By. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Dalam diskusi tentang dalil, kita sering mendengar argumen : tidak ada haditsnya.
Kesannya, yang punya argumen itu pinter sekali, bahwa dia sudah hafal sekian juta hadits dan selesai menelaahnya satu per satu. Lalu dia simpulkan tidak ada hadits yang menjadi dalil untuk masalah itu.
Lalu dengan bekal ungkapan 'tidak ada haditsnya', lantas suatu amal divonis bid'ah, haram dan terlarang. Plus ditambahi bahwa yang masih menjalankannya masuk neraka.
Ibarat main catur, skak-ster sudah tuh.
Tapi apa benar kaidah 'tidak ada haditsnya' ini bisa dijadikan argumen? Mari kita uji bersama khusus dalam perkara ibadah shalat di masjid saja.
Adakah hadits yang menyebutkan Nabi SAW shalat dengan karpet diberi garis-garis shaf? Tidak ada kan? Nah, seharusnya garis-garis shaf itu bid'ah dan semua yang shalat disitu masuk neraka.
Adakah hadits yang menyebutkan Nabi SAW menentukan jadwal iqamah shalat pakai timer berbunyi nyaring yang terpasang di dinding masjid? Tidak ada lah. So, harusnya kan bid'ah juga dan masuk neraka.
Dimana posisi Bilal saat mengumandangkan azan? Naik ke atas bangunan atau di ruang shalat? Haditsnya sih naik ke atas bangunan. Tidak ada hadits yang menyebutkan posisi muadzdzin di dalam ruang shalat masjid.
Jadi harusnya bidah dan masuk neraka.
Adakah hadits yang menyebutkan bahwa dinding masjid Nabawi dihias dengan kaligrafi, diberi atap, menara dan kubah berwarna hijau? Jelas tidak ada. Maka seharusnya semua yang shalat disitu jadi ahlul bid'ah, halal darahnya dan mati masuk neraka.
Satu lagi, pernahkah dengar dalam hadits bahwa di masjid Nabawi disediakan kotak amal? 100% dipastikan tidak ada haditsnya.
Jadi, siapa pun yang nyemplungin duit di kotak amal masjid, siap-siap kalau mati tidak dishalatkan jenazahnya dan tidak dikuburkan di pekuburan Islam. Matinya dibakar karena mati sebagai ahli bid'ah.
So, masih mau berdalih pakai istilah 'tidak ada haditsnya'?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar