LAYAKKAH SUATU HADIST DISHOHIHKAN OLEH SYEIKH ALBANI Albani dimata Salafi Wahabi adalah seorang ulama Hebat, canggih, dan sangat harus dimuliakan, karena dianggap sebagai Ahlul Hadits yang mampu memberikan tingkatan kepada suatu Hadits. Namun bagi kita, apakah itu penting? Mari kita ulas dari sini.
Pertama, Apakah misalnya ada hadits diriwayatkan dengan sanad-sanad dhaif sebelum Albani, lalu setelah itu Albani meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad shahih, sehingga hadits tersebut menjadi shahih?
Ataukah maksudnya hadits tersebut dhaif, lalu setelah itu Al-Albani datang, lantas ia menghilangkan kedudukan dhaif hadits tersebut?
Misalkan, di dalam hadits tersebut ada perawi yang tidak diketahui, lalu Albani menjelaskan siapakah perawi tersebut, atau di dalam sanadnya ada rangkaian perawi yang terputus, lalu setelah itu Al-Albani menyambungnya…
Ataukah hadits tersebut memang sudah shahih sebelum Al-Albani? Sehingga dengan demikian pernyataan kitab; “Dishahihkan Al-Albani,” _tidak ada artinya, karena bukan dia yang menshahihkan hadits tersebut, tapi para ahli hadits sebelumnya-lah yang menshahihkannya.
Lantas kenapa kita menisbatkan penshahihkan hadits tersebut kepada Al-Albani, sehingga hal tersebut dianggap sebagai tipuan dan pemalsuan
Opsi pertama, Jelas tidak mungkin, karena Al-Albani tidak memiliki sanad sama sekali.
Jika mengacu pada putusan tersebut, maka bisa dipastikan hadits tersebut palsu, karena terputusnya sanad yang panjang lintas generasi demi generasi.
Opsi kedua, mungkin ada benarnya, tapi kecil sekali karena para ahli hadits sudah membahas persoalan hukum hadits seperti ini secara detail tanpa adanya sedikit pun kelalaian.
Lantas kenapa kita nisbatkan jerih payah ilmiah mereka kepada pihak lain. Bukankah Ini namanya plagiat ilmiah?
Sementara opsi ketiga, sama sekali tidak mungkin
Pertanyaannya; apa arti istilah yang sering kita baca saat ini; “Hadits ini dishahihkan Al-Albani!”
Saya memohon kepada para ulama berkenan memberikan jawaban atas pertanyaan ini, namun tanpa memberikan kritikan terlalu tajam. Apakah hukum shahih yang diberikan Al-Albani pada suatu hadits memiliki bobot ilmiah selain yang telah saya sebutkan di atas?
Apakah Nashiruddin Al-Albani tergolong ulama hadits?
Oh tidaaak, Dia adalah orang yang membaca hadits, bukan ulama hadits!
Dia sendiri memiliki banyak pernyataan-pernyataan rancu di sejumlah buku-buku karyanya yang jelas menunjukkan tidak adanya kapasitas di bidang ilmu hadits. Di samping itu, beliau bukan termasuk spesialis di bidang ini. _Beliau hanyalah seorang peneliti ilmu hadits.
Nama beliau terlalu di blow up oleh media-media kaya dengan maksud untuk menyerang madrasah hadits yang notabene ulama-ulamanya berasal dari kalangan Syafi’iyah.
Pernah-kah anda membaca buku beliau yang berjudul Fatawa Al-Albani dan seberapa banyaknya kekeliruan serta bid’ah-bid’ah yang ada di dalamnya?
Syaikh Abul Fattah Abu Ghuddah rahimahullah berkata tentang beliau, “Saya hanya membuang-buang waktu untuk berdiskusi dengan orang bodoh sepertinya.”
Al-Ghimari berkata, “Al-Albani ahli bid’ah yang sesat.”
Syaikh ahli hadits; Muhammad Awwama berkata, “Al-Albani memecah-belah umat dan melenyapkan sunnah.”
Para ahli hadits Syam tidak mengakui Albani sebagai ahli hadits karena beliau tidak memiliki kelayakan di bidang itu. Ketika mereka mengecek buku-buku karya beliau, mereka menemukan adanya kerancuan terkait hukum tingkatan untuk satu hadits. Di samping, syarat-syarat seorang ahli hadits tidak terpenuhi dalam sosok beliau.
Di bidang akidah, beliau bisa dibilang sebagai suatu petaka. Bayangkan, beliau pernah mengatakah bahwa Allah meliputi alam dengan Zat-Nya!
Lalu, Siapakah yang dinamakan Muhaddits atau Ahli hadits itu?
Pertanyaan ini dijawab oleh Imam Tajuddin As-Subki rahimahullah dalam buku beliau, Mu’idun Ni’am, seperti yang dikutip Imam As-Suyuthi dalam At-Tadrib, hal: 6 sebagai berikut;
Ada sebagian orang yang mengaku ahli hadits, padahal ia hanya membaca buku seperti Masyariqul Anwar karya Ash-Shaghani. Atau lebih tinggi sedikit tingkatannya membaca buku berjudul Mashabighul Baghawi, lalu mengira dengan membaca buku-buku seperti itu sudah mencapai tingkatan para ahli hadits.
Pengakuan seperti ini tidak lain disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang hadits. Andaipun beliau benar-benar hafal dua buku tersebut di luar kepala, lalu menghafal matan-matan buku-buku tentang hadits lainnya, tetap saja belum dikatakan sebagai ahli hadits atau menjadi seorang ahli hadits, sampai unta bisa masuk ke dalam lubang jarum!!
Jika orang-orang seperti ini berkeinginan untuk mencapai puncak di bidang hadits –menurut pengakuan mereka-, maka mereka harus mempelajari buku Jami’ul Ushul karya Ibnul Atsir.
Selanjutnya jika mereka juga mempelajari kitab ‘Ulumul Hadits karya Ibnu Shalah atau ringkasannya yang berjudul At-Taqrib karya An-Nawawi, atau karya-karya semacamnya; saat itulah mereka yang telah mencapai tingkatan ini mengaku sebagai ahli hadits-nya para ahli hadits dan Al-Bukhari masa kini._
Jika dilihat dari tingkatan ini saja, Al-Albani belum dianggap sebagai ahli hadits.
Yang dinamakan ahli hadits itu adalah orang yang mengetahui sanad-sanad hadits, penyakit-penyakit hadits, nama-nama para perawi hadits, hadits yang tinggi atau rendah derajatnya, di samping juga hafal banyak matan-matan sejumlah kitab-kitab hadits, belajar enam kitab induk hadits (al-kutubus sittah), Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Sunan Al-Baihaqi, Mu’jam Ath-Thabrani, plus beberapa jilid kitab-kitab hadits lainnya. Ini adalah tingkatan pertama seorang ahli hadits.
Jika ia telah mempelajari kitab-kitab hadits seperti yang telah kami sebutkan di atas, mempelajari kitab-kitab tingkatan para perawi hadits, berguru kepada syaikh-syaikh hadits, ahli di bidang penyakit-penyakit hadits, tahun-tahun kematian perawi-perawi hadits, dan sanad-sanad hadits, berarti ia sudah termasuk tingkatan pertama para ahli hadits.
Lalu setelah itu Allah menambahkan menambahkan ilmu kepada siapa yang Ia kehendaki.
(Tulisan diatas dikutip dari Group diskusi Aswaja)
Edisi copas..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar