Kamis, 26 September 2019

Makam Guru Besar Hadits Yang Porak Poranda

_________
Sedih Dan Terenyuh Ketika Melihat Peristirahatan Terakhir (Baca : Makam) Sang Amirul Mu'minin Fil Hadits, Ulama Besar Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqallani Yang Hampir Runtuh.

Tahun 2005 Ketika Saya (Baca : Peziarah) Kesana, Kondisinya Masih Bagus. Tapi Sekarang Atapnya Sudah Hancur, Dan Didepan Pintu Makam Penuh Kotoran Hewan Karena Dijadikan "Pasar Hewan".

Tumpukan Tanah Sengaja Ditempatkan Didepan Pintu Makam Agar Orang Tidak Lagi Menziarahi Ulama Besar Ini, Karena Salafi Wahhabi Menganggap Beliau Sebagai "Ulama Sesat Dan Ahli Bid'ah".
Bahkan Ibnu Utsaimin Mengatakan Kalau Ibnu Hajar Al-'Asqallani Ini Bukanlah Ulama Ahlus Sunnah !!! Ibnu Baz Juga Mengecap Ibnu Hajar Sebagai Ulama Pendukung Kemusyrikan Karena Telah Meriwayatkan Hadits Shohih Tentang Tawassul Di Kuburan.

Tidak Sampai Disitu, Makam Beliau Ini Juga Pernah Akan Mereka Hancurkan. Namun Karena Masyarakat Banyak Mengecam, Akhirnya Sekarang Makam Beliau Tidak Jadi Dihancurkan, Namun Hanya Dijadikan Sebagai "Pasar Hewan" Agar Orang-Orang Jijik Menziarahi Makam Beliau Disebabkan Banyak Kotoran Hewan Disekitar Area Makam.

Al-Hafizh Banyak Melahirkan Karya-Karya Monumental Dalam Ilmu-Ilmu Keislaman, Terutama Dalam Ilmu Hadits Dan Rijalul Hadits, Diantaranya :
- Fathul Bari Syarah Shohih Al-Bukhari Yang Terdiri Dari 18 Jilid Tebal, Merupakan Tanggapan Dan Komentar Beliau Terhadap Kitab Hadits Shohih Bukhari.
- Tahdzibut Tahdzib Terdiri Dari 5 Jilid, Mengupas Tentang Sejarah Rijalul Hadits.
- Taqribut Tahdzib 1 Jilid Tebal, Merupakan Ringkasan Dari Kitab Tahdzibut Tahdzib.
- Al-Ishobah Fii Tamyiz Ash-Shohabah Terdiri Dari 10 Jilid Tebal, Merupakan Kitab Ensiklopedia Para Perawi Dari Kalangan Sahabat Atau Bukan, Dalam Kitab Ini Disebutkan Nama Ribuan Perawi.
- Bulughul Marom Min Adillatil Ahkam, Kitab Hadits Khusus Mengenai Sumber Atau Dalil Dalam Masalah Hukum Fiqih.
- Nataijul Afkar Fii Takhrij Ahadits Al-Adzkar 5 Jilid, Merupakan Komentar Dan Takhrij Beliau Terhadap Hadits-Hadits Dalam Kitab Al-Adzkar Imam Nawawi.
- Talkhis Al-Habir Fii Takhrij Ahadits Ar-Rafi'i Al-Kabir 5 Jilid, Kitab Takhrij Dan Komentar Beliau Atas Kitab Syarah Al-Wajiz Karya Imam Rafi'i.
- Lisanul Mizan, Yang Merupakan Referensi Urgent Dalam Studi Kritik Hadits.

Beliau (Al-Hafizh Ibnu Hajar, red) Telah Mengajarkan Kita Agar "Melek" Ilmu Hadits, Rijalul Hadits, Dan Hukum-Hukum Agama. Tapi Sayang Setelah Beliau Sekian Lama Berkecimpung Dalam Ilmu, Mengabdi Untuk Agama, Dan Wafat, Makamnya Pun Malah Mau Dihancurkan Oleh Salafi Wahhabi.

Lalu Bagaimana Perasaan Kita Bila Melihat Ulama Pewaris Nabi Diperlakukan Seperti Ini ?? Sedangkan Ulama Sehebat Ini Saja Masih Dianggap "Tersesat" Oleh Salafi Wahhabi.

Kamis, 19 September 2019

BID'AH MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

Oleh : Mbah Jenggot
Bid’ah adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti- wanti kita jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul anbiya, sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umat dari bid’ah yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.

Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.

Lain halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan perbuatan yang sangat tercela. Namun, jika suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.

Sehingga melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin.

 

PENGERTIAN BID’AH

Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)

Kata Bid’ah (Jama‘nya ; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau mubdi’“[1]

Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:

بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ

“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)

Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)

Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.

1.Ibnu Hajar al-Asqalani. Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]

2.Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]

3.Muhammad Rasyid Ridha. Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]

Penjelasan Definisi

Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.

Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela ?

Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.

- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?

- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?

Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.

 

MACAM-MACAM BID’AH

Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.

Imam Syafi’i RA berkata :

اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.

“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]

Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :

اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة

‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya

Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.

Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut : “Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]

Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam :

1.Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.

2.Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.

3.Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.

4.Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.

5.Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.

Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]

Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.

Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah.

Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah.

Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.

Kitab Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.

Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits.

Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.

Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.

Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.

Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih.

Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah.

 

PENJELASAN HADITS-HADITS TENTANG BID’AH

Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.

Penah terjadi dialog menarik. Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.

A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.

B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?

A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.

B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.

A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.

B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?

A : Itu bukan bid’ah

B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.

A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.

B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?

A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”

B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah -yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?

A : Terdiam tidak menjawab.

B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.

Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”

Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.

Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.

Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.

Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.

Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf.

Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).”

Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh.

Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.

 

HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH

Rasulullah SAW bersabda:

كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).

Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]

Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ

“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)

Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan : Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.

Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:

1.Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.

2.Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]

Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..” (Al-Hujarat : 2)

Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali

Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Di antaranya:

1. Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)

Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.

2. Allah SWT berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً

“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.” (QS. al-Kahfi : 79)

Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.

3. Allah berfirman :

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ

“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)

Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur. Allah berfirman :

إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ

“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23).

Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.

Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.

Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.

Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.

1. Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً

“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” (QS. Fathir: 10)

Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:

وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ

“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8).

Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.

2. Allah SWT berfirman:

إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن

“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98)

Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.

3. Rasulullah SAW. bersabda:

“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)

Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.

4. Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].

Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).

 

HADITS KEDUA TENTANG BID’AH

Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)

“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?

Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:

1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”

2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”

KH. Ali Badri Azmatkhan berkata : “Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).

Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.

Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.

Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).

Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]

Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.

Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil

AMALAN BARU (Tidak Ada Di Zaman Nabi ) DAN SUMBERNYA *

1.Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”

2.Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an

3.Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”

4.Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat

5.Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”

6.Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb. Jelas banyak dalilnya.

7.Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”

8.Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai

*Diantaranya saja

Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil Atau Bertentangan Dengan Syari’at

1.Melakukan shalat karena adanya bulan purnama. Tidak ada sumbernya

2.Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll. Tidak ada sumbernya

3.Shalat dengan mengangkat kaki sebelah Bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat

4.Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab. Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat.

 

HADITS KETIGA

Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...

“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ (HR. Tirmidzi).

Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.

Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :

وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا

‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)

Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:

وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا

“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”

Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:

اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ

“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”

Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:

وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ

“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’

Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.

Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.

______________________________________

[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب

[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.

[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272

[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.

[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut

[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.

[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.

[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.

[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.

[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.

[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah

Selasa, 10 September 2019

Kebenaran Ahlussunnah Wal Jamaah


PANDUAN MENCARI KEBENARAN DAN HIDAYAH ALLAH...
Masing-masing kata mereka yang benar. Syiah kata mereka yang benar. Wahhabi kata mereka yang benar. Kita pula kata kita yang benar.
Bagaimana nak tahu yang mana satu yang benar ?

وَالَّذِىْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ, لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً. فَوَاحِدَةً فى الْجَنَّةُ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِى النَّارِ. قِيْلَ: مَنْ هُمْ يَارَسُوْلُ اللهِ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
(رواه الطبرانى)
Rasulullah SAW bersumpah: "Demi zat yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku bakal terpecah menjadi 73 golongan. Maka yang satu golongan masuk syurga, sedangkan yang 72 golongan masuk neraka. Sahabat bertanya: Siapakah golongan (yang masuk Syurga) itu ya Rasulullah? Baginda menjawab: Ahlus sunnah Wal jamaah” (HR. al-Tabrani)
Ulasan Ishaq ibn Rahawaih, seorang ulama Salaf yang terkemuka: “Al-Jama’ah itu adalah para ulama yang berpegang pada atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya. Sesiapa bersama mereka dan mengikuti mereka, maka merekalah Al-Jama’ah”. (Hilyatul-Auliyaa’ 9/239).
Imam Asy Syathibi menyimpulkan:
قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛
“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah.” (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa Lajnah Ad Daimah 76/276)
Al-Jama’ah atau Ahlus Sunnah Waljamaah adalah para ulama yang benar dan orang yang bersama dan mengikuti mereka.
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Kitab Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata para ulama, bahwa Al-Jama’ah atau Ahlus Sunnah Waljamaah adalah As-sawadul a’zham (majoriti)".
As-sawadul a’zham adalah "majoriti ulama dan orang yang bersama mereka".
Asya`irah dan Al-Maturidiyyah telah diikuti oleh "majoriti ulama dan orang yang bersama mereka"
*
Berkata As-Sheikh Muhammad Amin yang terkenal dengan gelaran Ibnu Abidin di dalam kitab terkenal beliau yang berjudul Rad Al-Muhtar `Ala Ad-Duraril Mukhtar: "Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah Asya`irah (pengikut Abu al-Hasan Al-Asya`ri) dan Al-Maturidiyyah (pengikut Abu Mansur Al-Maturidi)". Perkara yang sama juga disebut oleh al-Hafiz Murtadha az-Zabidi di dalam kitab Ithaf as-Sadah al-Muttaqin.
Al-Syeikh Prof Dr. Ali Juma`ah, mufti Mesir, menjelaskan tentang mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama`ah di dalam kitabnya al-Bayan lima Yashghul al-Azham, mengatakan: "Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama`ah – al-Asya`irah dan al-Maturidiyyah- adalah mazhab yang jelas pada keseluruhan bab-bab tauhid, namun banyak orang-orang yang mengingkarinya ialah orang-orang yang jahil terhadap mazhab tersebut yang sebenar pada masalah iman kepada Allah."
*
Kebenaran al-Asya`irah Dan Al-Maturidiyyah Disokong Oleh Al-Quran Dan Hadith
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ) المائدة :54
Mafhumnya : "Wahai orang-orang yang beriman, sesiapa yang murtad daripada agamanya (Islam) maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang mana Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah kurniaan Allah diberikan kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan Allah maha luas pemberiannya lagi Maha Mengetahui". ( Al-Maidah:54 ).
Al-Hafiz Ibn `Asakir di dalam kitabnya (تبيين الكذب المفتري) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak meriwayatkan bahawasanya tatkala turun ayat ini, Rasulullah mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy`ari dengan bersabda:
هم قوم هذا

Mafhumnya : "Mereka (yang dimaksudkan di dalam ayat tadi ) adalah kaum ini". Berkata Imam al-Qusyairi :
"Pengikut Abu al-Hasan al-Asy`ari adalah termasuk kaumnya kerana setiap tempat yang disandarkan perkataan kaum oleh nabi ia membawa maksud pengikut. Perkara ini disebut oleh Imam al-Qurtubiy di dalam kitab tafsirnya.(rujuk kitab tersebut jilid 6 halaman 220).
Berkata al-Hafiz al-Baihaqi :
"Perkara ini adalah kerana wujudnya kelebihan yang mulia dan martabat yang tinggi bagi imam Abu al-Hasan al-Asy`ari semoga Allah meredhainya. Dia adalah daripada kaum Abu Musa dan anak-anaknya dianugerahkan ilmu pengetahuan, diberikan kefahaman secara khusus dikalangan mereka dengan menguatkan sunnah, membasmi bid`ah dengan mengeluarkan hujah dan membantah penyelewengan. Perkara ini disebut oleh al-Hafiz Ibn `Asakir di dalam kitab (تبيين الكذب المفتري).
Imam Bukhari, seorang yang berstatus amir al-mukminin dalam bidang hadith menyebutkan di dalam sahihnya pada bab ((باب قدوم الأشعريين وأهل اليمن)). Baginda bersabda kepada Abu Musa :
هم مني وأنا منهم
Mafhumnya : "mereka sebahagian daripadaku, aku pula sebahagian daripada mereka".
*
Senarai Ulama Yang Berpegang Dengan aliran Asya`iroh

Menurut ulama al-muhaqqiqun majoriti umat Islam bermula daripada salaf dan khalaf sama ada dalam apa jua bidang pun, baik akidah, fiqh, al-Quran, tafsir, hadith, tasauf, bahasa arab, nahu, sorof, adab dan lain-lainnya kesemuanya dalam hal keyakinan dan akidah selari dengan akidah al-Asya`iroh dan al-Maturidiyah.

Di antara golongan al-huffaz yang merupakan pemuka para muhaddithin dan berpegang dengan akidah ini :

1. Al-Hafidz Abu Bakar Al-Ismaily, tuan punya kitab (المستخرخ على البخاري). Beliau merupakan seorang pakar hadith yang paling masyhur pada zamannya.
2. Al-Hafiz al-`Alim Abu Bakar Al-Baihaqi, juga seorang pakar hadith yang paling masyhur pada zamannya.
3. Al-Hafiz yang disifatkan sebagai sebaik-baik muhaddithin di Negara Syam pada zamannya iaitu al-Hafiz Ibn `Asakir.
4. Amir al-Mukminin dalam bidang hadith, Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani.
Ramai ulama muktabar yang mengikut manhaj ini :
1. Imam Abu Hassan al-Baahili
2. Abu Bakar ibn Furak
3. Abu Bakar al-Baqillani
4. Abu Ishaq al-Isfarayiini
5. Al-Hafiz Abu Nu`aim al-Asbahani
6. Qadhi Abdul Wahab al-Maliki
7. As-Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini serta anaknya Abu al-Ma`ali. Kedua-duanya dikenali sebagai Imam al-Haramain.
8. Abu Mansur at-Tamimi al-Baghdadi.
9. Al-Hafiz ad-Darulquthni.
10. Al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi.
11. Al-Ustaz Abu Al-Qasim al-Qusyairi serta anaknya Abu Nasr.
12. Asy-Syeikh Abu Ishaq as-Syirozi,
13. Nasru al-Maqdisi
14. Al-Farawi
15. Abu al-Wafa` bin `Aqil al-Hanbali
16. Qadhi ad-Daamighani al-Hanafi
17. Abu-al-Walid al-Baaji al-Maliki
18. Al-Imam as-Sayid Ahmad ar-Rifa`ie
19. Al-Hafiz Abu Qasim Ibnu `Asakir
20. Ibnu as-Sam`ani
21. Al-Qadhi `Iyadh al-Maliki
22. Al-Hafiz as-Salafi
23. Al-Hafiz an-Nawawi
24. Imam Fakhruddin ar-Razi
25. `Izzuddin bin Abdussalam
26. Abu Amru bin al-hajib al-Maliki
27. Al-Hafiz Ibn Daqiq al-`ed
28. `Ala ad-Deen al-Baaji
29. Al-Hafiz al-Mujtahid Qadi al-Qudhat al-Imam Taqiyuddin As-Subki dan anaknya Tajudeen al-Subki.
30. Al-Hafiz al-`Alai
31. Al-Hafiz Zainuddin al-`iraqi serta anaknya al-Hafiz Waliyuddin al-Iraqi
32. Al-Hafidz al-Lughawi Murtadha Az-Zabidi al-Hanafi
33. As-Syeikh Zakaria al-Ansari
34. As-Syeikh Bahauddin Ar-Rawwasi As-Sufi
35. Mufti Mekah Ahmad Bin Zaini Dahlan
36. Musnid al-Hindi Waliullah ad-Dahlawi
37. Mufti Mesir As-Syeikh Muhammad `illaish Al-Maliki
38. Sheikh Jamik Al-Azhar Abdullah As-Syarqawi,
39. Seorang ulama sanad hadith yang terkenal ; As-Syeikh Abu Al-Mahasin Al-Qawuqji,
40. As-Syeikh al-Husain al-Jisr at-Tarabulusi
41. As-Syeikh `Abdul Latif Fathul Allah, mufti Beirut
42. As-Syeikh `Abdul Baasith al-Fakhuri, mufti Beirut
43. As-Syeikh al-Muhaddith Muhammad Bin Darwish al-Hut al-Beiruti dan anaknya `Abdul Rahman, Ketua al-Asyraf di Beirut.
44. As-Syeikh Mushthofa Naja, Mufti Beirut
45. Al-Qadhi yang dihormati ibn Farhun al-Maliki
46. Abu Fath as-Syahristani
47. Al-Imam Abu Bakar Asy-Syasyi al-Qaffal
48. Abu `Ali Ad-Daqqaq An-Naisaburi
49. Al-Hakim An-Naisaburi, Tuan punya kitab Mustadrak.
50. As-Syeikh Abu Manshur al-Hudhudi,
51. As-Syeikh Abu `Abdullah as-Sanusi,
52. As-Syeikh Muhammmad bin `Alan as-Shadiqi as-Syafi`e.
53. Al-`Allamah `Alawi bin Tahir al-Hadhrami al-Haddad.
54. Al-`Allamah al-Muhaqqiq al-Habib bin Husain bin `Abdullah Balfaqih, dan semua ulama Hadramaut dari keturunan `Alawi, al-Saqqaf, al-Juneid, dan al-`Idrus.
55. Al-Hafiz al-Faqih al-Allamah al-Arif Billah al-Syiekh Abdullah al-Harari al-Habasyi.
56. Sheikh Sirojiddin Abbas Al-Indunisi
57. Musnid Syeikh Yasin al-Fadani
58. Dan ramai lagi..
*
Ulama telah membuat ketetapan bahawa golongan al-Asya`irah dan al-Maturidiyyah ialah yang dikatakan sebagai Al-Jama'ah atau Ahlus Sunnah Wal Jama`ah atau As-sawadul a’zham atau "golongan yang bersama dan mengikuti para ulama yang berpegang pada atsar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jalannya" atau "pilihan majoriti ulama" atau "golongan yang selamat".
Buatlah pilihan yang tepat. Hidayah itu anugerah ALLAH.
Wallahu A'lam.

SEBAGIAN TENTANG JIN DAN ULAR

Kata Abah Guru Banjar Indah(Guru Syaifuddin Dzuhri)...

Ham bin Him Adalah Datunya Jin.

Ham bin Him Adalah Jin Pertama Yang Di Islamkan Oleh Rasulullah saw Sebelum Samhuris.

Samhuris Adalah Juga Jin.

Samhuris Di Islamkan Rasulullah Saat Samhuris Ikut Rasulullah Membaca Hadits Hal Keadaannya Samhuris Itu Duduk Disamping Anas bin Malik.

Dan Kata Abah Guru Banjar Indah...
"Apabila Samhuris Bersin,Suaranya Seperti Petir.
Alhm Syaikh Yasin Padang, Pernah Memanggil dan Bertanya Kepada Samhuris Masalah Sanad Hadits.
Begitupula Alhm Guru KasyfuL Anwar Saat Memanggil Samhuris,Samhuris Pernah Bersin,
Saat Samhuris Bersin Suaranya Seperti Petir,
sampai-sampai Ada Yang Tuli Mendengar Suara Bersin Samhuris.

