Video film kelahiran baginda Nabi saw.
Kenapa Rasulullah tidak di Peringati Haul Wafatnya?
Sering kita mendapatkan pertanyaan dari masyarakat akar rumput ihwal tidak diperingatinya hari wafatnya Rasulullah. Mereka bertanya, kenapa tidak ada peringatan hari wafatnya Nabi, sebagaimana haul para ulama dan wali Allah. Mengapa hanya hari kelahiran beliau yang diperingati?.
Sehubungan dengan ini, Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya Haulul-Ihtifal bi Dzikra Maulidin-Nabi asy-Syarif,
beliau mencatut pernyataan Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al-Hawi-nya:
ﻧﺼﻪ : ﺇﻥ ﻭﻻﺩﺗﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻨﻌﻢ ﻭﻭﻓﺎﺗﻪ ﺃﻋﻈﻢﺍﻟﻤﺼﺎﺋﺐ ﻟﻨﺎ. ﻭﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﺣﺜﺖﻋﻠﻰ ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺷﻜﺮ ﺍﻟﻨﻌﻢ ﻭﺍﻟﺼﺒﺮﻭﺍﻟﺴﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﺼﺎﺋﺐ
Sesungguhnya kelahiran Nabi lebih agung daripada semua nikmat, dan wafatnya beliau merupakan musibah yang paling besar.
Syariat Islam selalu menganjurkan untuk menampakkan rasa syukur atas nikmat-nikmat dan bersabar serta diam (tidak mengeluh) ketika tertimpa musibah-musibah.
ﻭﻗﺪ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺑﺎﻟﻌﻘﻴﻘﺔ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻮﻻﺩﺓ ﻭﻫﻰ ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺷﻜﺮ ﻭﻓﺮﺡ ﺑﺎﻟﻤﻮﻟﻮﺩ . ﻭﻟﻢ ﻳﺄﻣﺮ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﺑﺬﺑﺢ (ﻋﻘﻴﻘﺔ) ﻭﻻ ﺑﻐﻴﺮﻩ , ﺑﻞ ﻧﻬﻰ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻴﺎﺣﺔ ﻭﺇﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﺠﺰﻉ .
Sesungguhnya Islam telah memerintahkan untuk melaksanakan akikah saat kelahiran bayi. Islam tidak pernah pada saat ada kematian menganjurkan menyembelih hewan akikah dan lainnya. Bahkan, melarang untuk meratapi dan menampakkan rasa duka.
ﻓﺪﻟﺖ ﻗﻮﺍﻋﺪ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺤﺴﻦ ﻓﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﻬﺮ ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﻔﺮﺡ ﺑﻮﻻﺩﺗﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺩﻭﻥ ﺇﻇﻬﺎﺭ ﺍﻟﺤﺰﻥ ﻓﻴﻪ ﺑﻮﻓﺎﺗﻪ
Dengan demikian, kaidah-kaidah syariat menunjukkan bahwasanya sangat bagus pada bulan ini (Rabiul Awwal) untuk menampakkan kebahagiaan sebab lahirnya Nabi, bukan menampakkan duka sebab meninggalnya Beliau.
Demikianlah sekelumit penjelasan alasan tidak diperingatinya hari wafatnya Baginda Rasulullah saw.
Berikut Sekilas Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad:
Dalam sebuah riwayat yang dicatat Imam Ibnu Hisyam dalam al-Sirah al-Nabawiyyah dikatakan:
أَنَّ آمِنَةَ بِنْتَ وَهْبٍ أُمَّ رَسُولِ اللَّهِ كَانَتْ تُحَدِّثُ: أَنَّهَا أُتِيَتْ، حِينَ حَمَلَتْ بِرَسُولِ اللَّهِ فَقِيلَ لَهَا: إنَّكِ قَدْ حَمَلْتِ بِسَيِّدِ هَذِهِ الْأُمَّةِ، فَإِذَا وَقَعَ إلَى الْأَرْضِ فَقُولِي: أُعِيذُهُ بِالْوَاحِدِ، مِنْ شَرِّ كُلِّ حَاسِدٍ، ثُمَّ سَمِّيهِ مُحَمَّدًا.
“Sesungguhnya (Sayyidah) Aminah binti Wahab, Ibu Rasulullah SAW menceritakan bahwa beliau didatangi seseorang (Malaikat) ketika mengandung Rasulullah, kemudian dikatakan kepadanya:
“Sesungguhnya engkau mengandung pemimpin umat ini. Ketika dia lahir ke dunia ini, ucapkanlah: “Aku memohon perlindungan untuknya pada yang Maha Esa dari keburukan setiap orang-orang yang hasud, kemudian namai dia dengan nama Muhammad.”
(Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut: Darul Kutub al-A’rabiy, 1990,juz 1, hlm 180).
Menurut para ulama, tidak diketahui seorang pun dalam bangsa Arab yang menggunakan nama ini sebelum Rasulullah SAW.
Ketika Abdul Muttalib ditanya oleh seseorang, “ma sammayta ibnâka? — akan kau namai apa cucumu?”
Abdul Muttalib menjawab: “Muhammadun.”
Kemudian orang itu bertanya lagi:
كَيْفَ سَمَّيْتَ بِاسْمٍ لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنْ آبَائِكَ وَقَوْمِكَ؟ فَقَالَ: إِنِّي لَأَرْجُو أَنْ يَحْمَدَهُ أَهْلُ الْأَرْضِ كُلُّهُمْ
“Bagaimana bisa kau menamainya dengan nama yang tidak seorang pun dari nenek moyang dan kaummu pernah menggunakannya?”
Abdul Muttalib menjawab: “Sesungguhnya aku mengharapkan seluruh penduduk bumi memujinya.”
(Imam al-Muhaddits Abdurrahman al-Suhaili, al-Raudl al-Unuf fi Syarh al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Hisyam, Beirut: Darul Kutub al-Islamiyyah, juz 2, hlm 150-151).
Para Sejarawan mengatakan bahwa nama Muhammad tidak biasa dipakai di kalangan bangsa Arab, hanya tiga orang sebelum Rasulullah yang menggunakan namanya.
Ibnu Faurak menyebutkan, mereka adalah Muhammad bin Sufyan bin Mujasyi’ (nenek moyang al-Farazdaq sang penyair),
Muhammad bin Uhaihah bin al-Julah bin al-Harits bin Jahjaba bin Kulfah bin Auf bin Amr bin Auf bin Malik bin al-Aus,
dan Muhammad bin Humran bin Rabi’ah.
Dalam al-Raudl al-Unuf, Imam al-Suhaili menjelaskan:
لَا يُعْرَفُ فِي الْعَرَبِ مَنْ تَسَمَّي بِهَذَا الْإِسْمِ قَبْلَهُ-صلي الله عليه وسلم-إِلَّا ثَلَاثَةٌ طَمِعَ آبَاؤُهُمْ حِيْنَ سَمِعُوا بِذِكْرِ مُحَمَّدٍ وَيَقْرَبُ زَمَانُهُ وَأَنَّهُ يُبْعَثُ فِي الْحِجَازِ....
“Tidak diketahui di kalangan Arab seseorang yang menggunakan nama ini (Muhammad) sebelum Rasulullah SAW kecuali tiga orang yang ayahnya menjadi tamak ketika mendengar kenabian Muhammad, kedekatan masanya dan bahwa dia diutus di Hijaz.....”
(Abdurrahman al-Suhaili, juz 2, hlm 151).
Menurut Ibnu Faurak, tiga orang itu telah mendatangi sebagian kerajaan yang memiliki pengetahuan tentang kitab-kitab agama terdahulu dan mengabarkan kepada mereka kehadiran seorang nabi beserta namanya yang membuat mereka berwasiat kepada keluarganya,
“in wulida lahu dzakar an yusammiyahu muhammadan, fa fa’alû dzalika — jika dilahirkan seorang anak laki-laki, namai dia Muhammad, kemudian mereka pun melakukannya.”
(Abdurrahman al-Suhaili, juz 2, hlm 152).
Mengenai asal nama Muhammad, Imam al-Suhaili mengemukakan:
وَأَمَّا مُحَمَّدٌ فَمَنْقُوْلٌ مِنْ صِفَّةٍ أَيْضًا, وَهُوَ فِي مَعْنَي مَحْمُوْدٌ. وَلَكِنْ فِيْهِ مَعْنَي الْمُبَالَغَةِ وَالتِّكْرَارِ, فَالْمُحَمَّدُ هُوَ الَّذِي حُمِدَ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ كَمَا أَنَّ الْمُكَرَّمَ مَنْ أُكْرِمَ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ
“Adapun nama Muhammad diambil dari isim sifat juga, maknanya adalah Mahmud (yang terpuji). Akan tetapi, di dalamnya mengandung makna mubalaghah (menunjukkan arti sangat) dan tikrar (terus-menerus), dengan demikian Muhammad adalah orang yang dipuji secara terus menerus, seperi halnya orang yang dimuliakan, yaitu orang yang dimuliakan secara terus-menerus.”
(Abdurrahman al-Suhaili, juz 2, hlm 153).
Sedangkan penyebutan Ahmad terhadap Rasulullah, Imam al-Suhaili mengatakan hal itu merupakan penamaan terhadap dirinya dalam lisan Nabi Isa dan Musa AS (alladzî summiya bihi ‘ala lisân ‘îsâ wa mûsâ)
dan diambil dari isim sifat juga, tetapi menggunakan makna tafdil (menunjukkan arti lebih),
maka makna nama Ahmad adalah “ahmadu al-hamidîn li robbihi—orang yang paling memuji Tuhannya di antara para pemuji lainnya.”
Dalam hal ini, Nabi Musa bahkan pernah berdoa yang disertai penjelasan tentang nama Ahmad:
اللهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ أُمَّةِ أَحْمَدَ, فَبِأَحْمَدَ ذُكِرَ قَبْلَ أَنْ يُذْكَرَ بِمُحَمَّدٍ, لِأَنَّ حَمْدَهُ لِرَبِّهِ كَانَ قَبْلَ حَمْدِ النَّاسِ لَهُ, فَلَمَّا وُجِدَ وَبُعِثَ, كَانَ مُحَمَّدًا بِالْفِعْلِ
“Ya ALLAH, jadikanlah aku bagian dari umat Ahmad, yang dengan nama Ahmad dia telah disebut sebelum dia disebut dengan nama Muhammad, karena dia memuji Tuhannya sebelum ada manusia yang memujinya, maka ketika dia telah hadir dan diutus, dia menjadi Muhammad, orang yang dipuji karena perilakunya.”
(Abdurrahman al-Suhaili, juz 2, hlm 153).
Setelah nama Muhammad sampai pada Sayyidah Aminah dan Abdul Muttalib, Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia ini di hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah (‘âm al-fîl) — menurut pendapat yang masyhur.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dikatakan:
أَنَّ أَعْرَبِيًّا سَأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صلي الله عليه وسلم عَنْ صِيَامِ يَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ, وَأُنْرِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
“Seorang Arab Badui bertanya kepada Rasulullah SAW tentang puasa di hari Senin, Rasulullah menjawab: “Itu adalah hari dimana aku dilahirkan, dan hari dimana (wahyu) diturunkan kepadaku.”
(HR. Imam Muslim)
Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan Rasulullah SAW lahir. Namun demikian, pendapat yang diketahui secara luas bahwa Rasulullah lahir di hari Senin, tanggal 12 Rabiul Awwal, tahun Gajah — Imam al-Kinani menshohihkan pendapat ini.
(Imam Izuddin bin Badruddin al-Kinani, al-Mukhtashar al-Kabir fi Sirah al-Rasul, Amman: Darul Basyir, 1993, hlm 22).
Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ibnu Ishaq dari Sayyidina Ibnu Abbas:
وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، لِاثْنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ شَهْرِ رَبِيع الْأَوَّلِ، عَام الْفِيلِ
“Rosulullah dilahirkan di hari Senin, tanggal dua belas di malam yang tenang pada bulan Rabiul Awwal, Tahun Gajah.”
(Imam Ibnu Hisyam, juz 1, hlm 183).
Riwayat di atas diperkuat dengan perkataan Qays bin Makhramah ra yang didapat dari kakeknya:
وُلِدْتُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ عَامَ الْفِيلِ
“Aku dan Rasulullah dilahirkan pada Tahun Gajah.”
(HR. Imam Tirmidzi)
Dalam riwayat lain, ada juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah dilahirkan di bulan Ramadhan. Riwayat ini dikemukakan oleh ‘Uqbah bin Mukarram yang mengatakan:
.....وُلِدَ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ لِثَنَتَيْ عَشْرَةَ لَيْلَةً خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ..
“.....Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin tanggal dua belas di malam hari yang tenang, bulan Ramadhan.....”
(Imam Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, al-Sirah al-Nabawiyyah,Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, tt,hlm 6).
Menurut Imam al-Dzahabi, riwayat di atas merupakan hadîts sâqith (hadits yang gugur) dan tidak bisa dijadikan sandaran.
Di sisi lain, terdapat riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak dilahirkan di tahun Gajah, tepatnya beliau dilahirkan sebelum tahun Gajah. Riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Shalih dari Sayyidina Ibnu Abbas yang mengatakan:
وُلِدَ رَسُوْلُ اللهِ صلي الله عليه وسلم قَبْلَ الْفِيْلِ بِخَمْسِ عَشْرَةَ سَنَّةً
“Rasulullah SAW dilahirkan sebelum tahun Gajah, sekitar lima belas tahun sebelumnya.” (Imam Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, hlm 6).
Imam al-Dzahabi mengomentari riwayat ini dengan sangat keras.
Dia mengatakan: “qad taqoddama ma yubayyinu kadzba hadza al-qaul ‘an ibn ‘abbas bi isnad shahih — sungguh telah dikemukakan sebelumnya, riwayat yang menjelaskan kebohongan perkataan ini, yaitu riwayat Ibnu Abbas dengan sanad yang shahih.”
(Imam Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, hlm 6).
Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ibnu Ishaq dari Sayyidina Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun Gajah. Riwayat itu menjadi bukti lemahnya riwayat yang menyatakan Rasulullah lahir lima belas tahun sebelum tahun Gajah.
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat untuk menghidupkan kembali spirit kelahiran Nabi Muhammad Saw, khususnya dalam momen maulid penuh berkah ini.
Wallahu a’lam bisshawab...
Mari kita bersholawat:
Allohumma sholli wa sallim ‘alaa ‘abdika wa rosulika khootamin nabiyyiina, wa akromil awwaliina wal akhiriina, Sayyidina Muhammadin, wa ‘alaa Aalihi wa shohbihi wat tabi’iina, wa farrij ‘alal muslimiina, Ya Qowiyyu Yaa Matiinu, wak-fi syarrodz dzolimiina.
Silahkan bagikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar