Banyak warga NU keliru memahami doktrin kembali ke Khittah 1926. Terutama keliru memahami tujuan hakiki dari Khittah itu sendiri berdasarkan konteks sosio-politik munculnya doktrin tersebut. Jadinya seperti orang memahami teks Hadits tetapi tidak melihat konteks kesejarahan munculnya Hadits tersebut, atau biasa dikenal dengan 'asbabul wurud'.
Sebagai contoh, sebuah Hadits riwayat Imam Lima (akhrajahu al-khamsah) berikut yang artinya:
"Ada seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Nabi: Ya Rasulallah, saya di tengah shalat menyentuh kemaluan saya, apakah shalat saya batal dan harus berwudlu'? Rasulullah kemudian menjawab: Tidak, karena kemaluan adalah bagian dari tubuhmu."
Bagi yang memahami hadits tersebut secara apa adanya (tekstual) tentu akan berpendapat bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu'. Dan kalau pendapat itu yang menjadi pilihan, maka hal tersebut jelas merupakan suatu kekeliruan yang fatal karena pemahaman seperti itu pemahaman tanpa konteks, tanpa memahami 'asbabul wurud'-nya hadits.
Di kalangan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah pemahaman hadits tersebut setidaknya harus dilihat dari dua konteks, agar sampai kepada pemahaman yang sahih. Pertama, Imam Bukhari berpendapat bahwa ada banyak hadits yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudlu'. Dan yang paling sahih adalah hadits-hadits yang menyatakan menyentuh kemaluan membatalkan wudlu'. Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka wajib baginya untuk berwudlu'." Dalam hal ihwal menyentuh kemaluan, menurut Imam Bukhari, hadits ini (yang menyatakan bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudlu') adalah hadits yang paling sahih.
Kedua, dalam kitab Subulus Salam (syarahnya Bulughul Marom), disebutkan bahwa hadits di atas (yang menyatakan menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu'), turun dari konteks yang khusus dan mengandung unsur perkecualian. Latar belakang (asbabul wurud) hadits tersebut adalah suatu kondisi tertentu di mana ada seorang laki-laki yang berprofesi sebagai penggembala kambing yang tiap hari hidup di padang pasir yang tidak ada air, dan dia terkena penyakit gatal (Jawa: gudhigen). Ketika dia bertanya kepada Rasulullah SAW apakah menggaruk-garuk kemaluan membatalkan wudlu'? Nabi dengan sifat kasihnya memberi 'rukhsah' kepadanya, yaitu khusus bagi dia yang sehari-hari hidup di padang tandus tidak ada air, dan terkena penyakit gudhig, menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu'.
Jadi hadits di atas berlaku sangat terbatas dan tertentu. Orang yang mau menggunakan hadits tersebut harus memenuhi dua syarat sekaligus: hidup di daerah yang sulit air dan terkena penyakit gatal akut.
Sebagaimana hadits tersebut, doktrin kembali ke Khittah 1926 juga mempunyai konteks sosio-politik yang khas. Khittah 1926 tidak bisa dipahami keluar dari konteks latar belakang yang menjadi faktor kelahirannya. Jika dipahami di luar konteksnya, maka memahami khittah akan jatuh fatal seperti memahami hadits di atas.
Menurut KH. A. Hasyim Muzadi seperti ditulis dalam buku Membangun NU Pasca Gus Dur: Dari Sunan Bonang Sampai Paman Sam (1999), doktrin kembali ke Khittah lahir dalam suasana politik Orde Baru yang sangat otoriter, sentralistik dan monolitik. Ormas adalah panggung opera. Partai politik juga penggenap saja. Inti kekuasaan ada di tangan Presiden Soeharto yang didukung penuh oleh militer (ABRI- Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Partai politik manapun pada waktu itu hakikatnya tidak bisa membentuk kekuasaan, karena semua jaringan partai telah dikuasai pemerintah.
Dalam kondisi seperti itu, para kiai NU melihat bahwa partai politik tidak ada gunanya. Menitipkan aspirasi politik di partai manapun akan mempengaruhi kediktatoran rezim Orde Baru. Sebesar apapun suara yang diraih oleh NU, tetap tidak akan bisa melawan sentralisme kekuasaan Soeharto. Maka dengan tekad yang bulat, NU menyatakan keluar dari partai politik dengan doktrin kembali ke Khittah 1926. Atau dalam bahasa KH Achmad Shiddiq; "NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana." NU ingin mandiri sambil terus menjadi kekuatan moral bagi perubahan rezim di masa depan.
Itulah konteks lahirnya doktrin kembali ke khittah. Setelah reformasi, kondisi sosial-politik bangsa berubah. Partai politik bisa berdiri secara mandiri dan ikut menentukan arah kehidupan bangsa serta merumuskan kebijakan politik strategis. Di sinilah para ulama NU memikirkan kembali posisi NU dalam percaturan politik nasional pasca Orde Baru.
Menurut KH. Hasyim Muzadi, di era reformasi yang multi partai, menyebarkan tokoh-tokoh dan ke berbagai partai politik jelas akan merugikan NU. Mengapa? Karena kekuatan NU tidak mungkin tumbuh dalam sebuah aliran politik yang kepentingannya berbeda secara diametral, baik yang terkait dengan ideologi maupun perbedaan bentuk dan visi perjuangan. Bahkan kalau hal itu dibiarkan, suara dan aspirasi warga NU yang disalurkan ke parpol lain, bukan tidak mungkin akan membesarkan pihak yang justeru akan menyulitkan dan merugikan perjuangan NU sendiri.
Sejarah telah memberikan pelajaran berharga ketika NU menitipkan aspirasinya kepada Masyumi. Semuanya berakhir tragis di mana NU hanya dimanfaatkan. Dan akhirnya NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952.
Dalam kondisi dan latar belakang sejarah seperti itu, para ulama memandang doktrin kembali ke khittah kehilangan konteksnya. Karena itulah, pada tahun 1998, para ulama dan PBNU memutuskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi NU kecuali membuat wadah resmi sebagai tempat menyalurkan kepentingan dan aspirasi warga NU. Wallahu a'lam.
Dikutip dari buku Pedoman Berpolitik Warga NU karya Muh. Hanif Dhakiri.
Source : Pena Santri 879
Tidak ada komentar:
Posting Komentar