Dan Lagi Kata Abah Guru Banjar Indah, Kebanyakan Jin Kafir Itu Indentitasnya Adalah Ular,
Dan Jin Kafir Itu Aslinya Adalah Iblis Karena Dahulu Iblis Ingin Menggoda Nabi Adam.

Saat Iblis DiKeluarkan Dari Surga Iblis Ingin Masuk Lagi Tapi Tidak Tahu Caranya Bagaimana.

Lalu Ada Ular Yang Menguap Membuka Mulutnya, Ular Ini Tugasnya Keluar Masuk Surga dan Dahulu Ular Ini Pakai Kaki.

Saat Ular Itu Menguap Membuka Mulutnya,Iblis Masuk Kedalam Mulut Ular,Saat Ular Mau Masuk Kedalam Surga,Iblispun Ikut Kedalam Surga.

Saat Itulah Ular Dikutuk Sampai Hari Kiamat Tidak Pakai Kaki Lagi.

Adapun Jin Islam Identitasnya Bukan Ular, Wujudnya Seperti Manusia Biasa Akan Tetapi Tongkatnya Bisa Berubah Menjadi Ular,
dan Ini Pernah Terjadi Kepada Datu Bedok Bahwa Tongkat Beliau Jadi Ular.

Kata Abah(H.AbdurRahman)Aku Pernah Mendengar Dari Alhm Guru Muhdhar Martapura...
"Jikalau Ada Ular Dihadapan Kita, Bacalah "Salaamun 'Alaa Nuhin Fil 'Aalamiin"3×
Sambil Mengangkat Tangan Sebelah Kanan dan Seluruh Jarinya Dibuka.

Kalau Ular Itu Hilang Berarti Ular Itu Jin Kafir,
Kalau Ular Itu Tidak Hilang Maka Itu Betul2 Ular,
dan Kitapun Disuruh Lari Kalau Betul2 Ular.

Alfaqir(Zein)Pernah Mendengar Dari Alhm.Guru Zakaria Alwi Kelayan.

Kata Beliau "Apabila Ada Orang Yang Dipatok Ular,Baru Saja Dipatoknya Tidak Sampai 5 Menit,Bacakan "Bismillahilladzi Laa Yadhurru Ma'asmihi Syai'un Fil Ardhi Walaa Fisssamaa Wahuwassamiy'un 'Alim"Dibaca 3×.

Setelah Itu Ambil Air Hangat Kuku Dicampur Dengan Garam Sedikit,Lalu Bacakan Shalawat Sambil Bertawasshul Kepada Rasulullah.
Setelah Itu Rendam Yang Terkena Patokan Ular Tadi Ke Air Hangat Kuku Yang Dicampur Dengan Garam Tadi,
Insya Allah Racun Ularnya Keluar Semuanya.

Kata Alhm Guru Usuf...
"Semua Jin, Baik Jin Islam Atau Jin Kafir,Jangan Sekali2 Ingin Bersahabat Dengan Jin.
Jikalau Kita Bersahabat Dengan Jin Nantinya Kalau Kita Hendak Sakaratul Maut Akan Sulit Keluar Ruh Karena Diganggu Oleh Jin Itu.

Tapi Jikalau Jin Itu Ingin Menjadi Khoddam Kita Maka Boleh,Jangan Bersahabat Dengan Jin Sekalipun Itu Jin Islam,
Kalau Jin Itu Jadi Khoddam Kita Maka Silahkan Saja.

Dan Lagi Kata Alhm Guru Usuf...
"Jin Islam Itu Hafal aLQur'an dan Ia Lebih Fashih Membacanya Dari Manusia Sekalipun Qori Internasional."

Jikalau Ada Orang Yang Kerasukan Jin,Maka Bacalah Wirid.Wiridnya Bisa Wirid Sakron atau Wirid Lathif.atau Cukup Baca Shalawat Sembur Pakai Air Sedikit Kewajahnya Insya Allah Jinnya Keluar Berkat Rasulullah saw,
Karena Semua Jin Tunduk Kepada Rasulullah.

Datunya Jin Yaitu Ham bin Him Jin Pertama Yang Di Islamkan Rasulullah saw,

Kemudian Samhuris Yaitu Jin Yang Di Islamkan Rasulullah Ketika Samhuris Ikut Duduk Bersama Rasulullah Ketika Rasulullah Membaca Hadits.
dan Samhuris Duduk Disamping Anas bin Malik.

Mudah2an Berkat Rasulullah,Datu Kalampayan,Alhm.Guru DiSekumpuL dan Orang2 Sholeh,Diampuni Segala Dosa dan Kesalahan Dzohir Bathin Seumur Hidup,Qobul Segala Hajat,Selamat Dunia Akhirat,Husnul Khatimah dan Masuk Surga Bighoiri Hisaab...

Aamiin  Aamiin ya rabbal a'lamiin...!!!

Senin, 09 September 2019

Bacaan Al Qur’an Untuk Orang Yang Meninggal Bagian 3

Soal : Apa arti firman Allah وان ليس للإنسان الا ما سعى dan hadits  إذا مات ابن ادم انقطع عمله(Apabila manusia meninggal, maka amalnya terputus?

Jawab : Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh berkata: Sesungguhnya ayat al qur’an tersebut tidak menafikan keberadaan manfaat yang diperoleh seseorang sebab usaha orang lain. Ayat tersebut menjelaskan, bahwa seseorang itu tidak memiliki selain usahanya sendiri. Adapun amal usaha selainnya, ya milik orang yang beramal usaha itu sendiri. Ia boleh memberikan kepada orang lain, boleh memiliknya sendiri. Allah Swt. tidak berfirman: “Sesungguhnya seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan usahanya sendiri”
Adapun mengenai hadits Nabi اذا مات ابن ادم انقطع عمله maka semakin jelas, bahwa beliau bersabda  انقطع عمله (amalnya terputus), beliau tidak bersabda  انقطع انتفاعه(terputus dalam mengambil manfaat). Beliau memberita­kan tentang terputusnya amal yang telah meninggal. Adapun mengenai amal orang lain, maka pahala amal itu milik pelakunya. Apabila amal itu ia hadiahkan kepada orang lain, maka pahalanya sampai kepada orang lain yang dimaksud, bukan pahala amal orang yang meninggal itu, yang terputus adalah amal si mayat itu, dan yang sampai adalah amal orang lain yang masih hidup yang pahalanya diniatkan untuk orang yang telah meninggal. Harap dicermati.
Ulama ahli tafsir menerangkan dari Ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya firman Allah:
وان ليس للإنسان  الا  ما سعى
“dan sesungguhnya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
dalam syariat ini hukumnya telah mansukh dengan firman Allah:
والذين امنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان الحقنا بهم ذريتهم
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka.” (QS. 52, Ath-Thur.31)
Allah memasukkan anak-anak cucu ke surga sebab kebaikan bapak-bapak mereka.
lkrimah berkata: Syariat bahwasanya setiap orang tidak memperoleh selain apa yang telah diusaha­kannya adalah untuk kaum Nabi Musa. Adapun umat ini, umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam, maka mereka ini mendapatkan (pahala) dari amal perbuatannya sendiri dan dari amal perbuatan orang lain. Berdasarkan hadits:
عن ابن عباس رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم لقي ركبا بالروحاء فقال من القوم ؟ قالوا المسلمون فقالوا ومن انت ؟ قال رسول الله فرفعت اليه امراة صبيا فقالت الهذا حج ؟ قال نعم ولك اجر( رواه مسلم)
Dari ibnu Abbas ra.: Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam bertemu suatu rombongan di Rauha’ lalu bertanya: “Siapa orang-orang itu!” Mereka menjawab; “Orang-orang Islam.” Mereka bertanya: “Siapakah kamu?” Beliau menjawab: “Rasulullah,” Kemudian ada seorang wanita mengangkat anak kecil dan berkata: “Apakah anak ini berhaji?” Beliau menjawab: “Ya, dan untuk kamu ada pahala.” {HR. Imam Muslim)
عن عائشة رضي الله عنها ان رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم ان امى افتلتت نفسها واراها لو تكلمت تصدقت فهل لها من اجر ان تصدقت عنها ؟ قال نعم ( رواه البخاري ومسلم
Dari Aisyah ra. sesungguhnya seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam: “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan saya yakin jika ia masih hidup pasti bersedekah. Apakah ia dapat memperoleh pahala, jika saya ber­sedekah atas namanya. “Nabi Shalallahu Alaihi WaAlihi Wa Shahbihi Wasalam menjawab: “Ya, tentu mendapat pahala.” {HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sumber : Tanya Jawab Akidah Ahlussunnah wal Jamaah Karya Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith Al-Alawi Al-Husaini

Minggu, 08 September 2019

** RAHASIA BESAR DIBALIK 10 MUHARRAM **

Tahun baru Islam (1 Muharram) telah kita lewati bersama pada hari Minggu, 1 September 2019 dan tidak lama lagi akan kita jumpai hari paling bersejarah bagi seluruh makhluk (yaitu 10 Muharram).

Tanggal 10 Muharram tahun ini bertepatan dengan hari Selasa, tanggal 10 September 2019.

Dari Ibnu Abbas ra. berkata Rasulullah saw. bersabda: "Siapa yang berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) maka Allah SWT akan memberi kepadanya pahala 10.000 malaikat dan sesiapa yang berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) maka akan diberi pahala 10.000 orang berhaji dan berumrah, dan 10.000 pahala orang mati syahid, dan barang siapa yang mengusap kepala anak-anak yatim pada hari tersebut maka Allah SWT akan menaikkan dengan setiap rambut satu derajat. Dan sesiapa yang memberi makan kepada orang yang berbuka puasa pada orang mukmin pada hari ‘Asyura, maka seolah-olah dia memberi makan pada seluruh umat Rasulullah saw. yang berbuka puasa dan mengenyangkan perut mereka."

