Rabu, 16 Agustus 2023

Muhammad bin Wahab

Muhammad bin Wahab lahir pada tahun 1701-1793 M. atau 1122-1214 H. Umurnya 92 tahun. Disebuah kampung `ainiah Nejad Arab Sa`udi. Ibnu Abdul Wahab adalah seorang yang lemah pikiran dan berpenyakitan. Abang dan ayahnya sendiri menganggap sebagai anak yang tidak siuman. Ibnu Abdul Wahab terpengaruh kepada ajaran Ibnu Taimiyah yang berfaham Mujassimah. Kemudian dia mengembara belajar di Bashrah dan berguru kepada Syekh Muhammad al Majmui, seorang agen Yahudi dari Inggris yang menyamar sebagai ulama yang nama aslinya adalah Mr. Hamper. Dia adalah seorang fakar islam yang mahir dalam berbahasa Arab, Turki, Farsi, dan telah lama mempelajari Islam di Turki dan Iraq. Syekh Majmu`i atau Mr. Hamper. Merasuah Ibnu Abdul Wahab dengan hadiah kawin Muth`ah dua orang agen perempuan yahudi, yang menyamar sebagai muslimah, dengan nama 1. Shafiadi Isfahan dan 2. Asiadi Is-siraj. maka dengan mudah Yahudi mencatur atau membonekakan Ibnu Wahab semau-maunya untuk menyebarkan aliran baru dalam sesuai dengan perancangan Yahudi. Dengan ajaran baru itu Ibnu Abdul Wahab kembali ke kampungnya, namun ditentang dan diusir oleh bapaknya sendiri yang seorang ulama Sunni ( Ahlussunnah Waljama`ah ).

Selasa, 08 Agustus 2023

MAULID di MEKAH MADINAH

Keutamaan Maulid dari ulama panutan Salafi wahhabi 

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah ulama panutan utama wahhabi dalam Kitab Iqtidha' Shirathil Mustaqim:

فتعظيم المولد واتخاذه موسمًا قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن
قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه واله وسلم

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW [ Ibnu Taymiyah dlm kitab Iqtidha' Shirathil Mustaqim : 297] (23)

قال ابن الجوزي رحمه الله تعالى من خواصه أنه أمان في ذلك العام وبشرى عاجلة بنيل البغية والمرام

“Al-Imam Ibnu Jauziy Rahimahullah berkata, diantara keistimewaan Maulid Nabi adalah keadaan aman (pencegah mushibah) pada tahun itu, kabar gembira serta segala kebutuhan dan keinginan terpenuhi” [Kitab I’anah Thalibin (Syarah Fathul Mu’in) Juz. 3 hal. 416 ; kitab As-Sirah Al-Halabiyah (1/83-84) karangan Al-Imam ‘Ali bin Burnahuddin Al-Halabiy]

1. IBNU JAUZI (Abad ke 6H) mengatakan : 
Masyarakat Haramain Shareefain (Makkah dan Madinah), Mesir, Yaman, Suriah, dan kota-kota di timur dan barat Arab, memegang fungsi dalam merayakan kelahiran Nabi. Mereka bersuka cita saat melihat bulan Rabiu'l Awwal. Suka cita itu mereka tunjukkan dengan mandi, mengenakan pakaian terbaik, menghiasi diri dengan berbagai cara, memakai wewangian, dan memberi sedekah dengan begitu gembira. Mereka juga dengan senang hati mendengarkan Maulid Nabi.

"Dengan melakukannya, mereka berhasil meraih kesuksesan, seperti yang telah dibuktikan bahwa dengan merayakan Maulid Nabi banyak hal baik terjadi sepanjang tahun, keamanan dan kenyamanan, sarana penghidupan yang lebih baik, peningkatan kekayaan pada anak-anak, kedamaian di kota dan di rumah," tulis Ibnu Jauzi.

Tulisan diambil dari referensi berikut : Tafsir Ruh al-Bayan oleh Allama Ismail Hiqqi, volume 9, halaman 56. Tafsir Milad al-Uroos-Urdu "Bayan e-Milad-un-Nabi", halalam 34/35, yang diterbitkan di Lahore. Tafsir Ad-Durr al-Munazzam, halaman 100/101. Tafsir Al-Milad an-Nabawi, Halaman 58.

2. Sejarawan abad ke-7, Syeikh Abu al-Abbas al-Azafi dan putranya Abu al-Qasim al-Azafi, menulis dalam Kitab al-Durr al-Munazzam. "Para jamaah haji yang saleh dan pelancong terkemuka memberi kesaksian, bahwa pada hari Maulid Shareef di Makkah al-Mukarrama, tidak ada kegiatan yang dilakukan, dan tidak ada yang dijual atau dibeli. Melainkan diisi oleh orang-orang yang sibuk mengunjungi tempat kelahiran Nabiyang mulia, dan bergegas ke sana. Pada hari ini, Ka'bah Suci dibuka dan dikunjungi."

3. IBNU BATTUTAH (Abad ke 8H ) mengatakan :
Qadhi' Makkah adalah ulama yang shalih serta ahli ibadah, Najmuddin Muhammad Bin Imam Al-Alim Muhyiddin Ath-Thabari, beliau orang yang ramah, gemar bersedekah dan simpati kepada orang disekelilingnya, baik akhlaknya, sering berthawaf dan rutin memperhatikan kondisi Ka'bah yang mulia, beliau banyak membagikan makanan di moment-moment tertentu, terutama ketika memperingati Maulid RASULULLAH Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, di moment itu beliau menyuguhkan makanan kepada para Syarif Makkah, kepada para tokoh dan orang-orang miskin beserta mereka yang bekerja di Masjidil Haram dan semua orang disekitarnya.
[Ar-Rihlah Ibnu Battutah : Jilid 1, Halaman 92]

4. Imam Ibnu Hajar al-Haitami رحمه الله تعالى ( Wafat di Mekah 974H dishalatkan didepan pintu Ka’bah) dalam kitabnya al-Maulid asy-Syarif al-Mu`adzdzham, Syeikh Ibnu Zahira al-Hanafi رحمه الله dalam al-Jami' al-Lathif fi Fasl Makkah wa Ahliha, ad-Diyabakri رحمه اللع dalam Tarikh al-Khamis dan Syeikh an-Nahrawali رحمه الله dalam al-I'lam bi A'lami Bait Allah al-Haram, menulis ttg peringatan Maulid Nabi ﷺ di Makkah berikut:-

Setiap tahun tanggal 12 Rabi`ul Awwal, selepas sholat Maghrib, keempat-empat qadhi Makkah (yang mewakili mazhab yang empat) bersama-sama orang banyak termasuk para fuqaha, fudhala` (orang kenamaan) Makkah, syeikh-syeikh, guru-guru zawiyah dan murid-murid mereka, ru`asa' (penguasa-penguasa), muta`ammamin (ulama-ulama) keluar meninggalkan Masjidil Haram untuk pergi bersama-sama menziarahi tempat Junjungan Nabi ﷺ dilahirkan. Mereka beriringan dengan melatunkan zikir dan tahlil (mungkin di sini asalnya tradisi orang kita mengadakan peringatan Maulid). Rumah-rumah di Makkah diterangi cahaya pelita dan lilin. Orang yang turut serta amat ramai dengan berpakaian indah serta membawa anak-anak mereka sekali. Setiba di tempat kelahiran tersebut, ceramah khas bersangkutan Maulidin Nabi ﷺ disampaikan serta kebesaran, kemuliaan dan mu'jizat Junjungan Nabi ﷺ diceritakan. Setelah itu, doa untuk Sultan, Amir Makkah dan Qadhi Syafi`i dibacakan dengan penuh khusyu' dan khudu`. Setelah hampir waktu Isya`, barulah mereka beriringan kembali ke Masjidil Haram untuk menunaikan sholat Isya`.

Imam Ibnu Hajr al Haytami (Rahimuhullah) juga menulis: "Pertemuan Mawlid dan Adhkaar yang berlangsung selama masa kita, sebagian besar terbatas pada perbuatan baik, misalnya di dalamnya, ada Sadaqah yang diberikan, Dzikir dilakukan, Shalawat dan Salam dikirim kepada Nabi dan dia dipuji." (Fatawa al-Hadithiyyah, Halaman 202)

5. MUFTI MADINAH Syeikh Ja’far Muhammad ALBARZANJI (Abad 12H) Membuat Syair Kitab Maulid AlBarzanji

6. Dalam kitab 'Fuyudh al-Haramain', Syeikh Waliullah (Wafat 1762M) juga telah menunjukkan bukti perayaan Maulid Nabi.
"Kelahiran Nabi dirayakan oleh masyarakat Makkah yang menerima berkah karenanya."

7. Ibnu Zahirah Rahimahulllah mengatakan :
Dan sudah menjadi tradisi di kota Makkah di malam senin, pada tanggal 10 bulan Rabi'ul Awwal di setiap tahunya bahwa Qadhi' Makkah dari madzhab Asy-Syafi'i melakukan persiapan untuk mengunjungi tempat yang mulia ini ba'da shalat maghrib dalam rangka menghadiri pertemuan besar antara tiga Qadhi' lainya (Hanafi, Maliki, Hanbali), kebanyakan yang hadir adalah para Fuqoha beserta orang-orang shalih, para bangsawan dengan membawa lampu dan lilin yang indah serta kumpulan masyarakat yang cukup banyak.
[Al-Jami' Al-Lathif Fi Fadhl Makkah : Halaman 285].

