katakanlah:
Perkataan kalian ini perkataan yang tidak bermakna. Karena do'a tanpa tawassul dan do'a dengan tawassul sama-sama diperbolehkan untuk dilakukan dalam Islam. Rasulullah mengajarkan umat Islam berdo'a tanpa tawassul dan juga mengajarkan berdo'a dengan tawassul.
👍Diriwayatkan oleh at Thobaroni dalam Al Mu'jam al Kabir, at Tirmidzi, al Hakim dan lainnya bahwa Rasulullah mengajarkan do'a tawassul kepada seorang buta, dan Allah mengabulkannya sehingga dia dapat melihat seperti sedia kala. Do'a tawassul tersebut berbunyi:
اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي
👍Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunannya, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan do'a tawassul yang dianjurkan dibaca ketika keluar dari rumah menuju masjid. Orang yang membacanya akan dimintakan ampunan oleh tujuh puluh ribu malaikat. Do'a tawassul tersebut adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَبِحَقِّ مَمْشَايَ هذا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا ، وَلا بَطَرًا ، وَلا رِيَاءً ، وَلا سُمْعَةً خَرَجْتُ اتِّقَاءَ سَخَطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فأَسْأَلُكَ أَنْ تُنْقِذَنِيَ مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ، إِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ
👆Karena kedua jenis do'a sama-sama diajarkan nabi, maka tidak dapat dikatakan bahwa berdo'a tanpa tawassul lebih baik dari berdo'a dengan tawassul atau sebaliknya.

✔️Kemudian kalian itu gagal paham terhadap makna tawassul. Perlu kalian ingat, bahwa orang yang berdo'a tawassul itu juga berdo'a kepada Allah, bukan berdo'a kepada Nabi atau Wali. Sebab makna tawassul adalah:
 طلب حصول منفعة أو اندفاع مضرة من الله بذكر اسم نبي أو ولي إكراما للمتوسَّل به
"Meminta manfaat atau tertolaknya bahaya *dari Allah* dengan menyebut nama seorang Nabi atau wali sebagai penghormatan kepada yang ditawassuli (Nabi atau wali)"

Apabila Wahhabi berkata:
"Allah tidak perlu perantara untuk mengabulkan do'a manusia, karenanya tidak diperlukan tawassul dengan Nabi atau wali"

Maka katakan:
Di sini kalian gagal paham lagi!.Ketika umat Islam bertawassul dengan Nabi atau wali itu tidak meyakini bahwa Allah membutuhkan perantara untuk mengabulkan do'a. Tetapi kedudukan tawassul bagi umat Islam adalah sebagai sabab syar'i (sebab yang ditetapkan syara') dari terkabulnya do'a seseorang. Kedudukan tawassul itu seperti obat bagi orang yang sakit yang menjadi sabab 'aadiy (sebab yang ditetapkan Allah di alam semesta) dari sembuhnya penyakit seseorang. 
👆Sebagaimana orang yang sakit meyakini bahwa Allah lah pencipta kesembuhan dan obat sebagai sabab 'aadiy, demikian juga orang yang bertawassul dengan nabi atau wali, mereka meyakini bahwa Allah adalah pencipta manfaat dan madlorrot, semantara tawassul sebagai sebab syar'i dari Allah memberikan manfaat atau menjauhkan madlorrot dari hamba-Nya.

RUDUD 20

Apabila Wahhabi berkata:
"Istighotsah dengan selain Allah itu syirik, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
 إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت فاستعن بالله (رواه الترمذي)".

Maka katakanlah:
Kalian terlalu bernafsu untuk mensyirikkan orang yang istighotsah dengan selain Allah, sehingga sembrono dalam memahami sebuah hadits dan dengan memakai kaca mata kuda (membaca satu buah hadits tanpa memperbandingkanya dengan ayat atau hadits yang lain).
✔️Yang perlu kalian ingat adalah:
1⃣ Dalam hadits di atas Rasulullah tidak melarang umat Islam meminta pertolongan kepada selain Allah. Beliau tidak bersabda:
لا تسأل غير الله ولا تستعن بغيرالله
"Jangan meminta pada selain Allah dan jangan meminta pertolongan dengan selain Allah"
👆Jadi, dari mana kalian berkesimpulan bahwa Rasulullah melarang Istighotsah dengan selain Allah, kalau bukan karena nafsu kalian untuk mengkafirkan umat Islam?!

2⃣ Dalam memahami hadits di atas hendaknya diperbandingkan dengan ayat atau hadits lain, agar kalian tidak membenturkan dan menabrakkan hadits dengan ayat atau hadits dengan hadits.
👆Dalam Al Qur'an, Allah berfiman:
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَ ٰ⁠نِۚ
[Surat Al-Ma'idah 2]
"Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan,  jangan saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan"
👆Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya".
🙏Dalam ayat dan hadits di atas dijelaskan bahwa manusia itu bisa memberi pertolongan dan dapat saling memberi pertolongan.
♦️Apabila kalian mensyirikkan setiap orang yang meminta tolong kepada selain Allah, maka kalian telah mempertentangkan hadits dengan ayat dan dengan hadits lain. Kalian juga telah mengkafirkan setiap orang yang berkata kepada selainnya: "tolonglah aku", padahal tidak ada seorang pun manusia yang tidak pernah melakukan itu, sebab manusia adalah makhluk yang lemah, yang selalu butuh pertolongan orang lain.
3⃣ Dalam memahami hadits di atas, para ulama menggunakan pendekatan awlawiyah bahwa yang paling layak untuk dimintai pertolongan adalah Allah ta'ala, bukan berarti tidak boleh meminta pertolongan kepada selain Allah. Cara pemahaman hadits di atas sama dengan cara memahami hadits berikut ini:
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
👆Hadits ini maknanya bukan larangan untuk berteman dengan orang kafir dan bershodaqoh kepada orang fasiq, tetapi maknanya bahwa  yang lebih layak untuk kita jadikan teman adalah orang mukmin dan yang lebih layak untuk kita beri shodaqoh adalah orang yang bertaqwa.

Apabila Wahhabi berkata:
"Bukankah Allah berfirman:إياك نستعين (hanya kepada Mu kami meminta pertolongan)?"

Maka katakanlah:
Kalian berusaha menabrakkan ayat ini dengan ayat dan hadits yang tadi sudah saya sebutkan. Padahal umat Islam meyakini bahwa kalam Allah itu saling mendukung dan menguatkan bukan saling bertentangan dan bertabrakan.
✔️Dalam memahami ayat tersebut para ulama menjelaskan, bahwa isti'anah yang dimaksud adalah isti'anah khashshah (meminta pertolongan yang khusus), seperti meminta hidayah dan tawfiq. Maka tidak boleh bagi seorang muslim meminta hidayah dan tawfiq kepada sesama manusia.
Silahkan baca kitab-kitab tafsir jika kalian kurang yakin...

✔️Agar kalian tidak salah paham, perlu diketahui bahwa ketika umat Islam meminta pertolongan kepada selain Allah dan beristighotsah dengan selain Allah, keyakinan yang ada dalam hati mereka adalah bahwa pada hakekatnya Allah-lah pencipta pertolongan, sedangkan Nabi, wali adalah sebab dari Allah menciptakan pertolongan.
👆Karena aqidah seorang muslim adalah "ALLAH PENCIPTA SEGALA SESUATU", baik ketika beritighotsah ataupun tidak.

RUDUD 21

Apabila Wahhabi berkata:
"Hadiah pahala bacaan Al Qur'an atau yang lainnya kepada mayit tidak akan sampai kepadanya, berdasarkan firman Allah ta'ala:
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
" Dan bahwanya seorang manusia tiada memiliki selain apa yang telah diusahakanya" (an Najm: 39).

Maka katakanlah:
Ini adalah penafsiran yang ngawur.
✔️Ayat ini tidak menafikan bahwa seseorang bisa mendapat manfaat dari amal orang lain seperti sedekah, haji, bacaan Al Qur'an atau lainnya.
✔️Tetapi yang dinafikan ayat ini adalah kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang memilikinya, jika dia berkehendak dapat menghadiahkan semisalnya kepada orang lain.
✔️Apabila amal orang lain tidak bisa memberi manfaat kepada mayit, pertanyaan untuk kalian:
1⃣ Untuk apa sholat janazah disyariatkan?!,
2⃣ Kenapa Rasulullah mengajarkan do'a untuk mayit ketika ziarah kubur?!
3⃣Apakah kalian tidak tahu bahwa dalam hadits shahih riwayat Al Bukhari dan Muslim bahwa seseorang yang telah mati bisa dihajikan oleh orang yang hidup?!
4⃣Apakah kalian juga tidak tahu bahwa dalam hadits shahih riwayat Al Bukhari dan Muslim juga disebutkan bahwa orang yang mati dengan memiliki qodlo' puasa dapat diqodlo'kan oleh orang yang hidup?!

🙏Semua itu menunjukkan bahwa amal orang hidup bisa bermanfaat bagi orang yang mati.
✔️Pendapat kalian ini juga bertentangan dengan ijma' ulama salaf, al Imam Abu Jakfar at Thohawi berkata:
وفي دعاء الأحياء وصدقاتهم منفعة للاموات
"Dalam do'a dan sedekah orang yang masih hidup terdapat manfaat bagi orang-orang yang sudah meninggal"

Apabila Wahhabi berkata:
"Al Imam as Syafi’iy mengatakan bahwa hadiah pahala kepada mayit tidak akan sampai"

Maka katakanlah:
Jangan sepotong-potong dalam memahami perkataan para ulama, dan lihatlah penjelasan para murid beliau.
✔️Maksud dari perkataan imam as Syafi’iy, bahwa hadiah pahala tidak akan sampai kepada mayit apabila al Qur'an dibaca tidak di dekat mayit dan tanpa do'a iishool.
✔️Apabila al Qur'an dibaca di dekat kuburan mayit maka akan sampai kepadanya meski tanpa do'a iishool
✔️Apabila al Qur'an dibaca tidak di dekat kuburan mayit, tetapi diiringi dengan do'a iishool maka akan sampai kepada mayit.

RUDUD 22

Apabila Wahhabi berkata:
"Bepergian untuk berziarah ke makam nabi dan para wali adalah haram, berdasarkan hadits riwayat al Bukhari, Muslim dan lainya:
لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى"

Maka katakanlah:
Kalian memahami hadits seenaknya sendiri!!. Karena tidak ada satu katapun dalam hadits tersebut yang mengisyaratkan haramnya melakukan bepergian untuk berziarah ke makam Rasulullah atau makam para wali. Pemahaman kalian seperti itu hanya mengekor saja pada pemahaman Ibnu Taimiyah. Fanatisme terhadap Ibnu Taimiyah adalah salah satu musibah terbesar kalian. Akibat fanatisme tersebut, kalian menjadi bodoh dan tidak berfikir secara objektif.
✔️Tidakkah kalian tahu bahwa hadits tersebut sudah dijelaskan sendiri oleh Nabi?!
✔️Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al Imam Ahmad, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيهِ الصَّلَاةُ، غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى، وَمَسْجِدِي هَذَا 
"Tidak seyogyanya bepergian jauh ke *sebuah masjid untuk tujuan sholat di sana* selain ke masjid al haram, masjid al aqsha dan masjid ku ini" (Hadits dihasankan oleh Ibnu Hajar al Asqolani).

🙏Berdasarkan hadits ini, sangat terang bahwa maksud hadits di atas adalah tidak ada keutamaan melakukan bepergian untuk sholat di masjid kecuali pada tiga masjid; masjidil haram, masjid nabawi dan masjid al aqsha.
👆Karena..
- sholat di masjid al haram pahalanya dilipat gandakan sampai seratus ribu kali
- sholat di masjid Nabawi, pahalanya dilipat gandakan sampai seribu kali
- sholat di masjid al aqsha, pahalanya dilipat gandakan sampai lima ratus kali.
 ✔️Tidak ada fadhilah (keutamaan)nya, misalnya seseorang melakukan bepergian untuk sholat ke masjid istiqlal, masjid ampel atau lainya, karena sholat di sana pahalanya sama dengan sholat di masjid-masjid lain, selain tiga masjid di atas.
👆Namun bukan berarti bahwa bepergian tersebut diharamkan, hanya saja tidak disarankan, mengingat sholat di masjid selain yang tiga tidak ada fadlilahnya secara khusus. 
🙏Hadits pertama telah dijelaskan oleh hadits kedua, dan ini disebut: تفسير الوارد بالوارد (menjelaskan hadits dengan hadits). Penjelasan hadits dengan cara seperti ini adalah penjelasan hadits yang paling kuat kebenarannya, karena Nabi-lah yang paling mengetahui tentang maksud dari sabdanya sendiri.
👆Karena panatisme, kalian lebih senang memahami hadits nabi dengan perkataan Ibnu Taimiyah dari pada memahaminya dengan hadits nabi yang lain!!. Seakan-akan kalian mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah lebih paham hadits Nabi dari pada Nabi sendiri. والعياذ بالله 

✔️Apabila berdasarkan hadits di atas, kalian mengharamkan bepergian ke semua tempat dengan tujuan apapun, maka apakah kalian juga berani mengharamkan bepergian untuk haji, dagang, rekreasi dan semacamnya?! Pasti kalian tidak berani mengharamkanya, apabila perjalanan ke tempat - tempat itu tidak kalian haramkan, lalu kenapa kalian mengharamkan bepergian untuk ziarah ke makam Nabi dan para wali?!
👆Apakah kalian tidak pernah mendengar kisah sahabat Bilal bin Robah yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, bahwa setelah Rasulullah menyatakan kerinduannya pada beliau dalam mimpi, dengan segera sahabat Bilal melakukan bepergian jauh dengan menunggang binatang tunggangannya menuju Madinah dengan tujuan untuk berziarah ke makam Nabi?! 
✔️Hadits di atas pasti hanya sebagai kedok saja bagi kalian untuk menghalangi umat Islam melakukan tawassul, tabarruk dan Istighotsah dengan nabi dan para wali!, karena memang sejak awal, kalian sudah anti tawassul, tabarruk dan Istighotsah.

*RUDUD 23*

Apabila Wahhabi berkata:
"Tidak boleh tawassul dengan orang yang sudah mati, karena orang mati tidak dapat memberi manfaat".

Maka katakanlah:
✔️Kalian seperti tidak mengetahui dengan apa yang sedang kalian katakan. Karena perkataan kalian ini menunjukkan seolah-olah orang yang hidup itu bisa menciptakan manfaat, sehingga ketika sudah mati tidak bisa lagi menciptakan manfaat.
👍Apabila betul kalian meyakini keyakinan ini, maka aqidah kalian jelas bertentangan dengan akidah umat Islam seluruhnya bahwa *Allah adalah pencipta segala sesuatu, pencipta kemanfaatan dan pencipta kemadlorrotan*. Manusia sama sekali tidak menciptakan kemanfaatan maupun kemadlorrotan, baik ketika masih hidup atau setelah mati.
👍Perkataan umat Islam bahwa "makhluk bisa memberi manfaat atau madlorrot pada yang lain" adalah *dengan makna sebab,* bahwa mereka adalah sebab dari Allah menciptakan manfaat dan madlorrot. 
👆Karena kedudukan makhluk hanya sebagai sebab, bukan pencipta maka tidak ada bedanya antara yang hidup atau yang mati. Apabila tawassul dengan orang yang hidup boleh, maka tawassul dengan orang yang sudah mati juga boleh. 
👆Ketika umat Islam bertawassul dengan orang hidup, mereka tidak meyakini bahwa manusia itu bisa menciptakan manfaat, demikian juga ketika bertawassul dengan orang yang mati, keyakinan mereka tetap sama, bahwa orang mati tidak menciptakan manfaat. Keyakinan mereka ketika bertawassul adalah bahwa Nabi atau wali, baik ketika masih hidup maupun setelah mati adalah sebab dari Allah menciptakan manfaat bagi mereka.

✔️Perkataan kalian bahwa orang mati tidak bisa memberi manfaat membuktikan beberapa hal:
1⃣membuktikan sedikitnya pengetahuan kalian tentang hadits Rasulullah. Al Bazzar telah meriwayatkan sebuah hadits yang para perowinya adalah para perawi shahih, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم، تُحْدِثون ويُحدَث لكم، ووفاتي خير لكم تعرض عليّ أعمالكم، فما رأيت من خير حمدت الله عليه، وما رأيت من شر استغفرت لكم
 “Hidupku adalah kebaikan bagi kalian, dan matiku adalah kebaikan bagi kalian. Ketika aku hidup dan kalian melakukan banyak hal, lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Kematianku juga kebaikan bagi kalian, perbuatan  kalian diberitahukan kepadaku, jika aku melihat amal kalian yang baik maka Aku memuji Allah dan jika aku melihat amal kalian yang buruk maka aku memintakan ampunan kepada Allah untuk kalian"
👆Hadits di menerangkan secara jelas bahwa setelah wafatnya, Rasulullah masih bisa memberi manfaat bagi umatnya yang masih hidup. 
2⃣Dalam hadits Mi'raj sebagaimana diriwayatkan oleh al Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, bahwa dengan sebab nabi Musa (tentu ketika itu beliau sudah wafat), umat Islam yang awalnya diwajibkan melaksanakan sholat 50 kali diringankan menjadi 5 kali sehari semalam, tetapi dengan pahala 50 kali sholat.
Ini adalah manfaat yang sangat besar. Lalu bagaimana kalian bisa mengatakan orang mati tidak bisa memberi manfaat?! 

✔️Larangan kalian terhadap tawassul dengan orang mati juga bertentangan dengan praktik yang dilakukan oleh para sahabat.
👆Apabila kalian membaca hadits dlorir secara lengkap, tidak sepotong-potong maka kalian tidak akan berkata seperti itu. Do'a tawassul yang diajarkan Rasulullah kepada seorang buta ternyata juga diajarkan oleh perowi hadits tersebut, yaitu Utsman bin Hunaif di masa Khalifah Utsman bin Affan (tentu setelah wafatnya Nabi) kepada seorang laki-laki yang memiliki hajat kepada Sayyidina Utsman bin Affan.

Catatan: Hadits dhorir adalah hadits shohih yang diriwayatkan oleh at Thobaroni dalam Al Mu'jam al Kabir, dalam hadits tersebut diceritakan bahwa Rasulullah mengajarkan do'a tawassul kepada seorang laki-laki yang buta. Silahkan lihat pada materi RUDUD sebelumnya. 

Apabila Wahhabi berkata:
"Bukanlah setelah Nabi Wafat, Umar tawassul dengan paman Nabi yang bernama al Abbas?!"

Maka katakanlah:
Betul, tetapi itu tidak menunjukkan bahwa tawassul dengan orang yang sudah mati itu dilarang. Sayyidina Umar tawassul dengan al Abbas adalah karena kemuliaan kekerabatan beliau dengan Nabi. Al Abbas ketika didatangi Sayyidina Umar berkata:
اللهم إن القوم توجهوا بي إليك لمكاني من نبيك
"Ya Allah, sesungguhnya mereka memohon kepada-Mu melalui diriku karena kedudukan dan kekerabatanku dengan nabi-Mu" (Diriwayatkan oleh az Zubair ibn al Bakkar dan nukil oleh Ibnu Hajar al Asqolani dalam Fath al Bari)

Riwayat ini sekaligus menjadi dalil bolehnya tawassul dengan para wali dan orang-orang sholih.

Rabu, 11 Maret 2020

Makruh meletakkan kedua tangan di atas dada

Mereka yang mengedepankan kitab-kitab tuntunan sholat kalangan mereka berdasarkan MEMBACA DALIL sering mengingatkan dengan ungkapan seperti,

العلم قبل القول والعمل

“Ilmu itu didahulukan sebelum berkata dan beramal.”

Contohnya mereka BERBUAT / BERAMAL bersedekap ketika sholat adalah meletakkan kedua tangan di atas dada setelah MEMBACA, MENTERJEMAHKAN, MEMAHAMI dan BERPENDAPAT bahwa hadits yang PALING KUAT (arjah/tarjih) dan PALING SHAHIH letak sedekap di atas dada berdalilkan hadits secara perawi (sanad) shahih namun hadits mursal yakni terputus sanadnya hanya sampai Thawus bin Kaisan.

Mereka menguatkan dalil mereka dengan perkataan Imam Ahmad bahwa letak sedekap adalah persis di atas dada, sesuai (makna) dzahir hadits. 

Namun pada kenyataannya AHLI ISTIDLAL dari mazhab Hambali meninggalkan dalil tersebut dan bahkan MENETAPKAN HUKUMNYA MAKRUH seperti,

Imam Ibnu Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menyebutkan:

ويكره وضعهما على صدره نص عليه مع أنه رواه أحمد

Makruh meletakkan kedua tangan diatas dada, ini adalah nash dari Imam Ahmad padahal beliau meriwayatkan hadits itu. (Muhammad bin Muflih al-Hanbali w. 763 H, al-Furu’, h. 2/ 169)

Hal senada juga dinyatakan oleh al-Buhuti al-Hanbali (w. 1051 H):

ويكره) جعل يديه (على صدره) نص عليه، مع أنه رواه

Makruh meletakkan tangan diatas dada, sebagaimana nash dari Imam Ahmad bin Hanbal, padahal beliau meriwayatkan haditsnya. (Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali w. 1051 H), Kassyaf al-Qina’, h. 1/ 334).

Bahkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan bagi ahli (membaca) hadits Albani menjelaskan alasan penetapan makruh sebagai berikut

ويكره أن يجعلهما على الصدر، وذلك لما روى عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه نهي عن التكفير وهو وضع اليد على الصدر

Makruh meletakkan kedua tangan di atas dada, karena telah ada riwayat dari Nabi yang menyebutkan bahwa beliau mencegah takfir; yaitu meletakkan tangan diatas dada. ( Ibnu Qayyim al-Jauziyyah al-Hanbali w. 751 H, Bada’i al-Fawaid, h. 3/ 91)

Jadi hukum bersedekap ketika sholat yakni meletakkan kedua tangan di atas dada adalah makruh untuk mencegah takfir atau pengkafiran karena bertasyabbuh (menyerupai) cara sholatnya kaum Yahudi seperti yang tampak dalam video pada https://m.youtube.com/watch?&v=0aHWASyMjwg

Contoh lainnya mereka BERBUAT / BERAMAL berdasarkan DALIL yang DIBACA dan DIPAHAMI oleh ahli (membaca) hadits mereka, Albani yang berdusta atas nama Rasulullah. 

Berikut perkataan (pendapat) Ahli (membaca) hadits, Albani yang MEMASTIKAN sebagai gerakan telunjuk ketika tasyahud yang diamalkan oleh Rasulullah. 

“Beliau (shallallahu alaihi wasallam) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4). 

Berikut kutipan kajian terhadap pendapat ahli (membaca) hadits Albani yang bersumber dari http://www.sarkub.com/tidak-menggerak-gerakkan-jari-telunjuk-ketika-tasyahud

***** awal kutipan ******
Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut.

Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya.

Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi:

“Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.

Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam).

Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”.

Padahal Syeikh ini sendiri di kitab yang lain, Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!

Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil.

Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.
***** akhir kutipan ******

Bahkan AHLI ISTIDLAL MENETAPKAN hukumnya MAKRUH menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, 

Contohnya kitab yang merujuk kepada Matan Abu Syuja’ seperti Hasiyah al-Bajuri jilid 1 hal 220 tertulis, 

***** awal kut
“Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuk- nya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. 

Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia menggerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454].

Dan yang jelas bahwa khilaf (perbedaan pendapat) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.
***** akhir kutipan *****

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.

Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.

Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”.

Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimana pendapat sebagian orang.

Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberada- annya didalam sholat”.

Imam Malik telah mengambil hadits tersebut namun sebagaimana para Imam (Mujtahidin) lainya tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun.

Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya.

Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.

Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa

***** awal kutipan *****
yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.

Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. 

Hal ini disebabkan karena MENSUNNAHKAN tahrik BERARTI MENGUGURKAN hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
***** akhir kutipan *****

Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallahshallallahu alaihi wasallam. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125.

Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallahshallallahu alaihi wasallam.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih).

Dalam satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408 dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yang dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallahshallallahu alaihi wasallam. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat ibu jarinya ke kiblat. Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.

Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut.

Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan / meniadakannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu.

Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya.

Begitupula sebuah kajian pada http://www.youtube.com/watch?v=fI80RS5k45E pada menit 13:57 menyimpulkan bahwa ulama hadits dalam hal ini memandang mengangkat tanpa menggerakkan lebih kuat daripada mengangkat dengan menggerakkan.

Salah satu alasannya adalah hadits tentang menggerakkan yang diriwayatkan oleh Ziyadah bin Qudamah dari Wa’il bin Hujr, dari 12 hadits itu , itu cuma satu orang yang menyebutkan menggerakkan tangannya. Sementara 11 orang lain yang meriwayatkan hadits yang sama itu mengatakan tidak ada tambahan di hadits itu menggunakan kata Yuharrikuha, tidak ada tambahan menggerak-gerakkan. Jadi ada 12 orang meriwayatkan dari orang yang sama 11 orang mengatakan nggak ada tambahan menggerak-gerakan yang satu mengatakan digerak-gerakan. Kalau 11 berbanding dengan 1, kira-kira yang lebih kuat yang mana ?

Para ulama mengatakan jika ada satu riwayat bertentangan dengan banyak yang tsiqoh maka yang ini ditinggalkan. Ditinggalkan itu maksudnya dianggap lemah.

Alasan lainnya kata Yuharrikuha bukan dimaknai menggerak-gerakan secara berulang akan tetapi mengangkat jari telunjuk saja.

Begitupula dalam video tersebut disampaikan bahwa kaidah ushul fiqih menyebutkan sesuatu yang jelas tanpa ditafsirkan itu lebih kuat dibandingkan sesuatu mesti ada penafsiran bagaimana cara Rasulullah menggerak-gerakkannya.

Pada akhir video dikatakan bahwa tidak ada hubungannya mengerak-gerakan dengan mengusir setan

Memang ada yang berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35).

Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’

Begitupula ahli (membaca) hadits Al Albani, menamakan kitabnya “Sifat sholat Nabi” namun ironisnya belum mengenal dengan baik kemuliaan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Contohnya ahli (membaca) hadits Albani MERENDAHKAN Rasulullah daripada para Nabi lain maupun para Syuhada dengan mengatakan bahwa alasan penggantian adalah , ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYY dengan huruf kaf yang menunjukkan kata ganti orang kedua (yang diajak bicara) ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah meninggal disarakan menyebutkan dengan lafadz ghaib (kata ganti orang ketiga yang tidak hadir) yakni ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY sebagaimana yang dapat diketahui dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/sifat-sholat-nabi.pdf

Oleh karenanya dalam ringkasan Sifat Sholat Nabi sudah diganti dengan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY sebagaimana contoh informasi dari https://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2016/06/ringkasan-sifat-shalat-nabi.pdf

Jadi jika para pengikut ahli (membaca) hadits Albani taqlid buta sehingga BERBUAT / BERAMAL dalam sholatnya menggantinya dengan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY maka seumur hidup mereka pada hakikatnya sholatnya batal.

Imam Syafii mewajibkan dhamir khithab itu, yaitu : Assalamu alaika Ayyuhannbiyy, jika tak mengucapkannya atau menggantinya dengan Assalamu alannabiyy saja maka sholatnya batal.

Imam Nawawi menjelaskan bahwa lafadh : Assalamualaika ayyuhannabiyy hingga akhirnya, maka wajib, dan padanya 3 bentuk pada sahabat sahabat kita (ulama sezaman beliau dalam madzhab Syafii) dan yang paling shahih adalah tidak boleh menghapus satu kalimatpun darinya, ini adalah yg paling berpadu Ittifaq hadits padanya. kedua adalah boleh menghapus salah satu kalimatnya yaitu kalimat warahmatullah dan wabarakatuh, (bukan assalamualaika menjadi assalamu alannabiyy) ketiga adalah boleh menghapus wabarakatuh. (Al Adzkar Annawawi 53 Bab Tasyahhud fisshalaat).

Perkataan ASSALAAMU ‘ALLANNABIYY memang bukan perkataan Rasulullah namun perkataan tersebut tidak pantas juga dinisbatkan kepada segelintir Sahabat.

Walaupun hadits tersebut dari sisi sanad (susunan perawi) tsiqoh namun dapat dinilai syadz karena matan (redaksi) hadits bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits-hadits lainnya.

Mereka yang berpendapat bahwa perkataan ASSALAAMU ‘ALAIKA hanya untuk orang yang hidup maka sama saja mereka secara tidak langsung MERENDAHKAN Rasulullah dibandingkan para Nabi lain maupun para Syuhada

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,

”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Imam al-Baihaqi telah membahas sepenggal kehidupan para Nabi. Ia menyatakan dalam kitab Dalailun Nubuwwah: “Para nabi hidup di sisi Tuhan mereka seperti para syuhada.” Al-Baihaqi mengeluarkan hadis dari Anas ra: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya para nabi tidaklah ditinggalkan di dalam kubur mereka setelah empat puluh malam, akan tetapi mereka sholat di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai ditiupnya sangkakala.” Sufyan meriwayatkan dalam al-Jami’, ia mengatakan: “Syeikh kami berkata, dari Sa’idbin al-Musayyab, ia mengatakan, “Tidaklah seorang nabi itu tinggal di dalam kuburnya lebih dari empat puluh malam, lalu ia diangkat.”

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Bacaan Sholawat Qotadah dan Sejarahnya

Pada perang Uhud, umat muslim awalnya mendapatkan kemenangan.
Namun, karena kaum muslim tidak mengindahkan perintah Rosululloh ﷺ, akhirnya pada perang Uhud kaum muslim dapat terpukul mundur.
Banyak para sahabat yang syahid serta terluka.
Rosululloh ﷺ terkepung musuh, dahi dan bibir beliau terluka serta mengeluarkan darah.

Qotadah bin Nu’man yang melihat hal itu, segera mendekati Rosululloh ﷺ.
Qotadah yang berani langsung memosisikan dirinya sebagai tameng Rosululloh ﷺ, dengan busur pemberian Rosululloh ﷺ ia melawan musuh dengan gagah berani.

Qotadah bin Nu’man atau dengan nama asli Abdul Khotib termasuk kaum Anshor.
Qotadah sering kali mengikuti perang bersama Rosululloh ﷺ dan kaum muslim lainnya.

Setelah perang Uhud usai banyak para sahabat yang terluka termasuk Qotadah. Sebuah anak panah mengenai matanya saat ia melindungi Rosululloh ﷺ. Anak panah itu menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Mata Qotadah terburai keluar hingga ia memegangnya dengan telapak tangannya.
Darahnya pun terus mengucur.
Keluarganya sangat sedih melihat penderitaan Qotadah.

“Qotadah, ijinkan kami mencari tabib agar ia memotong saja bola matamu,” kata keluarga Qotadah.

Qotadah ikhlas andai seterusnya matanya buta.
“Lagi pula, tabib mana yang sanggup mengobati matamu? Engkau akan buta dengan luka seperti itu,” kata mereka lagi.

Kabar mengenai sakitnya Qotadah terdengar oleh Rosululloh ﷺ.
Lalu Rosululloh ﷺ mengutus seseorang untuk memanggil Qotadah.

“Wahai Qotadah, Rosululloh telah mendengar perihal sakit yang engkau derita. Beliau memintamu untuk datang menghadap,” kata utusan tersebut.

“Baiklah aku akan datang menemui Rosululloh ﷺ,” jawab Qotadah. Ia pun segera berangkat menuju kediaman Rosululloh.

“Assalamu’alaikum, wahai Rosululloh…,” sapa Qotadah.

“Wa’alaikumsalam, wahai sahabatku. Kemarilah!”

Qotadah masuk dengan memegangi salah satu bola matanya yang menggelantung keluar.
Saat melihatnya, Rosululloh ﷺ menangis dan berdo'a untuk Qotadah,

“Ya Alloh, sesungguhnya Qotadah telah melindungi wajah Rosul-Mu dengan wajahnya sendiri. Maka jadikanlah mata yang terluka itu lebih baik dan lebih tajam dari mata satunya,”

“Kemarilah, sahabatku. Mendekatlah kepadaku,” kata Rosululloh ﷺ.
Qotadah menurut. Ia meringsut mendekati Rosululloh ﷺ.
Lalu Rosululloh ﷺ memegang bola mata Qotadah, lalu memasukan kembali bola mata Qotadah yang terburai tersebut ke dalam pelupuknya.

Subhanalloh.....

Atas ijin Alloh. Seketika itu, mata Qotadah sembuh seperti semula, seolah tidak pernah terluka.
Alloh telah memberikan mukjizat-Nya kepada Rosululloh ﷺ. Dokter mana pun tidak akan mampu melakukannya.
Qotadah sangat senang karena matanya telah sembuh, bahkan penglihatan Qotadah lebih baik dari sebelumnya.

           SHOLAWAT QOTADAH

Berkata Abah Guru Sekumpul. "Amalkan Sholawat Qotadah yang fadhilahnya insyaAllah mata kita selalu terang sampai akhir umur dan tidak terkena penyakit mata."

Bacaannya:

ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠٰﻲ ﻣَﻦْ ﻋَﻠٰﻲ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﻋَﻴْﻦُ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ٠
"Allohumma Sholli 'Alaa Man 'Alaa Kaffayhi 'Ainu Qotaadah".

* Dibaca setiap pagi 10 x
* Lalu tiupkan di kedua ibu jari
* Lalu usapkan di kedua mata kita

Fadhilah:
InsyaAlloh penglihatan mata kita selalu terpelihara sampai hari tua dan terhindar dari penyakit mata, InsyaAllah dengan Berkah Rosululloh dan Berkah Sholawat kepada Rosululloh.

#SholluAlannabi

ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠٰﻲ ﻣَﻦْ ﻋَﻠٰﻲ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﻋَﻴْﻦُ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ٠
"Allohumma Sholli 'Alaa Man 'Alaa Kaffayhi 'Ainu Qotaadah".

MANAQIB KAUM SHOLIHIN & AMALIAH https://www.facebook.com/groups/1348537445262609/
MENAPAKI TITIAN ULAMA AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH SELAMAT SAMPAI JANNAH