Lalu para sahabat bertanya : "Ya Rasulullah saw, adakah Allah telah melebihkan hari ‘Asyura dari pada hari-hari lain?" Maka berkata Rasulullah saw: " Ya, memang benar, Allah Ta’ala menjadikan langit dan bumi pada hari ‘Asyura, menjadikan laut pada hari ‘Asyura, menjadikan bukit-bukit pada hari ‘Asyura, menjadikan Nabi Adam dan juga Hawa pada hari ‘Asyura, lahirnya Nabi Ibrahim juga pada hari ‘Asyura, dan Allah SWT menyelamatkan Nabi Ibrahim dari api juga pada hari ‘Asyura, Allah SWT menenggelamkan Fir'aun pada hari ‘Asyura, menyembuhkan penyakit Nabi Ayyub a.s pada hari ‘Asyura, Allah SWT menerima taubat Nabi Adam pada hari ‘Asyura, Allah SWT mengampunkan dosa Nabi Daud pada hari ‘Asyura, Allah SWT mengembalikan kerajaan Nabi Sulaiman juga pada hari ‘Asyura, dan akan terjadi hari kiamat itu juga pada hari Asyura!".

Dari hadits tersebut terdapat setidaknya 12 kejadian besar dibalik 10 Muharram.

Hadits lainnya:
Artinya: “Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur.” (Hadits Riwayat Ahmad)

Dalam kitab Irsyadul Ibad hal. 82 dikisahkan ada seorang Hakim kaya raya di kota Array. Pada hari Asyura datang Pengemis kepadanya dan berkata, “Demi kemuliaan hari ini, saya mohon agar tuan sudi memberikan 10 roti, 5 daging, dan uang 2 dirham untuk keluarga saya di rumah.”
Hakim pun berjanji akan memberikannya selepas zuhur. Namun hingga waktu asar, si Hakim tak kunjung memberikannya. Ia pulang dengan membawa kekecewaan.
Di tengah perjalanan, si Pengemis bertemu dengan seorang Nasrani. Pengemis itu pun mengatakan hal sama yang dikatakannya kepada Hakim tadi.
“Memang hari apa ini?” tanya si Nasrani. Lalu dijelaskanlah tentang keutamaan² hari Asyura oleh si Pengemis tadi.
Mengetahui keagungan hari Asyura, si Nasrani memberikan lebih dari apa yang si Pengemis minta; 10 qafizah gandum, 100 daging, dan 20 dirham.
Malam harinya, si Hakim tadi bermimpi melihat 2 istana megah yang dibangun dari emas dan dari yakut.
Ia lantas bertanya, “Istana siapakah ini?”
Di jawab, “Jika engkau memberikan sedikit hartamu saja untuk si Pengemis tadi ,nescaya istana ini menjadi milikmu, tetapi istana ini sekarang milik orang Nasrani.”
Ketika bangun, si Hakim bergegas ke rumah Nasrani tersebut .
Dihadapan si Nasrani, si Hakim brkata, “Juallah amal baikmu atas Pengemis tadi kepadaku. Akan ku beli dengan 100 dirham.”
“Wahai Hakim, amal yang diterima itu mahal. Meskipun dengan dunia dan isinya, aku tidak akan menjualnya,” terang si Nasrani.
“Tapi engkau bukan seorang Muslim!” heran si Hakim.
Ketika itu juga (pasca mengetahui mimpi si Hakim) si Nasrani itu pun mengucapkan dua kalimah syahadat.

Dalam kitab Kitab I’anatut Thalibin jilid 2, hal 302 disebutkan sebuah hadis sohih dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw telah bersabda :

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada Bani Israil untuk berpuasa sehari dalam setahun, yaitu puasa ‘asyura’, dia adalah hari ke sepuluh pada bulan Muharam, maka berpuasalah kalian pada hari tersebut, dan luaskanlah atas kluarga kalian dalam hal nafkah pada hari tersebut, karna barang siapa yang meluaskan pada kluarganya dari hartanya, maka Allah akan meluaskan permintaan padanya pada tahun tersebut."

Abah Guru Sekumpul dalam pengajian beliau pernah menerangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari Asyura' yaitu:

1. Allah Ta’ala telah menerima taubat Nabi Adam as. dan akhirnya Nabi Adam as. menjadi bersih.
2. Allah Ta’ala telah mengangkat Nabi Idris as. ke tempat yang tinggi (yaitu ke langit ke empat, pendapat lain ke surga dan Nabi Idris sampai sekarang masih hidup).
3. Allah Ta’ala telah mengeluarkan Nabi Nuh as. dari perahu. (ketika terjadi banjir topan selama enam bulan).
4. Allah Ta’ala telah menyelamatkan Nabi Ibrahim as. dari kobaran api. (ketika dibakar oleh Raja Namrudz).
5. Allah Ta’ala telah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa as.
6. Allah Ta’ala telah mengeluarkan Nabi Yusuf as. dari penjara.
7. Allah Ta’ala telah mengembalikan penglihatan kepada Nabi Ya’kub as. ayah Nabi Yusuf. (Nabi Ya’kub as. menjadi buta karena kebanyakan menangis, menangisi nasib Nabi Yusuf as. yang dimakan binatang buas di hutan menurut cerita saudara-saudaranya).
8. Allah Ta’ala telah menyembuhkan penyakit Nabi Ayub as. (sakit selama tujuh tahun, sampai diasingkan oleh masyarakat, istri-istrinyanya pun minta cerai kecuali istri yang nernama Rohmah).
9. Allah Ta’ala telah mengeluarkan Nabi Yunus as. dari perut ikan Hiu.(selama tiga hari tiga malam berada di perut ikan).
10. Allah Ta’ala telah membelah lautan untuk kaum Bani Israil. (dengan tongkat Nabi Musa as. yang akhirnya Raja Firaun juga mati tenggelam bersama bala tentaranya).
11. Allah Ta’ala telah mengampuni kesalahan Nabi Daud as. (para Nabi dan Rasul itu maksum, suci dari dosa. Kesalahan dalam ukuran mereka adalah melakukan ketidakpatutan menurut adab seorang Nabi).
12. Allah Ta’ala telah memberikan kerajaan kepada Nabi Sulaiman as. (waktu itu Nabi Sulaiman as. baru berusia 13 tahun, dan akhirnya Nabi Sulaiman as. menjadi manusia terkaya yang pernah ada di muka bumi ini).
13. Allah Ta’ala telah mengampuni kesalahan-kesalahan Nabi Muhammad saw. yang sudah terjadi maupun yang belum, (Rasulullah saw. dan para Rasul yang lain itu maksum artinya dijaga dari berbuat dosa. Maksud dari mengampuni kesalahan Rasulullah saw adalah Allah semakin menyucikan beliau saw dan menjauhkannya dari dosa)
14. Pada hari ‘asyura’ tersebut, adalah awal mula Allah Ta’ala menciptakan alam dunia ini.
15. Pada hari ‘asyura’ tersebut Allah Ta’ala telah menurunkan hujan dari langit untuk yang pertama kali.
16. Dan pada hari ‘asyura’ tersebut Allah Ta’ala juga telah menurunkan rahmat yang pertama ke muka bumi ini.

Artinya pada hari ‘asyura’ Allah Ta’ala telah menolong dan menyelamatkan para Rasul dan Nabi-Nya dari berbagai macam masalah yang dihadapinya. Atau dengan kata lain, bahwa pada hari ‘asyura’ ini adalah hari kemenangan bagi para kekasih Allah Ta’ala, karena itu kita dianjurkan untuk meningkatkan amal ibadah kita khususnya sedekah dan ibadah puasa sebagai ungkapan rasa syukur atas kemenangan terhadap para kekasih-Nya tersebut.

Mudah-mudahan berkat para Nabi dan Rasul, berkat wali-waliallah semoga kita semua pada hari ‘asyura’ nanti juga diberi oleh Allah Ta’ala ampunan dari segala dosa, kesembuhan dari segala penyakit,  pertolongan, kemenangan, keselamatan, keberhasilan, kesuksesan, ketenangan, dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
ﺍﻣﻴﻦ ﺍﻣﻴﻦ ﺍﻣﻴﻦ ﻳﺎ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ...

Senin, 02 September 2019

"ARLOJI TUA"

Merasa ajal nya sudah dekat, seorang ayah berkata kepada anak nya:
. “Nak, Arloji milik ku ini adalah warisan dari kakek buyut mu, usia nya lebih dari 200 tahun”
.
“ Sebelum Ayah wariskan pada mu, Ayah mau kamu bawa Arloji tua ini ke toko jam di sebrang jalan itu, katakan kepada pemilik toko bahwa kamu mau menjualnya. Tanya lihat berapa harga nya…”
.
Sang anak pergi tidak lama lalu kembali dan berkata: “pemilik toko jam itu bilang bahwa harga nya Cuma 5 Dolar, karena ini adalah arloji tua…”
Kemudian si Ayah berkata; “sekarang coba kamu bawa arloji ini ke toko barang barang antik  dan tanyakan harga nya…”
.
Si anak pergi lalu kembali dan berkata “ pemilik toko bilang , harga arloji ini mencapai 5000 Dollar..”
.
Sang Ayah berkata; “ sekarang coba bawa ke museum dan katakan ke mereka bahwa kamu mau menjual arloji tua ini..”
.
Si anak pun pergi lalu kembali dan berkata “ mereka mendatangkan pakar arloji untuk memperkirakan harga nya, lalu mereka menawarkan kepada ku 1.000.000 Dollar untuk arloji ini…”
.
Si Ayah berkata; “nak, aku sedang mengajarkan mu bahwa kamu hanya akan dihargai dengan benar ketika kamu berada di lingkungan yang tepat, maka jangan pernah kamu tinggal di tempat yang salah lalu marah karena tidak ada yang menghargai mu…”
.
Karena Mereka yang mengetahui nilai mu, akan selalu menghargai mu,…
Maka jangan pernah bergaul di tempat yang tidak layak untuk mu…
.
@muhammadhusein_gaza #muhammadhusein_gaza #fokuspalestina #motivasi #renungan