Syeikh Ibnu Zahira dari bukunya Jami al-Latif fi Fadli Makkata wa-Ahliha, kemudian Syeikh al-Haytami dari bukunya al-Mawlid al-Sharif al-Muazzam, dan sejarawan Syeikh al-Nahrawali dari al-Ilmam bi-Alam Bayt Allah al-Haram, berkata: "Setiap tahun pada tanggal 12 Rabi'ul Awwal Shareef, setelah shalat Maghrib, empat Qadhis Makkah al-Mukarrama (mewakili Empat Sekolah Sunni) dan kelompok besar masyarakat termasuk para ahli hukum dan tokoh penting Makkah al-Mukarrama, Syaikhayn, guru dan siswa Zawiya, pejabat sipil publik dan ulama, meninggalkan Masjid dan berangkat secara kolektif untuk berkunjung ke tempat kelahiran Nabi Alaihi Salam, mengumandangkan zikir dan tahlil."
Dalam buku itu diceritakan, bahwa rumah-rumah di jalanan menuju tempat kelahiran Nabi diterangi dengan banyak lentera dan lilin besar. Banyak warga yang keluar dan mereka semua memakai pakaian khusus serta membawa anak-anak mereka.
Sementara di dalam tempat kelahiran Nabi, terdapat sebuah khutbah khusus yang disampaikan dalam rangka memperingati hari kelahiran Nabi. Selanjutnya, ada do'a yang dipersembahkan bagi Sultan, Amir dari Makkah al-Mukarrama. Hakim Qadhi Syafi'i kemudian menutup acara dan semua orang berdoa dengan khusyuk.
Sementara itu, sesaat sebelum shalat Isya, seluruh warga kembali ke Masjid Agung, yang dipadati warga. Mereka lantas duduk di barisan di kaki makam Nabi Ibrahim.

8. Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani ( Wafat 1932M) dalam kitabnya yang berjudul 'Jawahir al-BiHar' juga menceritakan bukti perayaan Maulid Nabi.
"Penghuni Makkah mengunjungi Tempat Lahir Nabipada malam Mawlid an-Nabawi setiap tahunnya dan mengatur pertemuan-pertemuan besar (Halaman 122)."

9. Koran Makkah al-Mukkaramah, Al-Qibla, juga menulis tentang bukti-bukti tersebut. Pernyataan Al Qibla juga diperkuat oleh Tariqat bulanan di Lahore yang terbit pada Januari 1917M.

Diceritakan, pada malam Maulidan Nabi perayaan dijalankan. Warga Makkah menamai hari itu sebagai 'Youm al-Eid Mawlid ar-Rasulullah. Pada malam perayaan itu, mereka memasak makanan. Amir Makkah dan Panglima Hijaz dengan tentara mereka mengunjungi tempat kelahiran Nabi Muhammad dan membacakan ucapan puji-pujian atau Qasidah di sana.
Sementara itu, deretan lilin yang bersinar diposisikan dari Haram al-Makki menuju tempat kelahiran Nabi. Selain itu, rumah-rumah dan toko-toko juga dihias. Warga menggunakannya untuk melafalkan Qasaid atau syair sepanjang hari di tempat kelahiran Nabi. Pada malam tanggal 11 Rabiu'l Awwal setelah isya', pertemuan Mawlid kemudian digelar. Sejak shalat Maghrib pada 11 Robiu'l Awwal hingga shalat Ashar pada 12 Robiu'l Awwal, setelah setiap shalat, persembahan salam atau penghormatan dari 21 tank ditampilkan.

*Dari berbagai Sumber.
Maulid di Mekah Madinah mulai dihapuskan sejak Bani Saud dari Najed menguasai Hijaz 1924M

Maulid Nabi di kota suci dihapus sejak KSA menguasai 1924M

Syekh Ibni Jubair 614 H, yang mendokumentasikan perjalanannya:

اﺑﺘﺪﺉ ﺑﺘﻘﻴﻴﺪﻫﺎ ﻳﻮﻡ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻟﺸﻬﺮ ﺷﻮاﻝ ﺳﻨﺔ ﺛﻤﺎﻥ ﻭﺳﺒﻌﻴﻦ ﻭﺧﺴﻤﺎﺋﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﺘﻦ اﻟﺒﺤﺮ

"Aku mulai menulisnya di hari Jumat, 30 Syawal 578 H, di atas lautan"

