Tirakat Keramat
“Tirakatmu menentukan masa depan suamimu”
::: Ny. Hj. Noor Khadijah Chasbullah :::
Ketika mendengar kata “tirakat”, ada sebagian orang, kelompok, jamaah, yang secara otomatis menyorotkan LCD otaknya pada kanvas “devinisi”. Lantas dari LCD itu terpotetlah gambar ritual-ritual tertentu seperti puasa sehari semalam dan rangkaian aktivitas yang terlihat melelahkan, menyiksa diri sendiri, terkesan tidak mensyukuri nikmat Allah. Pemahaman yang demikian bukanlah sebuah kesalahan. Dari satu sudut, memang demikianlah kesan yang bisa dijumput. Itu, ketika “tirakat” dipahami secara sempit.
Ma hiya attirakatu ?
Sepanjang pengetahuan saya, “tirakat” merupakan kosa kata Arab, “taraka”, yang berarti meninggalkan ! Entah bagaimana mulanya, sampai bermetamorfosis dan dibakukan sebagai bahasa Indonesia, Jawa. Hampir semua orang Indonesia tidak asing dengan kata “tirakat”. Kalau Anda penggemar lagunya Acha Septriasa, akan menemukan bait, “tirakatku hanya untuk cinta’.
Orang-orang tua zaman dulu (entah kalau zaman sekarang) sering menganjurkan kepada anak-anaknya, “tirakato ben uripmu mulyo, tirakatlah agar mendapatkan kemuliaan hidup”. Kalau ada jejawa (jejaka tua) atau gawa (gadis tuwa) yang tak laku-laku kemudian berpuasa sunah, misal senin dan kamis, ada saja teman, atau tetangga yang komentar, “puasa terus, tirakat ya ? biar dapat jodoh”. Ketika masih pelajar dan saya rajin puasa senin kamis, ada saja yang tanya, “Kok puasa terus, biar sukses ya ?”
Dalam skala macro sejatinya tirakat tidak terbatas pada lelaku “puasa”. Sepemahaman saya, tirakat adalah meninggalkan (mengabaikan) segala sesuatu yang mubah (diperbolehkan) untuk mendapatkan ridha Allah. Contoh, bukan sebuah dosa ketika pada hari senin dan kamis tidak melakukan puasa. Bukan sebuah dosa pula jika sepanjang malam tidur dan tidak melakukan shalat tahajud. Anda bisa mencari contoh lain !
Namun jika rutin melakukan puasa sunah atau shalat tahajud tentu akan mendapatkan “hadiah” yang berbeda dengan tidak melakukan.
Bukankah ( logika) tahajud akan mengantarkan pada kedudukan yang mulia, maqaman mahmuda. Niat tirakat yang lillahi ta’ala akan menjadi kunci pembuka pintu langit. Dalam pandangan saya, ketika nawaitunya lillahi ta’ala hasil dari tirakatnya pun akan mengagumkan !
Hadratus Syaikh K.H. Dimyathy bin Abdullah Tremas (adik dari Hadratus Syaikh K.H. Mahfudz Tremas) ketika mengemban amanat melanjutkan estafet perjalanan PIP TREMAS tak pernah lupa bermunajat memohon kekuatan dan kemanfaatan ilmu. Selain berdoa, Mbah Dim mengiringi dengan lelaku puasa tiga tahun. Tahun pertama Mbah Dim niatkan untuk nirakati santri-santrinya. Tahun kedua untuk anak dan cucunya. Sedangkan tahun ketiga untuk anak dan cucunya.
Berbuahkah tanaman tirakat Mbah Dim ?
Tentu saja. Sekali lagi, setiap niat yang tulus dan pengorbanan yang ihlas akan menghasilkan panen kebajikan dalam sinaran ridha Allah SWT.