Terkait catatan perayaan Maulid Nabi di Makah beliau mengabadikan:

ﻳﻔﺘﺢ ﻫﺬا اﻟﻤﻮﺿﻊ اﻟﻤﺒﺎﺭﻙ ﻓﻴﺪﺧﻠﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻛﺎﻓﺔ ﻣﺘﺒﺮﻛﻴﻦ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﺑﻴﻊ اﻷﻭﻝ ﻭﻳﻮﻡ اﻹﺛﻨﻴﻦ ﻣﻨﻪ ﻷﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﺷﻬﺮ ﻣﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻓﻲ اﻟﻴﻮﻡ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭ ﻭﻟﺪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺗﻔﺘﺢ اﻟﻤﻮاﺿﻊ اﻟﻤﻘﺪﺳﺔ اﻟﻤﺬﻛﻮﺭﺓ ﻛﻠﻬﺎ ﻭﻫﻮ ﻳﻮﻡ ﻣﺸﻬﻮﺭ ﺑﻤﻜﺔ ﺩاﺋﻤﺎ.

Tempat yang berkah ini (kelahiran Nabi) dibuka kemudian orang-orang memasukinya seraya mengharap berkah di bulan Rabiul Awal dan hari Senin di bulan tersebut. Di bulan dan hari inilah kelahiran Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Tempat-tempat yang suci tersebut dibuka semuanya. Ini adalah hari yang populer di Makah selamanya (Rihlah Ibni Jubair, hal.96)

Lembaga2 resmi fatwa dunia Islam yg membolehkan diantaranya : 

1. Hai'ah Ulama Sudan Daa'irah Al-Fatwa 
2. Daarul Ifta' Al-Mishriyah 
3. Hai'ah Al-'Aammah Lisy Syu'un Al-Islamiyah wal Awqof (UEA) 
4. Daarul Ifta' Al-Urduniyah 
5. Wizarah Al-Awqof wa Asy-Syu'un Al-Islamiyah Kuwait 
6. Daarul Ifta' Al-Fislitiniyah 
7. Diwan Al-Ifta' Al-Jumhuriyah At-Tunisiyah 
8. Wizarah Al-Awqof wa Asy-Syu'un Al-Islamiyah Maroko 
9. Wizarah Al-Awqof Bil Jumhuriyah As-Suriyyah 
10. Daarul Ifta' Al-Mazhalim Mauritania 
11. Daarul Ifta' Al-Jumhuriyah Al-Lubnaniyah
12. Majelis Ulama Indonesia 

Sedangkan lembaga resmi yg melarang dari Maulid Nabi adalah : 

1. Lajnah Ad-Daaimah Lil Buhuuts Al-Islamiyah Kerajaan Saudi Arabia

Para Imam Dan Ulama' Di Seputar Maulid Nabi.

Yang Memperbolehkan:

1. Al-Imam Ibnu Al-Jauzi Al-Hanbali [597 H].
2. Al-Imam Abu Syamah Al-Maqdisi (guru Imam An-Nawawi) [660 H].
3. Al-Imam Ibnu Khalfan [681 H].
4. Al-Imam Al-Hafidh Al-Iraqi {penulis 'Al-Mauridul Hani Fil Maulid As-Saniy'} [725 H].
5. Al-Imam Al-Hafidh Adz-Dzahabi [748 H].
6. Al-Imam Al-Hafidh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi {penulis 'Maulid Ibnu Katsir'} [774 H].
7. Al-Imam Ibnu Al-Jazri Al-Muqri' {penulis 'Arafut Ta'rif Bil Maulid Asy-Syarif'} [833 H].
8. Al-Imam Burhanuddin Al-Halabi [841 H].
9. Al-Imam Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi {penulis 'Al-Mauridus Shawi Fi Maulidil Hadi'} [842 H].
10. Al-Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani [852 H].
11. Al-Imam Al-Hafidh As-Sakhawi {penulis 'Al-Fakhrul Ulwi Fil Maulid An-Nabawi'} [902 H].
12. Al-Imam Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi [911 H].
13. Al-Imam Al-Hafidh As-Syihab Al-Qasthalani [923 H].
14. Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitsami {penulis 'Itmamun Ni'mah Alal Alam Bimaulidi Sayyidi Waladi Adam'} [983 H].
15. Al-Imam Al-Khatib Asy-Syirbini {penulis 'Al-Maulid Ar-Rowi Fil Maulid An-Nabawi'} [988 H].
16. Al-Imam Mula Ali Qari {penulis 'Al-Maulid Ar-Rowi Fil Maulid An-Nabawi'} [1094 H].
17. Al-Imam Al-Barzanji {penulis 'Iqdul Jauhar Fi Maulid An-Nabi Al-Azhar'} [1177 H].
18. Al-Imam Ibnu Abidin Al-Hanafi [1252 H].
19. Al-Imam Ahmad Zaini Dahlan [1304 H].
20. As-Sayyid Al-Bakri Ad-Dimyathi [1310 H].
21. Al-Mufkir Hasan Al-Banna [1368 H].
22. Mayoritas ulama yang tersebar di berbagai negara muslim mulai dari Syiria, Yaman, Iraq, Mesir, Negara Timur dan Barat, Asia Tenggara, Afrika dan sebagian Jazirah Arab.

Yang Memperbolehkan Dengan Catatan:

1. Al-Imam Ibnu Taimiyah [728 H].
2. Al-Imam Tajuddin Al-Fakihani As-Shufi Al-Asyari [734 H].
3. Al-Imam Ibnu Al-Hajj Al-Maliki [737 H].

Yang Melarang:

1. Nasiruddin Al-Albani [1420 H].
2. Abdul Aziz Ibnu Baz [1420 H].
3. Muhammad Bin Utsaimin [1421 H].
4. Sebagian ulama Saudi Arabia

Kesimpulan:
Yang memperbolehkan maulid adalah mayoritas ulama dan imam ahli fikih, penghafal qur'an dan hadits terdahulu (salaf) yang notabene menjadi rujukan ilmu agama para ulama belakangan.

Ayo Maulidan !!!

"IKUTILAH GOLONGAN MAYORITAS ULAMA' KARENA PASTI BENAR DAN UMMAT NABI,SAWW SECARA MAYORITAS TENTU MENENTANG KESESATAN"

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
"إِنّ أُمَّتي لن تجْتمع على ضلالة، فإِذا رأَيْتمْ الاخْتلاف فعليْكمْ بالسّواد الْأَعْظمِ"
.
Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kamu melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah golongan mayoritas (Ulama').
(HR. Ibnu Majjah).
.
Nabi, SAWW bersabda:..
.
قال المناوي رحمه الله في معنى الحديث : ( من باع داراً..) لأنها ثمن الدنيا المذمومة وقد خلق اللّه الأرض وجعلها مسكناً لعباده ، وخلق الثقلين ليعبدوه ، وجعل ما على الأرض زينة لهم: ( لنبلوهم أيهم أحسن عملاً ) ، فصارت فتنة لهم ( إلا من رحم ربك) فعصمه ، وصارت سبباً للمعاصي فنزعت البركة منها ، فإذا بيعت وجعل ثمنها متجراً لم يبارك له في ثمنها ، ولأنه خلاف تدبيره تعالى في جعل الأرض مهاداً . 
وأما إذا جعل ثمنها في مثلها فقد أبقى الأمر على تدبيره الذي هيأه له ، فيناله من البركة التي بارك فيها ، فالبركة مقرونة بتدبيره تعالى لخلقه..." انتهى من "فيض القدير"(6/119) 
وقال أبو جعفر الطحاوي رحمه الله: " وكأن ابن عيينة انتزع فيه أنه وجد الله عز وجل يقول " وبارك فيها وقدر فيها أقواتها " يعني الأرض فكان من باع داراً أو عقاراً فقد باع ما بارك الله عز وجل فيه ، فعاقبه بأن جعل ما استبدله به يعني مما سواه من الآدر والعمارات غير مبارك له فيه ، والله عز وجل نسأله التوفيق " انتهى من "بيان مشكل الآثار"(9/206)

وقال الملا علي القاري : " قَالَ الْمُظْهِرُ: " يَعْنِي: بَيْعُ الْأَرَاضِي وَالدُّورِ وَصَرْفُ ثَمَنِهَا إِلَى الْمَنْقُولَاتِ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ، لِأَنَّهَا كَثِيرَةُ الْمَنَافِعِ قَلِيلَةُ الْآفَةِ لَا يَسْرِقُهَا سَارِقٌ وَلَا يَلْحَقُهَا غَارَةٌ بِخِلَافِ الْمَنْقُولَاتِ، فَالْأَوْلَى أَنْ لَا تُبَاعَ وَإِنْ بَاعَهَا فَالْأَوْلَى صَرْفُ ثَمَنِهَا إِلَى أَرْضٍ أَوْ دَارٍ . 
 مرقاة المفاتيح شرح مشكاة المصابيح.
.
#BukanTerjemahnya

"Hanya ASWAJA BER AQIDAH ASY'ARIY lah Kaum Mayoritas Ulama' sesuai Hadits (as-Sawa'azzul AZZOM') pula sesuai instruksi Rasulullah,SAW sebagai kaum selamat, karena menta'ati instruksi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau berikut :
.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Riwayat dari ‘Abdullah R.A. dari Nabi SAWW. bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup pada zamanku (generasiku), kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka. (H.R. Bukhari Muslim)
.
Karena itulah Pilihan Paling Selamat bagi segenap ASWAJA adalah  berguru langsung (tallaqi') atau menyimak Pengajian/ Majlis² Ilmu Kyai, Ghawaghis ASWAJA NU karena beliaulah yang masuk kriteria sebagai Ulama' waro'shah yg Ilmu dan akhlaknya Ber-Sanad Muttashil. Ini penting kita pedomani karena, menurut:  "Imam Syafi'i Rohimahullah berkata : "Ilmu tanpa SANAD adalah "wiswasu al-shayatin", artinya inilah pernyataan TEGAS bhw Fiqih Syafi'i adalah yg paling FAQIH karena ber-Sanad (aliy)  dari sumber² Hadits Shahih.

Juga karena pentingnya SANAD MUTTASSIL menurut Imam Abdullah ibn al-Mubarak rahimahullah,:
.
إن هذا العلم دِينٌ، فانظُروا عمَّن تأخذون دينَكم
"Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka, pertimbangkanlah baik-baik dari siapa kalian akan menerima agama kalian." []

Karenanya, terhadap kaum WAHABIY ngaku² SALAFIY wajib kita TOLAK ujaran/postingan mereka sebab TIDAK ADA NILAI KEBENARAN di dalamnya, akibat langsung dari AQIDAH SESAT TAJSIM yang mereka Puja Puja.
.
باب الاجتهادمفتوح ولم يزل
وشروط الاجتهادمطلوبة ولم تزل
.
جزا الله انا سيدنامحمداماهواهله
اديب حسن بسري
.
MADZIWAH Muchtarom al-ASYRAF

Minggu, 06 Agustus 2023

Al-Albani Berdusta Atas Rasulullah

Al-Albani dalam karyanya berjudul at-Tawassul berkata [1]:

ولكن ثمة أمر يجب تبيانه، وهو أن النبي صلى الله عليه وسلم وإن أقر الصحابة في غزوة الحديبية وغيرها على التبرك بآثاره والتمسح بها، وذلك لغرض مهم …، إلا أن الذي لا يجوز التغافل عنه ولا كتمانه أن النبي صلى الله عليه وسلم بعد تلك الغزوة رغّب المسلمين بأسلوب حكيم وطريقة لطيفة عن هذا التبرك، وصرفهم عنه، وأرشدهم إلى أعمال صالحة خير لهم عند الله عز وجل، وهذا ما يدل عليه الحديث الآتي:عن عبد الرحمن بن أبي قراد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم توضأ يوماً، فجعل أصحابه يتمسحون بوضوئه، فقال لهم النبي صلى الله عليه وسلم ما يحملكم على هذا؟ قالوا: حب الله ورسوله. فقال النبي صلى الله عليه وسلم من سره أن يحب الله ورسوله، أو يحبه الله ورسوله فليصدق حديثه إذا حدث، وليؤد أمانته إذا اؤتمن، وليحسن جوار من جاوره. اهـ

“Di sana ada perkara yang wajib dijelaskan, yaitu bahwa Rasulullah sekalipun beliau menyetujui para Sahabat dalam peristiwa perang al-Hudaibiyah dan lainnya dalam praktek tabarruk (mencari berkah) dengan peninggalan - peninggalannya, mengusapnya, bahwa demikian itu adalah untuk tujuan penting,… hanya saja yang tidak boleh dilupakan dan tidak boleh disembunyikan bahwa setelah kejadian itu Rasulullah mengingatkan orang-orang Islam dengan bahasa yang lembut untuk meninggalkan praktek tabarruk ini, beliau memalingkan mereka dari praktek tabarruk dengan mengarahkan mereka kepada amal-amal saleh yang lebih baik daripada tabarruk bagi mereka dan lebih lurus. Inilah apa yang ditunjukan oleh Hadits berikut ini; dari Abdur-Rahman ibn Abi Qirad, bahwa Rasulullah suatu hari berwudlu maka para Sahabatnya mengusap dengan bekas air wudlu Rasulullah tersebut [pada wajah dan tubuh mereka], maka Rasulullah bersabda: Apa yang membuat kalian melakukan perbuatan ini? Mereka menjawab: Cinta Allah dan Rasul-Nya. Maka Rasulullah bersabda: Siapa yang senang untuk meraih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya atau meraih cinta Allah dan Rasul-Nya bagi dirinya maka hendaklah ia jujur dalam berkata-kata, hendaklah ia menunaikan amanat kepada pemiliknya, dan hendaklah berbuat baik kepada tetangganya”. 
[Demikian tulisan al-Albani].

Bantahan:

Orang ini menyandarkan kebohongan terhadap Rasulullah dengan suatu perkara yang Rasulullah terbebas dari perkara tersebut. Sungguh, itu adalah tuduhan palsu [dan menyesatkan]. Karena sebenarnya Rasulullah mengajarkan kepada para sahabatnya, dan memberi petunjuk dan motivasi kepada mereka untuk mempraktekan tabarruk dengan peninggalan-peninggalannya di peristiwa haji Wada’, yang di mana Rasulullah setelah peristiwa itu hidup hanya sekitar 80 hari saja. Artinya, Rasulullah mengajarkan kepada para sahabatnya untuk mempraktekan tabarruk di akhir hidupnya. Dalam haji Wada’ tersebut Rasulullah bercukur rambut, lalu oleh beliau sendiri potongan rambut mulia itu dibagikan di antara para sahabat, sebagaiannya beliau berikan kepada Abu Thalhah supaya ia membagi-bagikannya di antara orang banyak. Penjelasan lebih luas tentang Hadits ini akan datang in sya Allah.
Pemahaman al-Albani terhadap Hadits-Hadits tentang tabarruk sangat aneh dan mengherankan [sekaligus menyesatkan]. Pemahaman yang tidak pernah diungkapkan oleh siapapun sebelumnya dari para ulama ahli Hadits dan ulama lainnya yang memiliki pemahaman yang benar dan lurus. Pemahaman al-Albani tersebut tidak memiliki landasan dalil akal yang sehat, juga tidak memiliki landasan dalil naqli yang sahih. Sungguh, Hadits-Hadits tentang tabarruk tidak seperti apa yang dipahami oleh al-Albani. Pemahamannya justru didasarkan kepada prasangka yang sangat rusak [dan batil]. Dan sesuatu yang dibangun di atas pondasi yang rusak maka ia itu adalah rusak pula.
Adapun dalil-dalil [sahih dan kuat] yang dapat membantah paham [sesat al-Albani, dan mengungkap dusta besarnya terhadap Rasulullah; di mana Rasulullah membolehkan tabarruk dengan peninggalan-peninggalannya baik di masa hidupnya atau setelah wafatnya maka ia itu sangat banyak. Beberapa di antaranya kita sebutkan, yaitu beberapa peristiwa praktek tabarruk setelah perang al-Hudaibiyyah dan setelah wafatnya Rasulullah.

Al-Bukhari [2] dan Muslim [3] meriwayatkan dari Hadits sahabat Anas ibn Malik, dalam lafazh riwayat Imam Muslim, Anas berkata:

لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا طَلْحَةَ الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال “احْلِق”، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ ثمّ قَال: ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية أنّه عَليهِ الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ إلَى الجَانِب الأيْمَن فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)

“Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya, Rasulullah kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu Thalhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut. Lalu Rasulullah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut diberikan kembali kepada Abu Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di antara manusia”. Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua helai rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga dibagi-bagikan. Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah kemarilah…!”, kemudian Rasulullah memberikan Potongan rambutnya kepadanya. Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada tukang cukur: “(Cukurlah) Bagian sini…!”, sambil beliau memberi isyarat ke bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan kepada Ummu Sulaim”. (HR. Muslim).

Dalam Hadits ini dengan tegas disebutkan bahwa Rasulullah sendiri yang membagi-bagikan pontongan rambutnya di antara orang banyak, agar mereka mencari berkah (tabarruk) dengannya, baik di masa hidup Rasulullah atau setelah wafatnya. Peristiwa ini terjadi dalam haji Wada’, sekitar 80 hari sebelum wafatnya Rasulullah.

Dengan demikian jelas apa yang dituduhkan al-Albani adalah pemahaman batil dan rusak. [Itu menjadi salah satu] bukti bahwa al-Albani tidak memiliki pemahaman yang baik dan lurus terhadap Hadits-Hadits Rasulullah, walaupun ia mengaku dirinya sebagai muhaddits.

Di antara dalil lainnya menunjukan kebolehan tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah setelah wafatnya adalah Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shahih dari Abdullah ibn Abi Kaisan [4], hamba sahaya yang telah dimerdekakan oleh Asma’ binti Abi Bakr, bahwa ia berkata:

أخْرَجَتْ إليْنَا جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا (رَواه مُسْلم)

“Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata: “Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah –dengan motif– thayalisi dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua lubangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.

Seandainya pemahaman para Sahabat bahwa tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah sebagai perbuatan terlarang [seperti pemahaman batil al-Albani] maka mereka tidak akan berlomba dalam mempraktekannya. Kita memiliki banyak dalil dalam kebolehan dan anjuran tabarruk. Silahkan anda baca kitab berjudul Sharih al-Bayan karya guru kami, al-‘Allamah al-Muhaddits syekh ‘Abdullah al-Harari [5].

Dari sini jelas bagi kita bahwa al-Albani tidak memiliki ilmu [dan tidak memiliki pemahaman yang benar] terhadap Hadits-Hadits Rasulullah walaupun ia mengaku telah bergelut puluhan tahun dalam menelaah Hadits-Hadits tersebut. Apa yang ia sandarkan [dari pemahaman rusak] kepada Rasulullah seperti yang ia tuliskan dalam karyanya di atas adalah pemahaman batil yang tidak memiliki dasar. Sungguh, pemahamannya itu adalah pemahaman distorsif, pemalsuan fakta, penipuan, muslihat dan faham yang sangat menyesatkan. Waspadalah!

____

[1] Al-Albani, at-Tawassul (h. 162)

[2] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Wudlu’, Bab tentang air yang dipakai untuk membasuh rambut

[3] Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Hajj, Bab penjelasan tentang kesunnahan di hari nahr(raya Qurban) untuk melontar [jumrah] terlebih dahulu, kemudian memotong qurban, dan kemudian menggunduli rambut kepala.

[4] Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Libas Waa z-Zinah (Kitab tentang pakian dan perhiasan), Bab tentang keharaman mempergunakan perlatan dari emas dan perak bagi kaum laki-laki dan perempuan, keharaman cincin emas dan kain sutra bagi kaum laki-laki, dan kebolehannya bagi kaum laki-laki.

[5] ‘Abdullah al-Harari, Sharih al-Bayan Fi ar-Radd ‘Ala Man Khalaf al-Qur’an, h. 296

Sumber: Fatawa al-Albani Fi Mizan asy-Syari’ah
Karya: Syekh Prof. Dr. Tarek Lahham
Penerjemah: Kholil Abou Fateh

Selasa, 01 Agustus 2023

JANGAN PERCAYA KEPADA UCAPAN KAUM SALAFI WAHABI YANG MENGATAKAN AQIDAH MEREKA ADALAH AQIDAH MENGIKUTI ULAMA SALAF.!!

INILAH AQIDAH ULAMA SALAF YANG ASLI.!!

Al-Imam al-Mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama salaf terkemuka, perintis madzhab Hanafi, berkata:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

“Allah ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)” (Lihat al-Fiqhul Akbar karya Imam Abu Hanifah dengan Syarahnya karya Mulla ‘Ali al-Qari, h. 136-137).

Juga berkata:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqhul Absath karya Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Juga berkata:

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.

“Dan kita mengimani adanya ayat “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa” -sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an- dengan menyakini bahwa Allah tidak membutuhkan kepada ‘‘arsy tersebut da tidak bertempat atau bersemayam di atasnya. Dia Allah yang memelihara ‘‘arsy dan lainnya tanpa membutuhkan kepada itu semua. Karena jika Allah membutuhkan kepada sesuatu maka Allah tidak akan kuasa untuk menciptakan dan mengatur alam ini, dan berarti Dia seperti seluruh makhluk-Nya sendiri. Jika membutuhkan kepada duduk dan bertempat, lantas sebelum menciptakan makhluk-Nya -termasuk ‘arsy- di manakah Dia? Allah maha suci dari itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh asy-Syekh Mullah ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70.).

Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi. Kita katakan kepada mereka: Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka di kalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi’in, dan para ulama tabi’in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.

Adapun ungkapan Imam Abu Hanifah yang menyebutkan bahwa telah menjadi kafir seorang yang berkata “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah ia di langit atau di bumi!?”, demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah di atas ‘arsy, dan aku tidak tahu arah ‘arsy, apakah ia di langit atau di bumi!?”, hal ini karena kedua ungkapan tersebut menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah. Karena itu Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang mengatakan demikian. Karena setiap yang membutuhkan kepada tempat dan arah maka berarti ia adalah pastilah sesuatu yanga baharu. Maksud ungkapan Imam Abu Hanifah tersebut bukan seperti yang disalahpahami oleh orang-orang Musyabbihah bahwa Allah berada di atas langit atau di atas ‘arsy. Justru sebaliknya, maksud ungkapan beliau ialah bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, sebagaimana dalam ungkapan-ungkapan beliau sendiri yang telah kita tulis di atas.

Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-‘Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata: “-Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)” (Dikutip oleh Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar, h. 198).

Pernyataan Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla ‘Ali al-Qari. Ia berkata: “Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ‘ibn ‘Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut. Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan” (Lihat Mulla ‘Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).