Habib Luthfi bin Yahya mengatakan, “99,9 persen santri Mbah Dim menjadi kiai yang berpengaruh, ‘allamah, dan mewarnai zamannya”. Beberapa ‘ulama’ yang akan saya sebut ini bisa menjadi bukti kekuatan tirakat ! Sayyid Hasan bin Abdullah Ba’abud (santri yang kemudian menjadi menantu). K.H. Habib Dimyathy, K.H. Haris Dimyathi, K.H. Hasyim Ihsan (tiga serangkai pengasuh PIP Tremas), K.H. Hamid Dimyathi, Abuya Dimyathi (Banten), Mbah Abdullah Hadziq (Mayong), Mbah Arsyad (Benda, Cirebon), Mbah R.Muhammad (Betengan, Demak), Mbah Jazuli (Ploso), Mbah Ali Mahrus (Lirboyo), Mbah Ma'sum(Lasem), bersama putranya Mbah Ali Ma'sum (Krapyak), Mbah Munawwir (Krapyak), Mbah Muntaha (Kalibeber, Wonosobo), Mbah Umar Syahid(Donorojo, Pacitan).
Laku tirakat yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan berdampak besar kepada yang ditirakati. Kekuatan yang dihasilkan dari membatasi diri terhadap dunia bagaikan anak panah yang menuju kepada sasarannya. Semisal, ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi shalih dan bermanfaat. Cara yang ditempuh adalah dengan cara membatasi diri dari hal-hal yang mengundang murka Allah. Setiap malam, sebisa mungkin, rasa kantuk dan lelah di lawan untuk bersujud, bersimpuh, menengadahkan tangan, memohon kepada Allah SWT untuk kebaikan sang anak. Tak cukup sampai disitu, anak yang masih tertidur pulas, dihampiri dan dibacakan ayat suci, misal Al Qadar diiringi shalawat nabi dan ditiupkan pada ubun-ubunnya. Terlebih, jika siang harinya diiringi dengan berpuasa. Usaha lahir batin yang utuh ini, pada ahirnya akan menarik partikel-partikel semesta untuk menyatu dan menjelma menjadi hembus dukungan, mestakung, semesta`mendukung.
Sekedar kisah : kakak bulek saya, adalah orang yang rajin berpuasa. Setahu saya, hari-harinya selalu diisi dengan puasa. Kebetulan namanya seperti nama saya, Imam. Kebiasaan puasa atau hidup prihatin telah dijalaninya sejak muda, nyantri. Pak Imam ini adalah pribadi yang cenderung pendiam. Berbeda dengan adik-adinya. Bicara ya sakmadyo. Saya menaruh keyakinan, Pak Imam mengamalkan suatu anjuran, “jika berbicara tanpa manfaat, maka diam adalah pilihan yang tepat”.
Tempaan tirakat yang dilakukan secara konsisten membawa dampak besar dalam kehidupannya. Ia menjadi sosok yang bermanfaat bagi lingkungannya. Rumah tangga sakinah mawaddah warahmah. Kedua anaknya menjadi generasi yang Islami, shalih dan shalihah. Saya teringat, ketika suatu ketika masuk waktu shalat dhuhur. Anak keduanya segera menemui sang ayah di ruang tamu dan berkata, “Yah, sudah masuk shalat dhuhur. Kita jamaah dulu yuk”. Bayangkan jika pembaca menjadi orang tua dari anak itu. Betapa bahagianya hati mendapati permata hati demikian taat menjalankan perintah Allah. Ketika di luar sering kita melihat demikian sulit orang tua mengajak anaknya untuk shalat. Anak yang berusia 7 tahunan mengajak orang tua untuk shalat.
Urusan prestasi ? Tak perlu dipertanyakan lagi. Anak pertamanya, ketika saya menulis catatan ini masih di Pondok Modern Gontor. Saya tidak tahu prestasi apa yang diukirnya di pesantren itu. Hanya saja, ketika masih SD ukiran prestasi telah diukirnya. Bahkan dia memperoleh prestasi tiga besar tingkat provinsi sebagai siswi dengan nilai ahir nasional tertinggi. Mungkin ada yang bertanya dan menyangka sang anak bersekolah di tempat bonavide. Zaman saya kuliah dulu, pada tahun 2006-an masih berlaku RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Sang anak sekolah di lembaga yang biasa-biasa saja.
Tapi, sekali lagi, prestasinya mengalahkan anak-anak yang mengenyam pembelajaran di sekolah favorit !
Saya menaruh keyakinan, bahwa rentetan prestasi itu bukan dimonopoli oleh usaha lahir saja. Dan bukan usaha anak saja. Tapi ada orang lain di belakangnya yang menjadi benteng batin dengan lesatan doa dalam ritus-ritus tirakat. Doa orang tua saja sudah luar biasa mustajabnya. Apalagi ditunjang dengan lelaku batin yang istiqamah.
Setiap kali mendapati hikayat tentang orang-orang yang berhasil meraih kesuksesan. Ada yang menggelitik dalam diri saya untuk mengulik dan mencari-cari rahasianya. Lelaku apa yang dijalankannya. Ketika melihat Ustadz Yusuf Mansur, misalnya, orang akan melihatnya sebagai sosok ustadz muda yang sukses dalam dakwah dan bisnisnya. Apakah kesuksesannya dalam bidang bisnis hanya ditunjang oleh kemapuan managerial belaka ? Saya hendak berkisah :
Pertama kali ke Jogja, saya diajak istri, Dik Citra Resmi makan ke WS (Waroeng Steak). Istri saya memang demen banget makan steak. Awalnya saya mengira tempat makannya seperti tempat-tempat makan yang lain. Anggapan saya terbalik. Ternyata tempat makan itu demikian bersih. Iseng, saya lihat-lihat ke toiletnya. Wah, bersih dan wangi. Ketika ke musholanya, kesan yang sama saya dapatkan. Tempat wudhunya pun cukup istimewa.
“Tempat makannya istimewa banget” kataku. Aku kisahkan kekagumanku kepada istri. Dik Citra lantas menyampaikan bahwa salah satu pemegang saham WS adalah Ustadz Yusuf Mansur. Saya pun manggut-manggut. Dan berfikir, “andaikata setiap pebisnis memiliki ruh spiritual seperti Ustadz Yusuf Mansur”.
Dalam buku Saptuari Sugiharto, “Catatan Indah Untuk Tuhan” juga dikisahkan betapa Ustadz Yusuf Mansur konsisten menjaga shalat diawal waktu. Shalatnya pun tidak terburu-buru dan terkesan sekedar menggugurkan kewajiban. Dia sangat menikmati setiap gerakan dan bacaan shalat. Bandingkan dengan kita !
Masih dibuku yang sama, kisah tak kalah indah tertulis. Bukan Ustadz Yusuf Mansur sumber inspirasinya. Tapi Pak Sandiaga Uno (jangan kaitkan tulisan ini dengan pilkada, please ). Bisnisman sukses itu demikian konsisten menjaga shalat dhuhanya. Bukan dua rakaat, tapi delapan rakaat ! Bahkan ketika menjelang rapat penting pun dia tidak lupa memohon petunjuk Allah dalam sujud dhuhanya.
Dari sini, ada hikmah yang bisa dijumput. Semua tirakat yang tidak bertentangan dengan syariat dan niat lillahi ta’ala akan menambah daya tekan untuk mencapai tujuan. Syarat dalam munajat dan tirakat adalah konsisten atau istiqamah tanpa mengenal kata putus asa. Istri bisa menirakati suami. Orang tua bisa menirakati anak. Kiai bisa menirakati santri. Dalam skala yang lebih besar, kita bisa menirakati bangsa ini. Percayalah, jika kita rajin tirakat, analoginya seperti menanam kebaikan. Dan tanaman kebaikan akan menghasilkan panen.
#wali_songo #tirakatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar